Steve Biko
Stephen Bantu Biko (18 Desember 1946 – 12 September 1977) adalah seorang aktivis anti-apartheid Afrika Selatan. Berideologi nasionalisme Afrika dan sosialisme Afrika, ia berada di garis depan akar rumput kampanye anti-apartheid yang dikenal sebagai Gerakan Hati Nurani Kulit Hitam pada akhir 1960an dan 1970an. Gagasan-gagasannya diedarkan dalam serangkaian artikel yang diterbitkan dengan pseudonim Frank Talk. Sebagai orang Xhosa, Biko dibesarkan di Ginsberg, Tanjung Harapan Timur. Pada 1966, ia mulai belajar kedokteran di Universitas Natal. Disana, ia makin terpolitisasi dan naik ke jabatan senior dalam Serikat Pelajar Afrika Selatan Nasional (National Union of South African Students, disingkat NUSAS). Ia sangat menentang sistem apartheid terhadap pemisahan rasial dan kekuasaan minoritas kulit putih di Afrika Selatan, tetapi juga menyayangkan gerakan anti-apartheid, termasuk NUSAS, karena juga didominasi oleh kaum liberal kulit putih ketimbang orang kulit hitam yang paling banyak terkena dampak sistem apartheid. Ia mengembangkan pandangan bahwa untuk menghindari dominasi kulit putih, orang kulit hitam harus terorganisir secara independen dan berfokus pada kemajuan mereka sendiri dari esensi inferioritas rasial. Untuk mewujudkannya, ia menjadi figur utama dalam pembentukan Organisasi Pelajar Afrika Selatan (South African Students' Organisation, disingkat SASO) pada 1968. Keanggotaannya hanya terbuka untuk "orang kulit hitam"—sebuah istilah yang Biko gunakan dalam rujukan tak hanya kepada orang-orang Afrika pemakai bahasa Bantu namun juga Coloured dan India—meskipun ia masih berteman dengan beberapa kaum liberal kulit putih, dan menentang rasisme anti-kulit putih . Melalui SASO, Biko mengembangkan gagasan Hati Nurani Kulit Hitam (Black Consciousness, disingkat BC) buatannya, yang sangat dipengaruh oleh orang-orang dari Frantz Fanon. Gerakan tersebut dikampanyekan untuk mengakhiri apartheid dan peralihan Afrika Selatan menuju hak suara universal dan ekonomi sosialis. Pada 1972, Biko terlihat dalam pembentukan Konvensi Orang Kulit Hitam (Black People's Convention, disingkat BPC) untuk mempromosikan gagasan-gagasan BC kepada masyarakat luas. Ia meraih ancaman anonim dan ditekan oleh layanan keamanan negara sebanyak empat kali. Setelah ia ditangkap pada Agustus 1977, Biko disiksa oleh para perwira keamanan negara. Ia mengalami luka berat di bagian kepala, dan wafat tak lama setelahnya. Lebih dari 20,000 orang menghadiri pemakamannya. Beberapa tulisannya diterbitkan secara anumerta untuk masyarakat luas. Kehidupannya menjadi subyek dari sebuah buku karangan temannya Donald Woods, yang kemudian menjadi dasar untuk film 1987 Cry Freedom. Biko dianggap sebagai bapak Hati Nurani Kulit Hitam dan martir gerakan anti-apartheid. Ia meraih penghormatan besar di Afrika Selatan dan jajak pendapat tahun 2004 menempatkannya sebagai tokoh Afrika Selatan terbesar ketiga belas sepanjang sejarah. Pada masa hidupnya, ia meraih kritikan dari berbagai pihak. Partai Nasional yang memerintah menuduhnya membenci orang kulit putih, sementara berbagai aktivis anti-apartheid menuduhnya seksisme, dan para nasionalis radial Afrika mengkritik pertemanannya dengan orang kulit putih dan penyatuannya dengan orang Coloured dan India. BiografiKehidupan awal: 1946–66Bantu Stephen Biko lahir pada 18 Desember 1946,[1] di rumah neneknya di Tarkastad, Tanjung Harapan Timur.[2] Anak ketiga dari pasangan Mzingaye Mathew Biko dan Alice 'Mamcete' Biko,[3] ia memiliki seorang kakak perempuan, Bukelwa, seorang kakak laki-laki, Khaya, dan seorang adik perempuan, Nobandile.[4] Orangtuanya menikah di Whittlesea, dimana ayahnya bekerja sebagai perwira polisi. Mzingaye dipindahkan ke Queenstown, Port Elizabeth, Fort Cox, dan terakhir King William's Town, dimana ia dan Alice menetap di kotapraja Ginsberg.[5] Ini adalah pemukiman dari sektiar 800 keluarga, dengan setiap empat keluarga berbagi suplai air dan toilet.[6] Orang Bantu Afrika dan orang Coloured tinggal di kotapraja,[7] dimana bahasa Xhosa, Afrikaans, dan Inggris dipakai.[8] Setelah mundur dari jabatan kepolisian, Mzingaye bekerja sebagai pramuniaga di Jawatan Urusan Orang Asli King William's Town,[9] sesambil belajar hukum di Universitas Afrika Selatan.[10] Alice mula-mula belerja dalam pekerjaan domestik untuk rumah tangga orang kulit putih lokal kemudian sebagai tukang masak di Grey Hospital, King William's Town.[11] Menurut saudarinya, pengamatan dari kondisi pekerjaan berbeda dari ibunya yang menimbulkan politisasi terawal dari Biko.[12] Nama pemberian Biko "Bantu" artinya "orang"; Biko menafsirkan hal ini dengan berkata "Umuntu ngumuntu ngabantu" ("seseorang adalah seseorang dalam hal orang lain").[13] Pada masa kecil, ia dijuluki "Goofy" dan "Xwaku-Xwaku", sebuah rujukan kepada penampilannya yang tak selaras.[14] Ia dibesarkan dalam kepercayaan Kristen Anglikan dari keluarganya.[15] Pada 1950, saat Biko berusia empat tahun, ayahnya jatuh sakit, dirawat di St. Matthew's Hospital, Keiskammahoek, dan meninggal,[16] membuat keluarganya bergantung pada pemasukan ibunya.[6] Biko menajalani dua tahun di St. Andrews Primary School dan empat tahun di Charles Morgan Higher Primary School, keduanya di Ginsberg.[17] Dianggap sebagai murid yang cerdas, ia dibolehkan untuk menunda setahun.[18] Pada 1963, ia pindah ke Forbes Grant Secondary School di kotapraja tersebut.[19] Biko mengambil jurusan matematika dan bahasa Inggris dan memuncaki peringkat di kelasnya dalam jurusan-jurusan tersebut.[20] Pada 1964, komunitas Ginsberg menawarkannya rawaran untuk bergabung dengan saudaranya Khaya sebagai murid di Lovedale, sebuah sekolah asrama prestisius di Alice, Tanjung Harapan Timur.[21] Dalam tiga bulan kdatangan Steve, Khaya dituduh memiliki hubungan dengan Poqo, angkatan bersenjata dari Kongres Pan Afrikanis (PAC), sebuah kelompok nasionalis Afrika yang dicekal pemerintah. Khaya dan Steve ditangkap dan diperiksa oleh kepolisian; Khaya dihukum, kemudian mengajukan banding.[22] Tak ada bukti jelas dari hubungan Steve dengan Poqo, tetapi ia dikeluarkan dari Lovedale.[23] Menanggapi keadaan tersebut, ia berkata: "Aku mulai mengembangkan sikap yang makin menyoroti otoritas ketimbang hal lainnya. Aku benci otoritas seperti halnya neraka."[24] Dari 1964 sampai 1965, Biko belajar di St. Francis College, sebuah sekolah asrama Katolik di Mariannhill, Natal.[25] Kolese tersebut memiliki budaya politik liberal, dan Biko mengembangkan hati nurani politiknya disana.[26] Ia menjadi meminati penggantian pemerintah kolonial minoritas kulit putih Afrika Selatan dengan sebuah pemerintahan yang mewakili mayoritas orang kulit hitam di negara tersebut.[27] Beberapa pemimpin anti-kolonialis yang menjadi pahlawan Biko pada waktu itu adalah Ahmed Ben Bella dari Aljazair dan Jaramogi Oginga Odinga dari Kenya.[27] Ia kemudian berkata bahwa sebagian besar "orang politik" dalam keluarganya bersimpati pada PAC, yang memegang gagasan anti-komunis dan rasialis Afrika. Biko memajukan apa yang ia sebut sebagai "organisasi yang sangat bagus" dari PAC dan mendorong beberapa anggotanya, tetapi ia tak sepakat dengan kesepakatan eksklusioner rasialnya, meyakini bahwa para anggota seluruh kelompok rasial harus bersatu melawan pemerintah.[28] Pada Desember 1964, ia datang ke Zwelitsha untuk acara penyunatan ulwaluko, yang secara simbolis menandai peralihannya dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.[29] Kegiatan pelajar awal: 1966–68Biko awalnya berminat untuk belajar hukum di universitas, tetapi beberapa orang di sekitarnya tak menyetujuinya, meyakini bahwa hukum terlalu dekat dengan kegiatan politik. Sebagai gantinya, mereka membujuknya untuk memilih jurusan kedokteran, sebuah subyek yang memiliki prospek karier yang lebih baik.[30] Ia menerima beasiswa,[30] dan pada 1966 masuk seksi "non-Eropa" dari Jurusan Kedokteran Universitas Natal di Wentworth, sebuah kotapraja di Durban.[31] Disana, ia bergabung dengan apa yang biografernya Xolela Mangcu sebut "sebuah kelompok pelajar kosmopolitan dan tersofistikasi" dari seluruh belahan Afrika Selatan;[32] beberapa orang dari mereka kemudian memegang peran-peran penting dalam era pasca-apartheid.[33] Akhir 1960an adalah hari puncak politik pelajar radikal di seluruh dunia, seperti yang terefleksi dalam unjuk rasa tahun 1968,[34] dan Biko bersemangat untuk melibatkan dirinya sendiri dalam ranah ini.[35] Tak lama setelah ia datang ke universitas, ia terpilih pada Dewan Perwakilan Pelajar (Students' Representative Council, SRC).[36] SRC dari universitas tersebut berafiliasi dengan Uni Pelajar Afrika Selatan Nasional (National Union of South African Students, NUSAS).[37] NUSAS menghimpun keanggotaan multi-rasial namun masih dominan orang kulit putih karena mayoritas pelajar Afrika Selatan berasal dari minoritas orang kulit putih di negara tersebut.[38] Clive Nettleton, seorang pemimpin kulit putih NUSAS, menyatakan: "esensi materi ini adalah bahwa NUSAS didirikan atas inisiatif orang kulit putih, dibiayai oleh uang orang kulit putih dan merefleksikan pendapat mayoritas para anggotanya yang merupakan orang kulit putih".[39] NUSAS secara resmi menentang apartheid, tetapi memoderasikan penentangannya dalam rangka mengutamakan dukungan terhadap para murid orang kulit putih konservatif.[40] Biko dan beberapa anggota NUSAS Afrika kulit hitam lainnya tertekan saat badan tersebut menghimpun parta-partai di dormitori-dormitori kulit putih, yang dilarang untuk dimasukki orang Afrika kulit hitam.[41] Pada Juli 1967, sebuah konferensi NUSAS diadakan di Universitas Rhodes, Grahamstown; setelah para murid datang, mereka menemukan bahwa ijin masuk hanya diperuntukkan kepada para delegasi kulit putih dan orang India-Afrika Selatan dan tidak dengan orang Afrika kulit hitam, yang dikatakan bahwa mereka dapat tidur di sebuah gereja lokal. Biko dan para delegasi Afrika kulit hitam lainnya berjalan keluar dari konferensi tersebut dengan kemarahan.[42] Biko kemudian mengaitkan bahwa peristiwa tersebut memaksanya untuk berpikir ulang terhadap keyakinannya terhadap kesepakatan multi-rasial pada kegiatan politik:[43]
Pendirian Organisasi Pelajar Afrika Selatan: 1968–72Perkembangan SASOSetelah konferensi NUSAS tahun 1968 di Johannesburg, beberapa anggotanya menghadiri konferensi Juli 1968 dari Gerakan Perguruan Tinggi Kristen di Stutterheim. Disana, para anggota Afrika kulit hitam memutuskan untuk mengadakan sebuah konferensi Desember untuk membahas pembentukan sebuah kelompok pelajar kulit hitam independen.[45] Organisasi Pelajar Afrika Selatan (South African Students' Organisation, SASO) resmi diluncurkan di konferensi Juli 1969 di Universitas Utara; disana, konstitusi kelompok tersebut dan wadah kebijakan dasar diadopsi.[46] Fokus kelompok tersebut adalah pada kebutuhan untuk kontak antar pusat-pusat kegiatan pelajar kulit hitam, termasuk melalui olahraga, kegiatan kebudayaan, dan kompetisi debat.[47] Meskipun Biko memainkan peran substansial dalam pembentukan SASO, ia memiliki profil publik rendah pada tahap-tahap awalnya, meyakini bahwa ini akan memperkuat tingkat kepemimpinan keduanya, seperti sekutunya Barney Pityana.[48] Meskipun demikian, ia terpilih menjadi presiden pertama SASO; Pat Matshaka terpilih menjadi wakil presiden dan Wuila Mashalaba terpiluh menjadi sekretaris.[49] Durban menjadi markas besar de facto-nya.[50] ReferensiCatatan kaki
Sumber
Bacaan tambahan
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Steve Biko. Wikiquote memiliki koleksi kutipan yang berkaitan dengan: Steve Biko.
|