Suciwati
Suciwati (lahir 28 Maret 1968)[1] adalah seorang aktivis hak asasi manusia Indonesia dan istri dari Munir Said Thalib. Ia mendirikan Museum Omah Munir pada tahun 2013 untuk mengenang perjuangan Munir dalam membela hak asasi manusia. Suciwati juga merupakan penggagas kampanye "Menolak Lupa", sebuah gerakan yang bertujuan untuk mengingatkan masyarakat Indonesia tentang kontribusi Munir dalam memperjuangkan keadilan dan hak asasi manusia di Indonesia. Kehidupan pribadiSuciwati adalah lulusan IKIP Negeri Malang Jurusan Sastra Indonesia. Ia pernah mengajar di MIN Malang I yang beralamat di Jalan Bandung, Malang. Setelah lulus kuliah, ia sempat mengajar di SMA Swasta Cokroaminoto Malang. Setelah mendengar keluhan teman-teman masa kecilnya atas pelecehan yang terjadi di tempat kerja mereka, Suciwati memutuskan keluar dari profesi guru dan menjadi buruh. Di pabrik itu, Suciwati mengorganisir buruh dan sesudahnya berhasil mendirikan PUK SPSI disana dan sejak itu dia terjun mengadvokasi buruh jauh sebelum bertemu dengan suaminya, Munir. Suciwati bertemu dengan Munir di kegiatan aktivisme buruh di Malang. Suciwati menikah dengan Munir Said Thalib pada 1996. Mereka mempunyai dua anak, yang pertama seorang putra bernama Soultan Alif Allende (lahir pada 12 Oktober 1998), dan yang kedua seorang putri bernama Diva Suukyi Larasati (lahir pada 18 Juli 2002). AktivismeGelisah dalam pergumulan melihat ketidakadilan dari cerita teman sekampung Suci yang menjadi buruh di pabrik garmen dekat kampung mereka, ia memutuskan keluar dari profesi guru menjadi buruh pada Oktober 1990. Selang tiga bula,n dia berhasil mengorganisir buruh pabrik tersebut dengan mendirikan SPSI di tempat mereka bekerja pada Maret 1991. Hasilnya dia dipecat setelah gagal dirayu dan disuap bosnya yang berkebangsaan Korea dengan janji diangkat menjadi staf personalia dan sekolah lagi asalkan tidak memimpin organisasi buruh tersebut. Setelah kejadian tersebut, Suciwati membuat kelompok diskusi Buruh Malang setiap Minggu di Malang. Dalam perjalanan mengorganisir buruh inilah dia bertemu dengan Munir. Ikut penelitian 'peran masyarakat Ketindan Lawang dalam aksi buruh Sidobangun', penelitian UMR buruh Malang di tahun 1994. Dalam perjalanan mendampingi Munir untuk advokasi Orang Hilang, Suciwati lebih banyak mendukung kerja-kerja Munir yang bekerja di YLBHI mendirikan KontraS, Imparsial. Selama mengadvokasi orang hilang dan keluarga korban kekerasan negara, Suciwati kena imbas ancaman yang diberikan kepada Munir. Ancama itu berupa teror psikis maupun fisik. Setidaknya dua kali ia mendapatkan teror kiriman bom, surat-surat dan bahkan sampai pembunuhan Munir pada 7 September 2004. Setelah kematian Munir, dia bekerja di Yayasan Tifa. Suciwati mendorong dukungan terhadap pembela hak asasi manusia dan korban pelanggaran HAM berat. Membuat program Human Right Support Facility bekerja sama dengan Dompet Duafa membantu bea pendidikan keluarga korban, kesehatan, dan kursus ketrampilan. Suciwati juga menginisiasi demontrasi damai 'Melawan lupa' yang lebih dikenal Aksi Kamisan di depan istana yang dimulai pada 18 Januari 2007. Hingga hari ini, aksi ini masih eksis dan sekarang merambah ke 46 kota. Kegiatan aksi ini berupaya mengingatkan negara bahwa kejahatan kemanusiaan di Indonesia belum pernah menghukum pelakunya dan harus diselesaikan oleh pemerintah. Setelah pindah ke Batu pada 2013, Suciwati bersama teman-temannya yaitu Smita Noto Susanto, Andi Achdian, Mufti Makarim mendirikan Museum HAM Munir pada 8 Desember 2013 di rumah kediamannya di Batu. Pada 14 September 2022, Suciwati meluncurkan buku berbasis biografi Munir dan Suciwati yang berjudul "Mencintai Munir". Judul ini, menurutnya, berarti mencintai kebenaran dan keadilan seperti perjuangan yang dilakukan oleh almarhum suaminya, Munir semasa hidupnya. PenghargaanSelama mengadvokasi dan pencarian keadilan, Suciwati mendapatkan penghargaan atas kegigihannya, mulai pada 2005 dari Time sebagai salah satu Pahlawan Asia (Asia Heroes), kemudian 2006 Human Rights First Gala Dinner US atas nama Suciwati dan Munir, Suciwati dinilai bekerja tanpa lelah untuk membawa pembunuh Munir ke pengadilan, sedangkan Munir sebagai pejuang HAM terdepan di Indonesia.[2] Pada 2006, Suciwati mendapat penghargaan dari Metro TV Award, dan People of the Year kategori hukum pada 2009 dari Seputar Indonesia RCTI.
Referensi
|