Stanislaus Sandarupa
Stanislaus Sandarupa (9 Oktober 1956 – 18 Januari 2016) adalah peneliti budaya Toraja di Sulawesi Selatan. Ia masuk keluar pedalaman Toraja untuk menyelami makna yang terkandung dalam beberapa upacara adat. Bahasa ritual diterjemahkannya demi kelangsungan budaya Toraja. Stanislaus lebih dari sekadar peneliti. Selama 14 tahun terakhir, dia mengelola usaha perjalanan wisata Makassar-Toraja (325 km). Torindo Tours yang dikelolanya khusus melayani kelompok akademisi atau wisatawan peminat budaya suku yang berdiam di dataran tinggi Sulsel itu. Dana mendirikan Torindo diperolehnya dari menerjemahkan film dokumenter tentang beberapa ritual adat di Toraja buatan TV5 Prancis (1996). Rektorat Universitas Hasanuddin kala itu merekomendasikan Stanis—panggilannya—membantu TV5 menerjemahkan bahasa Toraja ke bahasa Inggris. Sarjana linguistik Inggris ini menerjemahkan sekitar 20 film selama sebulan dengan upah 200 dollar AS per hari. Selain membeli sebuah minibus, Stanis menyulap ruangan seluas 9 meter persegi di kediamannya menjadi kantor sederhana. Sebagian lagi digunakannya untuk membangun Rumah Makan Arumpala di jalan poros Makassar-Toraja. Saat duduk di bangku kuliah, dia memang terbiasa menerjemahkan ucapan Toma’kayo, pemimpin upacara kematian di Toraja, yang direkamnya di sejumlah ritual Rambu Solo’ (ritual kematian). Keinginan Stanis mengenal lebih dalam budaya Toraja semakin besar berkat dorongan Prof Dr Salombe sebagai pembimbing skripsi. Ia menganalisis teks yang diucapkan Toma’kayo untuk mengungkap kepercayaan orang Toraja pada hidup sesudah mati dalam skripsinya. Setelah meraih gelar sarjana pada tahun 1987, Stanis menyusun buklet tentang gemerlap upacara adat dan sensasi adu kerbau sebagai panduan wisatawan. Buku pegangan ini turut menggairahkan kunjungan wisatawan ke Toraja yang saat itu sempat mencapai 375.000 orang setahun. Niat Stanis untuk melanjutkan studi pada jenjang magister sempat terkendala karena tidak adanya jurusan linguistik antropologi di Indonesia. Namun, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin ini sukses meraih ambisinya setelah menjadi satu-satunya wakil dari Indonesia Timur yang mendapatkan beasiswa Fulbright dari Pemerintah Amerika Serikat. Studi tentang budaya Toraja melalui kajian linguistik antropologi dienyamnya di Departemen Linguistik University of Chicago. ”Bahasa dalam upacara adat di Toraja ternyata tidak bisa dikaji hanya dengan linguistik murni, melainkan linguistik antropologi untuk menghasilkan makna sesungguhnya,” ujarnya. Gelar magister akhirnya ia sandang pada tahun 1989. Selama empat tahun berikutnya, ia mengisi hari-harinya dengan mengajar dan menulis. Sejumlah artikel tentang Toraja tulisan Stanis termuat di media Ibu Kota. Kiprah Stanis dalam menganalisis budaya Toraja kembali menarik perhatian pihak asing. Ford Foundation pada tahun 1993 menawarinya ikut program doktoral di University of Chicago. Dalam studinya kali ini, Stanis memfokuskan penelitian pada ritual Rambu Solo’ yang dilakukan penganut Aluk Todolo (kepercayaan dari leluhur di Toraja). Setelah mengenyam teori kebudayaan selama dua tahun, ia kembali ke Tanah Air pada tahun 1995 untuk meneliti upacara adat Rambu Solo’ di sejumlah perkampungan Toraja. Selama tujuh tahun lebih Stanis berkelana dari satu kampung ke kampung lain yang khusus didiami para penganut Aluk Todolo. Stanis sedikitnya mengunjungi empat kampung yang masing-masing berlokasi di wilayah utara, selatan, barat, dan timur Toraja. Saat berkunjung ke Kampung Simbuang di bagian barat Toraja, ia harus berjalan kaki hingga 10 km untuk mencapai lokasi. Namun, jerih payah itu terbayar karena di Simbuang ia menemukan prosesi memeras mayat atau Mapara Tomate’ untuk memisahkan unsur keras (tulang) dari yang lunak (daging). Di tengah penelitiannya itu, ia menulis buku pertamanya berjudul Life and Death in Toraja (Universitas Hasanuddin, 2000). Tatkala penelitiannya rampung dua tahun kemudian, ia mendapat beasiswa dari Toyota Foundation Jepang. Beasiswa itu sebagai bekal menyusun disertasi. ”Hampir semua penelitian saya didukung yayasan asing karena mereka memahami pentingnya mengungkap keunikan budaya Toraja,” ungkap Stanis. Pencapaian itu kian mengukuhkan kapasitasnya sebagai peneliti yang memahami Toraja Luar dan Dalam. Pada tahun 2008, ia terlibat dalam dua proyek stasiun televisi asing, yakni FOX Television dan BBC Television yang memasukkan Aluk Todolo dalam program 80 Faiths Around The Worlds. Setahun kemudian, Stanis bersama dua penulis lain, Elizabeth Cofill (AS) dan Dana Rapaport (Prancis), menerjemahkan buku Ethnomusicology Toraja. ”Buku ini seperti kamus Toraja yang diartikan ke dalam bahasa Indonesia, Inggris, dan Prancis sebagai panduan bagi wisatawan,” katanya. Berbagai kerja sama dengan pihak asing itu membuat beberapa proyek Stanis tertunda. Empat buku yang telah ditulisnya sejak beberapa tahun lalu bakal rampung dan siap terbit tahun ini, antara lain, Tradisi Lisan Toraja, Kambunni’: Mengungkap Keunikan Budaya Toraja, dan Kamus Paralelisme Toraja. Karya itu menjadi modal berharga bagi generasi muda yang ingin mempelajari kebudayaan Toraja. Selama ini kebudayaan Toraja yang berbasis pada tradisi lisan nyaris punah karena hanya dipahami oleh segelintir masyarakat yang sudah tua. Begitu pula dengan ritual Rambu Solo’ versi Aluk Todolo mengingat penganutnya terus menyusut dari tahun ke tahun. Seolah melengkapi penguasaannya akan budaya Toraja, Stanislaus kini tengah merampungkan kamus Bahasa Toraja-Indonesia. Tak keliru jika Stanislaus dijuluki kuncen atau ”juru kunci” budaya Toraja. Ia lahir di Toraja, berdarah Toraja, meneliti tentang Toraja, dan berbisnis untuk pengembangan kebudayaan Toraja. Pendidikan
Karya
Sumber |