Sri Alam dari AcehSultan Sri Alam atau Sultan Mughal adalah Sultan Aceh ke-6 yang memerintah dari tahun 1575 hingga tahun 1576, menurut Denys Lombard, ia hanya berkuasa pada tahun 1579.[1] Sri Alam merupakan putera dari Sultan Alauddin al-Qahhar, Sultan Aceh ke-3, selain itu ia juga menjabat sebagai Raja Priaman atau Pariaman.[1] Sultan Sri Alam sebelumnya bernama Sri Alam Firman Syah yang dinikahkan dengan Raja Dewi, putri Sultan Munawar Syah dari Inderapura. Hulubalang dari Inderapura disebut-sebut berkomplot dalam pembunuhan putra dari Sultan Husain Ali Riayat Syah yang bernama Sultan Muda, sehingga melancarkan jalan buat suami Raja Dewi naik tahta dengan nama Sultan Sri Alam pada 1576. Namun kekuasaannya hanya berlangsung selama tiga tahun sebelum disingkirkan dengan dukungan para ulama.[2] Namun pengaruh Kerajaan Inderapura tak dapat disingkirkan begitu saja. Dari 1586 sampai 1588 saudara Raja Dewi yang bernama Sultan Buyong memerintah dengan gelar Sultan Ali Ri'ayat Syah II, sebelum akhirnya terbunuh oleh intrik ulama Aceh.[2] Latar belakangKerajaan Aceh Darussalam merupakan kerajaan yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah (Sultan Ali Ri’ayat Syah I) pada sekitar tahun 1513 M. Ia menjadi Sultan pertama dari kerajaan tersebut, yang memerintah pada tahun 1513-1530 M. Pada era Sultan Alauddian Ri’ayat Syah Alkahhar (Sultan ke-3, memerintah tahun 1537-1571 M), kerajaan Aceh Darussalam mulai melakukan ekspansi territorial, terutama ke daerah pesisir pantai Barat Sumatera. Di sana, Kerajaan Aceh Darussalam berhasil menguasai beberapa kota pelabuhan penyalur lada dan hasil hasil bumi berharga lainnya. Di antara kota kota itu ialah: Singkil, Barus, Pasaman, Tiku, Pariaman, dan Padang. Berbagai hasil produksi pantai Barat Sumatera ini di bawa ke pelabuhan pelabuhan Aceh, yang kemudian dibeli oleh para saudagar internasional, untuk diperdagangkan di pasar pasar India, Tiongkok, dan Eropa.[3] Pengaruh di Pantai Barat Sumatera
Pantai Barat Sumatera kemudiannya tumbuh dengan pesat sebagai daerah produksi lada. Pariaman, Selebar, dan Indrapura berkembang menjadi kota pelabuhan yang penting. Sultan Alauddin Ri’ayat Syah Alkahhar (1537-1571 M) menempatkan wakil wakilnya di kota kota tersebut untuk mempermudah pengawasan perdagangan. Di kota kota pelabuhan itu, lada milik kerajaan dijual oleh Sultan, atau dilakukan oleh para pejabatnya, seperti orang kaya dan Syahbandar. Para Syahbandar di kerajaan Aceh berfungsi sebagai pembantu Sultan dalam mengurusi dan mengepalai perdagangan di kota kota pelabuhan. Sultan Aceh merupakan penguasa mutlak dan sebagai majikan atas barang barang milik bawahan bawahannya.[4] Sultan Alauddian Ri’ayat Syah Alkahhar (1537-1571 M) telah menunjuk anaknya yang bernama Sultan Mughal/Moghul (yang sering dikenal juga dengan nama Abangta Abdul Jalil, Abangta Pariaman Syah) untuk menjadi Raja Muda (wakil Sultan Aceh Darussalam) di Pariaman. Tugas utama Sultan Mughal adalah untuk melakukan kontrol terhadap roda pemerintahan, termasuk aspek politik, administrasi dan ekonomi. Walaupun belum ditemukan penegasan dari para pakar sejarah, tetapi agaknya Sultan Mughal/Moghul ini merupakan Raja Muda Aceh Darussalam pertama yang ditugaskan di Pariaman.[5] Raja Muda Aceh di PariamanSangat disayangkan, belum diperoleh informasi yang rinci mengenai sistem pengelolaan administrasi yang dijalankan oleh kerajaan Aceh Darussalam, dan sepak terjang Sultan Mughal/Moghul ini di Pariaman ketika itu. Hanya dimulai semenjak pemerintahan Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam-lah (1607-1636), baru diperoleh informasi yang memadai mengenai aktifitas penguasa Aceh di kawasan ini. Namun demikian, dapat dipastikan bahwa Pariaman ketika itu merupakan salah satu pos penting dalam upaya mengontrol jalannya monopoli perdagangan kerajaan Aceh Darussalam di kawasan Barat pulau Sumatera. Pariaman ketika itu berpenduduk cukup banyak. Kota pelabuhan ini terletak lebih jauh dari Tiku dan memiliki hawa udara yang lebih sehat. Di sana didapatkan cukup bahan makanan, tetapi sayangnya pohon pohon lada tidak begitu subur.[6] Posisi Sultan Mughal sebagai Raja Muda di Pariaman berakhir pada tahun 1579 M, karena ia “mendapat promosi” ditabalkan menjadi Sultan Aceh Darussalam yang ke 6, dengan gelar “Sultan Sri Alam”. Ia menggantikan kekuasaan keponakannya yang bernama Sultan Muda (Sultan ke-5, anak dari Sultan Husein Ali Ri’ayat Syah / Sultan ke-4). Sultan Sri Alam akhirnya mati dibunuh pada tahun 1579 M itu juga, setelah berkuasa hanya dalam waktu 2 bulan saja. Ia kemudian digantikan oleh keponakannya yang bernama Zainal Abidin (Sultan ke-7, memerintah dalam waktu singkat, berakhir tahun 1579 juga), anak dari saudaranya yang bernama Sultan Abdullah (Raja Muda di Aru atau Deli). Alasan di balik pembunuhan Sultan Sri Alam ini sulit diketahui dengan pasti. Namun beberapa sumber tradisional seperti Hikayat Aceh menyatakan bahwa para petinggi dan para Ulama telah mengambil kebijakan untuk menurunkannya dari singasana. Penyebabnya adalah karena kebijakan Sultan Sri Alam dinilai cenderung memihak kepada raja penguasa lokal di wilayah pantai Barat, dan terlalu menghamburkan hamburkan dana kerajaan untuk kepentingan para penguasa lokal tersebut. Walaupun demikian, ia juga digambarkan sebagai seorang penguasa yang taat beribadah dan dermawan.[7] Akan tetapi di sisi lain, Bustanus Salatin memberikan deskripsi yang berbeda mengenai Sultan Sri Alam ini. Ia dikatakan sebagai figur yang memiliki tempramen tinggi (parabo), tidak bijak, dan seorang penguasayang lemah dalam aspek kepemimpinan. Apapun alasan yang dikemukakan sebagai latar belakang terjadinya pembunuhan terhadap Sultan Sri Alam, menunjukan bahwa peristiwa ini sangat terkait dengan pemegang kekuasaan yang sesungguhnya di kerajaan, yaitu para petinggi kerajaan dalam lingkungan istana Aceh Darussalam. Sultan Sri Alam menikah dengan Raja Dewi, seorang putri dari Raja Indrapura, yaitu Sultan Munawar Syah. Raja Dewi ini juga merupakan saudara perempuan dari Sultan Buyung (Sultan Bujang), yang kelak ditabalkan menjadi Sultan Aceh Darussalam ke- 9 (1585-1589 M), dengan gelar Sultan Meugat Buyung Alaiddin Ri’ayat Syah. Ia menggantikan Sultan Mansyur Syah (Sultan ke 8, memerintah 1579-1585 M). Dengan demikian, terlihat jelas bahwa Sultan Meugat Buyung Alaiddin Ri’ayat Syah ini adalah ipar dari Sultan Sri Alam. Sultan Meugat Buyung Alaiddin Ri’ayat hanya berkuasa selama 4 tahun, karena kemudian ia juga tewas dibunuh. Ia digantikan oleh Sultan Alauddin Ri’ayat Syah Sayid al Mukammal (Sultan ke-10, memerintah tahun 1589-1604 M). Kelak, dari hasil pernikahan anak laki laki Sultan Sri Alam yang bernama Sultan Mansur dengan Putri Raja Indra (Anak dari Sultan Alauddin Ri’ayat Syah Sayid al Mukammal), melahirkan seorang putra yang bernama Darma Wangsa Perkasa Alam. Darma Wangsa Perkasa Alam, cucu dari Sultan Sri Alam ini lah yang kemudian terkenal sebagai Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam (berkuasa 1607-1636 M). Ia merupakan seorang Sultan yang gilang gemilang, yang telah membawa kerajaan Aceh Darussalam kepada masa keemasannya.[8] Referensi
Pranala luar
|