StoikiometriDalam ilmu kimia, stoikiometri (/ˌstɔɪkiˈɒmɪtri/) adalah ilmu yang mempelajari dan menghitung hubungan kuantitatif dari reaktan dan produk dalam reaksi kimia (persamaan kimia). Kata ini berasal dari bahasa Yunani kuno στοιχεῖον stoicheion "elemen" dan μέτρον metron "pengukuran. Dalam bahasa Yunani patristik, kata Stoichiometria digunakan Nikephoros untuk merujuk pada jumlah baris dari Perjanjian Baru kanonik dan beberapa Apokrifa. Stoikiometri didasarkan pada hukum-hukum dasar kimia, yaitu hukum kekekalan massa, hukum perbandingan tetap, dan hukum perbandingan berganda. Stoikiometri diilustrasikan melalui gambar berikut, dengan persamaan reaksi setara:
Di sini, satu molekul metana bereaksi dengan dua molekul gas oksigen untuk menghasilkan satu molekul karbon dioksida dan dua molekul air. Persamaan kimia khusus ini adalah contoh pembakaran sempurna. Stoikiometri mengukur hubungan kuantitatif ini, dan digunakan untuk menentukan jumlah produk dan reaktan yang diproduksi atau dibutuhkan dalam reaksi yang diberikan. Menggambarkan hubungan kuantitatif antara zat-zat ketika mereka berpartisipasi dalam reaksi kimia dikenal sebagai stoikiometri reaksi. Dalam contoh di atas, stoikiometri reaksi mengukur hubungan antara metana dan oksigen ketika mereka bereaksi membentuk karbon dioksida dan air. Karena hubungan mol yang diketahui dengan massa atom, rasio yang diperoleh dengan stoikiometri dapat digunakan untuk menentukan jumlah massa dalam suatu reaksi yang dijelaskan oleh persamaan yang setimbang. Hal ini disebut sebagai stoikiometri komposisi. Stoikiometri gas berkaitan dengan reaksi yang melibatkan gas, di mana gas berada pada suhu, tekanan, dan volume yang diketahui dan dapat dianggap gas ideal. Untuk gas, rasio volume idealnya sama dengan hukum gas ideal, tetapi rasio massa dari reaksi tunggal harus dihitung dari massa molekul dari reaktan dan produk. Dalam praktiknya, karena keberadaan isotop, massa molar digunakan sebagai gantinya ketika menghitung rasio massa. DefinisiSuatu jumlah stoikiometris [1] atau rasio stoikiometris dari suatu pereaksi adalah jumlah atau rasio optimal di mana, dengan asumsi bahwa reaksi berlangsung sampai selesai:
Tahap awal stoikiometriDi awal kimia, aspek kuantitatif perubahan kimia, yakni stoikiometri reaksi kimia, tidak mendapat banyak perhatian. Bahkan saat perhatian telah diberikan, teknik dan alat percobaan tidak menghasilkan hasil yang benar. Salah satu contoh melibatkan teori flogiston. Flogistonis mencoba menjelaskan fenomena pembakaran dengan istilah “zat dapat terbakar”. Menurut para flogitonis, pembakaran adalah pelepasan zat dapat terbakar (dari zat yang terbakar). Zat ini yang kemudian disebut ”flogiston”. Berdasarkan teori ini, mereka mendefinisikan pembakaran sebagai pelepasan flogiston dari zat terbakar. Perubahan massa kayu bila terbakar cocok dengan baik dengan teori ini. Namun, perubahan massa logam ketika dikalsinasi tidak cocok dengan teori ini. Walaupun demikian flogistonis menerima bahwa kedua proses tersebut pada dasarnya identik. Peningkatan massa logam terkalsinasi adalah merupakan fakta. Flogistonis berusaha menjelaskan anomali ini dengan menyatakan bahwa flogiston bermassa negatif. Filsuf dari Flanders Jan Baptista van Helmont (1579-1644) melakukan percobaan “willow” yang terkenal. Ia menumbuhkan bibit willow setelah mengukur massa pot bunga dan tanahnya. Karena tidak ada perubahan massa pot bunga dan tanah saat benihnya tumbuh, ia menganggap bahwa massa yang didapatkan hanya karena air yang masuk ke bijih. Ia menyimpulkan bahwa “akar semua materi adalah air”. Berdasarkan pandangan saat ini, hipotesis dan percobaannya jauh dari sempurna, tetapi teorinya adalah contoh yang baik dari sikap aspek kimia kuantitatif yang sedang tumbuh. Helmont mengenali pentingnya stoikiometri, dan jelas mendahului zamannya. Di akhir abad 18, kimiawan Jerman Jeremias Benjamin Richter (1762-1807) menemukan konsep ekuivalen (dalam istilah kimia modern ekuivalen kimia) dengan pengamatan teliti reaksi asam basa, yakni hubungan kuantitatif antara asam dan basa dalam reaksi penetralan. Ekuivalen Richter, atau yang sekarang disebut ekuivalen kimia, mengindikasikan sejumlah tertentu materi dalam reaksi. Satu ekuivalen dalam netralisasi berkaitan dengan hubungan antara sejumlah asam dan sejumlah basa untuk mentralkannya. Pengetahuan yang tepat tentang ekuivalen sangat penting untuk menghasilkan sabun dan serbuk mesiu yang baik. Jadi, pengetahuan seperti ini sangat penting secara praktis. Istilah stoikiometri pertama kali digunakan oleh Richter pada tahun 1792 ketika volume pertama Stoichiometry or the Art of Measuring the Chemical Elements karangan Richter diterbitkan.[2] Pada saat yang sama Lavoisier menetapkan hukum kekekalan massa, dan memberikan dasar konsep ekuivalen dengan percobaannya yang akurat dan kreatif. Jadi, stoikiometri yang menangani aspek kuantitatif reaksi kimia menjadi metodologi dasar kimia. Semua hukum fundamental kimia, dari hukum kekekalan massa, hukum perbandingan tetap sampai hukum reaksi gas semua didasarkan stoikiometri. Hukum-hukum fundamental ini merupakan dasar teori atom, dan secara konsisten dijelaskan dengan teori atom. Namun, menarik untuk dicatat bahwa, konsep ekuivalen digunakan sebelum teori atom dikenalkan. Mengubah gram ke molStoikiometri tidak hanya digunakan untuk menyeimbangkan persamaan kimia tetapi juga digunakan dalam konversi, misalnya, mengubah dari gram ke mol menggunakan massa molar sebagai faktor konversi, atau dari gram ke mililiter menggunakan kerapatan (densitas). Misalnya, untuk menentukan jumlah NaCl (natrium klorida) dalam 2 gram senyawa ini, maka dapat dikonversi dengan jalan: Dalam contoh di atas, ketika dituliskan dalam bentuk pecahan, satuan gram membentuk identitas multiplikatif, yang setara dengan satu (g/g = 1), dengan jumlah yang dihasilkan dalam mol (unit yang dibutuhkan), seperti yang ditunjukkan pada persamaan berikut, Proporsi molarStoikiometri sering digunakan untuk menyeimbangkan persamaan kimia (stoikiometri reaksi). Sebagai contoh, dua gas diatomik, hidrogen dan oksigen, dapat bergabung untuk membentuk cairan, air, dalam reaksi eksotermik, seperti dijelaskan oleh persamaan berikut ini:
Stoikiometri reaksi menggambarkan perbandingan molekul hidrogen, oksigen, dan air 2: 1: 2 dalam persamaan di atas. Rasio molar memungkinkan konversi antara satu mol zat dan mol lainnya. Misalnya dalam reaksi
jumlah air yang akan dihasilkan oleh pembakaran 0.27 mol CH3OH diperoleh dengan menggunakan rasio molar antara CH3OH dan H2O dari 2 menjadi 4. Istilah stoikiometri juga sering digunakan untuk proporsi molar unsur-unsur dalam senyawa stoikiometris (stoikiometri komposisi). Misalnya, stoikiometri hidrogen dan oksigen dalam H2O adalah 2:1. Dalam senyawa stoikiometris, the molar proportions are whole numbers. Rasio stoikiometrisStoikiometri juga digunakan untuk menemukan jumlah yang tepat dari satu reaktan untuk "sepenuhnya" bereaksi dengan reaktan lain dalam reaksi kimia–yaitu, jumlah stoikiometris yang akan menghasilkan tidak ada reaktan sisa ketika reaksi berlangsung. Contoh ditunjukkan di bawah ini menggunakan reaksi termit,
Persamaan ini menunjukkan bahwa 1 mol besi(III) oksida dan 2 mol aluminum akan menghasilkan 1 mol aluminium oksida dan 2 mol besi. Maka untuk tepat mereaksikan 85.0 g besi(III) oksida (0.532 mol), 28.7 g (1.06 mol) aluminium dibutuhkan. Referensi
Pranala luar
|