Sudimampir, Balongan, Indramayu

Desa Sudimampir
200PX
Negara Indonesia
ProvinsiJawa Barat
KabupatenIndramayu
KecamatanBalongan
Kode pos
45285
Kode Kemendagri32.12.14.2009 Edit nilai pada Wikidata
Luas459,5 Ha
Jumlah penduduk6.163 jiwa
Peta
PetaKoordinat: 6°25′10″S 108°22′28″E / 6.41944°S 108.37444°E / -6.41944; 108.37444


Sudimampir adalah desa di kecamatan Balongan, Indramayu, Jawa Barat, Indonesia.

Sejarah

A. SEJARAH SINGKAT BABAD DESA SUDIMAMPIR 1. SYEIKH GAGANG AKING / KI PAGEBANGAN Pada sekitar abad ke-15 dalam wilayah Kesultanan Cirebon, ada padepokan yang dipimpin oleh seorang yang bernama SYEIKH GAGANG AKING / KI PAGEBANGAN bersama seorang putrinya yang bernama DEWI RATNA PENGASIH, serta beberapa orang santrinya mengembangkan Syariat Islam dan salah seorang santrinya bernama Abdul Mukhyi. Santri yang bernama Abdul Mukhyi berasal dari wilayah Bagelen, yang awalnya adalah seorang pengembara dengan tujuan menambah ilmu keagamaan ke Cirebon namun dalam perjalannya tersesat ke padepokan Ki Pagebangan. Pada suatu ketika datang utusan dari Kesultanan Cirebon untuk meminta bantuan kepada Syeikh Gagang Aking untuk menghadapi konflik kekuasaan di Kesultanan Cirebon, maka diutuslah Abdul Mukhyi untuk mengemban tugas itu. Maka berangkatlah Abdul Mukhyi dengan membawa perlengkapan Kopyah Waring, Baju si Bondal, Ikat Pinggang berkepalabatok bolu dari buah kelapa dan sebilah keris Si Kunang (karena di ujung keris itu mempunyai sinar yang berkedip seperti kunang-kunang) selain perlengkapan peribadi itu, Abdul Mukhyi diberi senjata oleh gurunya berupa Tombak dan seikat Oman/Merang (tangkai padi/gabah). Dalam medan pertempuran Abdul Mukhyi berjuang dengan gagah berani, ada satu cerita bahwa saat ditengah pertempuran dia terdesak, maka ingatlah dia pada pesan gurunya untuk menaburkan Merang tadi, atas izin Allah SWT, merang tersebut berubah menjadi pasukan bantuan dalam memenangkan pertempuran tersebut. Sehingga pulanglah Abdul Mukhyi kembali ke padepokan Ki Pagebangan dengan membawa berita keselamatan dan kemenangan. Penuh rasa gembira dan bangga Syeikh Gagang Aking menyambut kembalinya sang murid dari peperangan. Dengan penuh penghargaan dinikahkannya sang murid dengan putrinya Dewi Ratna Pengasih dan memberi gelar kepada Abdul Mukhyi dengan nama NAMPA SUBAYA (Nampa = Nerima, Subaya = Baik perilakunya, Baya = Bahaya), jadi arti dari Nampa Subaya adalah Menerima tugas dengan ikhlas dan menjalankan dengan baik walaupun harus menghadapi bahaya. Di suatu hari, Syeikh Gagang Aking memerintahkan Nampa Subaya dan Dewi Ratna Pengasih untuk berpindah ke suatu tempat di sebelah barat padepokan untuk membuka pedukuhan baru disana. Maka berangkatlah sepasang suami-istri ini ke tempat tersebut.

2. SYIEKH ABDUL MUKHYI / KI NAMPA SUBAYA Sampailah Syeikh Abdul Mukhyi dan Dewi Ratna Pengasih di suatu tempat yang ternyata adalah hamparan hutan rotan/penjalin (Alas Penjalin). Ditempat itu hidup pula seekor ular besar yang menguasai wilayah tersebut. Akhirnya Syeikh Abdul Mukhyi memerangi ular besar tersebut dan hewan buas lainnya, diakhir peperangan dengan menggunakan Keris Si Kunang, ular tersebut dapat terbunuh sehingga ular tersebut diberi nama NAGA CATMAKA ( Naga = ular yang besar, Cat = mencat/melangkah, Ma = mati, Ka = Kalah), jadi arti dari nama itu adalah Ular yang melangkahkan kakinya di tempat tersebut telah mati dikalahkan. Dan dikuburkan Naga Catmaka itu oleh Syeikh Abdul Mukhyi di sebelah barat Makam Syeikh Abdul Mukhyi sekarang. Setelah peperangan tersebut maka Syeikh Abdul Mukhyi mulai mem-babad (menebang pepohonan) untuk membuat tempat tinggal (pedukuhan/desa) dan mulai bercocok tanam dalam rangka mendukung penyebaran syariat ajaran agama Islam dan pedukuhan/desa ini diberi nama SUDIMAMPIR, dengan harapan banyak rakyat yang Sudi untuk Mampir di pedukuhan ini. Abdul Mukhyi yang berasal dari Bagelen mengembara meninggalkan kedua orang tua dan seorang adiknya yang bernama LABDAKRIYA. Sebagaimana keluarga ditingalkan pada umumnya merasa kerinduan, sehingga diutuslah sang adik (Labdakriya) untuk mencari kakaknya. Dalam perjalanannya yang memakan waktu lama tibalah Labdakriya pada suatu tempat dan memutuskan untuk membuka pedukuhan/pemukiman sambil menunggu kabar berita tentang kakaknya. Pedukuhan/desa itu diberinama TUGU (Tugu = menunggu). Pada suatu hari yang tenang saat Syeikh Abdul Mukhyi melakukan aktivitas sehari-hari, terlihat api yang besar dari arah barat menuju pedukuhannya. Maka untuk menghalau api yang besar tersebut maka digunakan jurus Sepi Angin untuk menghalau api itu agar tidak menghanguskan wilayahnya. Setelah api itu padam, dicarilah olehnya asal api tersebut. Setelah dicari dengan hati-hati bertemulah dirinya dengan adiknya Labdakriya yang sekian lama tidak bertemu. Ternyata yang mengeluarkan api itu adalah adiknya Labdakriya, dengan menggunakan jurus Sepi Geni yang bertujuan untuk membuka pemukiman dengan cara membakar hutan. Setelah pertemuan yang mengharukan itu, maka dicapailah kesepakan antara dua saudara ini untuk saling menjaga dan membuka pedukuhan masing-masing. Dalam kehidupan rumah tangganya Syeikh Abdul Mukhyi dengan Dewi Ratna Pengasih dikaruniai seorang putra yang diberi nama ABDUL MUKHITH.

3. SYEIKH ABDUL MUKHITH / KI GEDE SUDIMAMPIR ABDUL MUKHITH merupakan anak dari Syeikh Abdul Mukhyi dan Dewi Ratna Pengasih, yang dibesarkan dalam pendidikan ajaran syariat Islam oleh kedua orang tuanya. Saat meninjak dewasa Abdul Mukhith memutuskan untuk mengembara menyebarkan syariat Islam. Metode/cara pendekatan syiar Islam yang dilakukan oleh Abdul Mukhith adalah lewat pendekatan sosial budaya, sehingga dia memutuskan untuk menjadi seorang Dalang Wayang. Sampai pada suatu ketika dirinya menikahi seorang Juru Kawi (Ronggeng) dan bersama-sama dalam menyiarkan ajaran Islam. Berbagai tantangan, rintangan dan hambatan mereka lalui tapi berkat kesabaran, keikhlasan dan niat suci untu syiar maka semua masalah itu dapat mereka lewati. Di masa itu banyak pelanggaran terjadi, baik pelanggaran norma kesultanan maupun norma sosial dikarenakan kesaktiannya. Sehingga banyak buronan yang dicari oleh pasukan dari Kesultanan Cirebon. Pada suatu ketika saat Syeikh Abdul Mukhith sedang mendalang di panggung, datanglah tiba-tiba seorang laki-laki bernama Ki Sana dengan penuh takut meminta perlindungan kepada Syeikh Abdul Mukhith. Ditanyalah permasalahan dan penuh bijaksana Syeikh Abdul Mukhith menerima orang tersebut dengan syarat bertaubat kepada Allah SWT dan berjanji untuk tidak mengulangi lagi, dan diberi dua buah batok kelapa berbentuk setengah bola dengan membaca bismillahirrohmanirohiim maka batok tersebut menjadi alat musik gamelan, diperintahkannya untuk memukul gamelan itu sambil membelakangi layar. Tidak beberapa lama petugas dari Kesultanan Cirebon dating untuk mencari Ki Sana, namun atas Izin Allah SWT dan bantuan Syeikh Abdul Mukhith maka Ki Sana tidak dapat diketemukan oleh pasukan. Setelah pasukan pencari pulang maka bersyukurlah Syeikh Abdul Mukhith dan memberi nama panggilan kepada Ki Sana dengan sebutan LESTARI yang artinyta keselamatan yang langgeng. (posisi makam Ki Sana/Ki Lestari ditemukan oleh Kyai Ibrahim, 50M disebelah barat Makam Syeikh Abdul Mukhith. Saat menggali tanah untuk penguburan, ditemukan sesosok jasad yang masih utuh mengeras seperti batu karang, dengan rambut dan kuku tumbuh memanjang, wallahu a’lam) Pada suatu hari datang utusan dari Kesultanan Cirebon ke pedukuhan/desa Sudimampir untuk mengundang perwakilan dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW di Kesultanan Cirebon. Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW oleh Kesultanan Cirebon pada saat itu biasanya diadakan sayembara/perlombaan. Pada peringatan tahun ini jenis sayembara itu adalah mendirikan sebutir telur di atas meja dan mencabut rumpun tebu dengan cara berjalan melewatinya. Dikarenakan Syeikh Abdul Mukhyi / Ki Nampa Subaya makin dimakan usia, maka diutuslah Syeikh Abdul Mukhith anaknya untuk berangkat memenuhi undangan Kesultanan Cirebon. Sebelum berangkat menuju Kesultanan Cirebon, Syeikh Abdul Mukhyi mendiskusikan perihal sayembara tersebut dengan anaknya dan sebagai bekal di perjalanan di bawalah Keris Si Kunang dan segenggam pasir disimpan dalam saku. Peringatan Maulid Nabi di Kesultanan Cirebon sangat meriah dan tibalah saat acara sayembara berlangsung, banyak peserta yang mengikuti sayembara ini dan belum berhasil melaksanakan 2 tugas itu. Tibalah saat Syeikh Abdul Mukhith mengikutinya. Dengan penuh percaya diri tapi tanpa kesombongan melaksanakan tugas yang pertama yaitu mendirikan sebutir telur di atas meja. Syeikh Abdul Mukhith mengambil telur tersebut dengan tangan kanan, sembari tangan kiri dimasukkan kedalam saku mengambil pasir, maka diberdirikanlah telur itu di atas meja dengan beralaskan pasir. Selesailah tugas yang pertama. Tugas yang kedua yaitu mencabut rumpun tebu dengan cara berjalan melewatinya. Pada malam sebelum perlombaan Syeikh Abdul Mukhith berikhtiar dengan jalan menggores tanah sekitar rumpun tebu itu dengan Keris Si Kunang tanpa diketahui orang lain. Maka saat pelaksaan tugas yang kedua, atas izin Allah SWT saat Syeikh Abdul Mukhith berjalan melewati rumput tebu tersebut, rumpun tebu itu tercabut dan terbawa olehnya. Peserta yang tidak ada yang berhasil melaksanakan 2 tugas itu selain Syeikh Abdul Mukhith dari Sudimampir, maka dinyatakanlah Syeikh Abdul Mikhith oleh Sultan dan para juri lomba sebagai pemenang. Sultan Kesultanan Cirebon memanggil Syeikh Abdul Mukhith untuk menghadap, sambil mengatakan “Engkaulah yang paling cerdik diantara seluruh peserta, dari Sudimampir putra Abdul Mukhyi”. Lalu dianugerahi nama paggilan oleh Sultan dengan nama SURA WIKALA (Sura = berani, Wi = luwih/lebih, Kala = akal), yang berarti seorang pemberani yang memiliki akal untuk meraih keberhasilan. Sekaligus dinobatkan sebagai KI GEDE SUDIMAMPIR di wilayah Kesultanan Cirebon. Sesuai dengan perjalanan waktu dikala situasi sosial dan politik yang mudah berubah-ubah di saat itu. Maka Kesultanan Cirebon pada masa pemerintahan SULTAN MATANGAJI, dibuatlah kebijakan untuk pengamanan lingkungan Kesultanan Cirebon berupa piket bergilir para Ki Gede dalam wilayah Kesultanan Cirebon. Pada suatu hari saat menjaga Gedung Jimat (pusaka), Ki Gede Sudimampir (Syeikh Abdul Mukhith) bersama para Ki Gede lainnya yang mendapat giliran jaga di waktu itu gugur dalam tugas menjalankan tugas dan dimakamkan di Gunung Sembung sebelah barat Gunung Jati Cirebon. Setelah gugurnya Ki Gede Sudimampir / Syeikh Abdul Mikhith, maka dimulailah zaman sistem pemerintahan di desa yang dikepalai oleh seorang KUWU, baik melalui proses pengangkatan langsung maupun melalui proses pemungutan suara.

B. URUTAN KUWU SUDIMAMPIR Sistem pemerintahan Kuwu dimulai setelah gugurnya Ki Gede Sudimampir / Syeikh Abdul Mukhith. Berikut nama – nama Kuwu yang berhasil dicatat sejarahnya :

1. H. KARSAM 2. H. SANGI 3. KI RAWIT 4. KU SULAT / ASLAM 5. TAR 6. H. SANGI 7. H. NUR JAYAKARYA 8. H. SAHID 9. RASJAN 10. TESONG 11. H.TOYIB / KARYAN ( 1914 - …… ) 12. NALIMPEN / JAMRONG ( 1921 - ….. ) 13. KARDIPAN 14. SAYIMAH 15. SAMA SARDIWAN ( 1924 - ….... ) 16. PARJAN / KI SITI ( 1929 - …… ) 17. KI KRAMA ( 1934 – 1936 ) 18. KASWIYAH ( 1936 – 1949 ) 19. SAPINGAN ( 1950 – 1951 ) 20. KI DUL KASMIN ( 1951 – 1956 ) 21. WIRPAN ( 1956 – 1964 ) 22. WADINAH ( 1965 – 1966 ) 23. MANSUR ( 1967 – 1979 ) 24. DOHARUDIN ( 1979 – 1984, Pemekaran ) 25. SUKARA ( 1985 – 1993 ) 26. AMINUDIN ( 1994 – 2012 ) 27. H. WUKIR ( 2012 – Sekarang )

Kembali kehalaman sebelumnya