Suku Boti

Suku Boti
Jumlah populasi
3.000[1]
Daerah dengan populasi signifikan
Kabupaten Timor Tengah Selatan (Kecamatan Kie)[2]2.819 jiwa
Bahasa
Dawan
Agama
 • Halaika
 • Kristen (Protestan & Katolik)
Kelompok etnik terkait
Atoni

Suku Boti adalah kelompok etnis yang merupakan bagian dari suku asli pulau Timor, yakni Atoni. Wilayah pemukiman suku Boti terletak sekitar 40 km dari kota Kabupaten Timor Tengah Selatan yang secara administratif kini sudah menjadi desa Boti, kecamatan Kie. Karena letaknya yang sulit dicapai di tengah pegunungan, desa Boti seakan tertutup dari peradaban modern dan perkembangan zaman. Suku ini menuturkan bahasa Dawan sebagai bahasa tutur sehari-hari.

Seperti halnya suku Baduy di Banten, wilayah Boti juga mengenal dua kampung. Kampung Boti Dalam dan Boti Luar. Jumlah penduduk Boti Dalam sekitar 77 Kepala Keluarga atau 319 jiwa, sedangkan Boti Luar sekitar 2.500 jiwa. Hanya Kampung Adat Boti Dalam yang mewarisi dan mempraktikkan tradisi lokal dan agama asli yang disebut Halaika. Suku Boti Dalam tinggal di areal seluas 3.000 meter persegi yang dikelilingi pagar kayu. Sedangkan suku Boti Luar sudah beragama Kristen Protestan dan Katolik.[1]

Untuk dapat terus menjaga dan menjalankan adat dan kepercayaan mereka, anak-anak dalam satu keluarga dibagi dua, separuh dari anak-anak mereka diperbolehkan bersekolah sementara yang lainnya tidak diperkenankan. Tujuannya agar mereka dapat teguh memegang adat tradisi mereka. Aturan pendidikan bagi anak-anak Boti bertujuan agar tercipta keseimbangan antara kehidupan masa sekarang dengan kehidupan berdasarkan adat dan tradisi yang sudah diwariskan oleh leluhur mereka. Banyak kaum sesepuh Boti yang tidak lancar bahkan tidak bisa berbahasa Indonesia. Sehari-hari mereka menggunakan bahasa daerah Dawan. Namun demikian, bahasa bukan halangan bagi warga Boti untuk menyambut tamu-tamu mereka yang datang ke desa mereka.

Suku Boti sangat menghargai dan menghormati alam karena mereka menyadari bahwa kehidupannya sangat bergantung pada alam. Para Ba’i (para pendahulu mereka) mengajarkan nilai-nilai kehidupan dan tradisi untuk menyatu dengan alam. Agar alam terjaga, suku Boti selalu melakukan ritual. Ritual persembahan untuk alam ini dilaksanakan tiga kali tiap tahun, yakni membersihkan kebun, setelah menanam, serta seusai memanen. Ritual upacaranya adalah mulai dari menyiapkan binatang berupa kerbau, sapi, kambing, babi, atau binatang lainnya, serta hasil bumi, yakni ubi, pisang, dan jagung. Hasil bumi itu lantas dibawa ke tempat upacara yang disebut Fainmate. Tempat tersebut berada di sekitar hutan larangan. Luas hutan larangan sekitar 1.000 ratusan hektare. Letaknya bisa ditempuh satu hari jalan kaki dari Kampung Adat Boti. Di hutan ini juga ada sejumlah aturan yang tak boleh dilanggar. Ladang tempat mereka bercocok tanam berada di sekitar hutan larangan. Jika ada warga yang akan membuka lahan baru, warga juga harus melakukan upacara. Hasil bercocok tanam itu biasanya untuk dimakan sendiri oleh warga. Jadi tidak ada yang dijual. Aturan lainnya, warga suku Boti tidak menggunakan listrik atau teknologi lainnya. Hanya beberapa orang saja yang diperbolehkan mempunyai telepon seluler dan motor. Genset listrik hanya tersedia di rumah tamu. Tak ada satu pun televisi di kampung itu.

Agama

Suku Boti dikenal sangat memegang teguh keyakinan dan kepercayaan mereka yang disebut Halaika, khususnya Boti Dalam. Mereka percaya pada dua penguasa alam yaitu Uis Pah dan Uis Neno. Uis Pah sebagai mama atau ibu yang mengatur, mengawasi, dan menjaga kehidupan alam semesta beserta isinya termasuk manusia. Sedangkan Uis Neno sebagai papa atau bapak yang merupakan penguasa alam baka yang akan menentukan seseorang bisa masuk surga atau neraka berdasarkan perbuatannya di dunia. Suku Boti Luar sudah menganut agama Kristen Protestan dan Katolik.

Uis Neno ma Uis Pah mengajarkan masyarakat untuk menjaga hubungan baik antara manusia dan dewa, manusia dan manusia lainnya, serta manusia dan alam. Keyakinan ini membutuhkan menjaga alam dan saling memperhatikan. Masyarakat Boti menghormati roh leluhur mereka sebagai pelindung bumi dan sebagai jembatan antara manusia, alam, dan Roh Ilahi. Manusia harus saling menjaga, mencintai, dan menghormati.[3]

Ritus Ibadat

Paling tidak terdapat dua ritus ibadat Suku Boti yang menjadi ciri khas dalam agama Halaika.
1. Pertama adalah ritual Natoni. Ritual ini diartikan sebagai ekspresi dari seorang pemberi pesan berupa syair-syair yang disampaikan secara langsung (lisan). Isi dari Natoni sendiri ialah ungkapan rasa syukur kepada 2 dewa (Uis Pah dan Uis Neno) dan arwah-arwah orang mati, serta kepada sesama anggota suku. Tata cara ritual ini dimulai saat seorang penutur (antonis) menyenandungkan syair-syair kiasan adat dan selanjutnya diikuti oleh pendamping penutur. Ritual tidak dilakukan secara pasti setiap tahunnya, dikarenakan ritual ini merupakan ritual yang diperuntukan saat ada acara seremonial, semisal penyambutan tamu terhormat dan pelepasan tamu.[4]
2. Kedua ialah Poit Pah yang diterjemahkan sebagai syukuran panen. Upacara keagamaan ini dipimpin langsung oleh Kepala Suku Boti. Awalnya warga Boti berkumpul di “Rumah Tua” atau rumah kepala suku untuk mendapat nasihat serta berdiskusi mengenai bahan-bahan yang dibutuhkan saat upacara nanti, biasanya berupa hasil bumi dan ternak, setelah bahan-bahan yang diperlukan siap, kaum pria membawa seserahan ke hutan sakral yang dinamakan Nasi Fain Metan, disitu terdapat 2 mezbah yakni untuk Uis Pah dan arwah leluhur serta untuk Uis Neno. Makna yang terkandung dari ritual Poit Pah adalah :
• Ucapan syukur untuk kesuburan yang diberikan Uis Pah
• Ucapan syukur untuk perlindungan dan keselamatan yang diberikan Uis Neno
• Memanjatkan doa permohonan kepada Uis Pah, Nitu dan Uis Neno agar tetap menjaga, melindungi dan memberikan kesuburan agar di tahun-tahun mendatang panen tetap berhasil.

Aturan Adat

Suku Boti memegang teguh kepercayaan bahwa sikap hidup manusia selama di dunia akan menentukan nasibnya di kehidupan yang baka nanti, oleh karena itu Boti sendiri sangat menaati aturan-aturan adat yang sudah disepakati turun-temurun. Aturan adat Suku Boti secara garis besar terbagi menjadi 2, yaitu aturan adat yang didasari pada kehidupan sehari-hari dan tata cara berperilaku, serta aturan yang mengatur aktifitas anggota suku pada hari-hari tertentu.

Aturan sehari-hari

Ada aturan-aturan tertentu yang meregulasi Suku Boti dalam kesehariannya. Disebut aturan adat dikarenakan jika ada anggota yang melanggar maka akan dikenakan sanksi. Sanksi yang didapat berbeda-beda tergantung pada jenis pelanggaran yang dilakukan.

Aturan pertama ialah, laki-laki dewasa yang telah menikah diharuskan untuk tidak memotong rambutnya. Apabila rambut dari laki-laki tersebut tumbuh panjang, maka harus diikat dan dikonde. Rambut merupakan simbol sakral dalam agama khas Boti, oleh karena itu pemotongan rambut terutama pada laki-laki dipandang sebagai bentuk pelanggaran berat. Sanksinya berupa pengucilan bahkan dikeluarkan dari desa. Kasus ini pernah terjadi pada Laka Benu, kakak dari kepala suku Boti saat ini. Laka Benu berpindah agama menjadi Kristen dan memotong rambutnya sehingga ia harus keluar dari desa.

Aturan adat kedua yang terbilang unik yaitu sanksi terhadap tindak pencurian. Suku Boti menjunjung tinggi ajaran agama bahwa kejahatan tidak boleh dibalas dengan kejahatan, sehingga sebagai contoh jika seseorang melakukan pencurian pada ternak atau hasil kebun tetangganya, maka tetua-tetua adat akan berembuk dan menambahkan jenis barang yang dicuri oleh pelanggar (jika si pencuri mengambil ayam, maka tua adat akan menambahkan ayam berkali ganda kepada pencuri tersebut). Aturan adat ini diterapkan karena mereka beranggapan, pencuri adalah orang yang tidak mampu. Padahal ketidakmampuam merupakan aib besar. Dengan cara ini, tradisi ini mengajarkan warganya untuk gigih bekerja keras dan memiliki rasa malu jika sampai mencuri hak orang lain.[3]

Aturan pada hari-hari tertentu

Suku boti memiliki aturan saat hari-hari tertentu, yaitu:
• Neon Ai (Hari Api). Hari yang diartikan sebagai hari yang terang dan cerah. Tetapi perlu berhati-hati dengan penggunaan api, sebab jika tidak dapat mendatangkan malapetaka berupa kebakaran.
• Neon Oe (Hari Air). Aktivitas lebih berorientasi pada air. Dalam artian harus menggunakan air secara bertanggung jawab dan pada hari ini peran dewa air (Uis Oe) sangat besar sehingga perlu juga diwaspadai.
• Neon Besi (Hari Besi) Hari yang dikeramatkan bagi barang-barang yang berbau besi. Jadi harus hati-hati dalam menggunakan benda-benda tajam seperti pisau, parang, tombak dan pedang.
• Neon Uis Pah ma Uis Neno (Hari Dewa Bumi dan Dewa Langit). Hari ini merupakan hari yang diperuntukan bagi semua makhluk hidup untuk memuliakan Pencipta dan Pemelihara hidup serta pemangku dan pemberi kesuburan. (Amoet Apakaet, Afafat ma Amnaifat; Manikin ma Oe',tene he Namlia ma Nasbeb).
• Neon Suli (Hari Perselisihan). Hari yang dimanfaatkan untuk menyelesaikan setiap perselisihan yang terjadi dalam komunitas. Berhati-hati pula dalam berinteraksi sosial dengan sesama karena peluang besar untuk terjadi perselisihan.
• Neon Masikat (Hari Berebutan). Hari ini merupakan kesempatan bagi warga untuk memanfaatkannya secara efisien dan efektif dalam berkomunikasi dan beraktifitas baik dengan sesama maupun lingkungan alam. Hari ini juga merupakan kesempatan untuk meraih sukses dalam hidup.
• Neno Naek (Hari Besar). Hari besar, yang penuh nuansa kasih persaudaraan, sehingga perlu dijauhi kecenderungan terjadinya sengketa baik dalam keluarga maupun dengan sesama tetangga atau dalam komunitas yang lebih luas lagi.
• Neon Li'ana (Hari Anak-anak). Hari yang disediakan bagi anak-anak untuk dapat mengekspresikan kebahagiaan lewat bermain dan aktivitas lainnya yang bernuansa gembira. Orang tua tidak boleh membatasi atau melarang anak-anak dalam beraktifitas.
• Neon Tokos (Hari Istirahat). Hari yang tenang dan teduh, sebab di balik keheningan orang Boti dapat mereflesikkan hidupnya, sejauh mana hubungan dengan sesama, alam dan teristimewa sang pencipta dan pemelihara hidup. Juga dijadikan moment untuk mensyukuri setiap berkat yang diperoleh selama sepekan.

Falsafah

Ada 4 falsafah asli Suku Boti yang berisikan larangan-larangan :
• Kaes mu bak, artinya warga halaika dilarang mencuri;
• Kaes mam paisa, artinya warga halaika dilarang berzinah dan merampas istri orang lain;
• Kaes teun tua, artinya warga halaika dilarang meminum minuman keras/beralkohol;
• Kaes heot heo artinya warga halaika dilarang memetik bijol atau biola tradisional khas orang Timor, memetik buah kusambi (kaes hupu sapi), dan memotong bambu (kaes oet o’) bila waktu untuk memanen belum tiba.

Sosial

Dalam kehidupan sehari-hari ada pembagian tugas yang jelas antara kaum lelaki dan perempuan. Para lelaki bertugas mengurusi permasalahan di luar rumah, seperti berkebun, dan berburu. Sementara urusan rumah tangga, diserahkan kepada kaum perempuan. Meskipun pembagian peran ini biasa dijumpai dalam sistem kekerabatan, ada satu hal yang membuat warga Boti agak berbeda, mereka menganut monogami atau hanya beristri satu. Seorang lelaki Boti yang sudah menikah, dilarang memotong rambutnya. Sehingga bila rambut mereka semakin panjang, mereka akan menggelungnya seperti konde.

Bila kepercayaan dan aturan adat Boti dilanggar, maka akan dikenakan sanksi, tidak akan diakui sebagai penganut kepercayaan Halaika, berarti harus keluar dari komunitas suku Boti, sebagaimana yang terjadi pada putra sulung Laka Benu, kakak dari Raja Usif Nama Benu. Laka Benu yang seharusnya menjadi putra mahkota, memeluk agama Kristen sehingga ia harus meninggalkan komunitas Boti.

Referensi

  1. ^ a b "Fakta Unik Suku Boti". katadesa.id. Diakses tanggal 2023-04-12. 
  2. ^ "Fakta Unik Suku Boti". katadesa.id. Diakses tanggal 2023-04-12. 
  3. ^ a b Arif, Ahmad (2021). Masyarakat Adat dan Kedaulatan Pangan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 240. ISBN 9786024814809. 
  4. ^ DenztrialCK (2016-10-27). "Suku Boti". mysite (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-04-12. 
Kembali kehalaman sebelumnya