Sorga Ka Toedjoe
Sorga Ka Toedjoe[a] ([sɔrˈga ˈka tuˈdʒu]; bahasa Melayu pasaran untuk Surga Ketujuh; juga dipasarkan dengan judul Belanda In Den Zevenden Hemel) adalah film Hindia Belanda (sekarang Indonesia) tahun 1940 yang disutradarai Joshua dan Othniel Wong untuk Tan's Film. Film ini mengisahkan seorang pasangan tua, diperankan Kartolo dan Annie Landouw, yang setelah sekian tahun berpisah disatukan kembali oleh pasangan muda lain yang diperankan Roekiah dan Djoemala. Ini adalah film pertama Tan's Film setelah ditinggalkan Rd. Mochtar. Film ini hitam putih dan menampilkan musik keroncong. Film yang ditargetkan pada penonton pribumi kelas bawah ini sukses di pasaran dan disambut hangat oleh kritikus. Roekiah dan Djoemala kelak memainkan peran utama di empat film lainnya sebelum Tan's ditutup tahun 1942. Sorga Ka Toedjoe diduga hilang dari peredaran. AlurRasminah (Roekiah) tinggal dengan bibinya yang tuna netra bernama Hadidjah (Annie Landouw) di Puncak, sebuah desa yang berada di tenggara Buitenzorg (sekarang Bogor). Hadidjah telah berpisah dari suaminya, Kasimin, selama beberapa tahun, sejak dia dituduh telah berzina olehnya. Meskipun ia segera menyesali insiden itu, sudah terlambat; mayat menyerupai Kasimin ditemukan mengambang di sungai, dan Hadidjah ditabrak oleh sebuah mobil, yang membuat dirinya buta, ketika ia buru-buru ingin melihat jenazah tersebut. Sekarang dia menyanyikan lagu kroncong "Sorga Ka Toedjoe", yang dinyatakan Kasimin sebagai simbol cintanya, pada pukul 5 sore setiap hari. Tanpa diketahui Hadidjah, Kasimin (Kartolo) masih hidup dan sehat; ia juga menyanyikan "Sorga Ka Toedjoe" setiap hari pada waktu yang sama. Setelah bertemu dengan orang kaya dan dibenci masyarakat bernama Parta, yang berniat untuk membawanya sebagai istri keduanya, Rasminah pergi ke kota terdekat dari Batavia (sekarang Jakarta) untuk mencari pekerjaan. Beberapa hari kemudian, setelah menemukan pekerjaan, ia kembali ke Puncak untuk mengambil Hadidjah dan membawanya ke Batavia. Namun, Parta dan pengikutnya Doel mengejar-ngejarnya. Ketika kereta Rasminah yang terjebak dalam liang, kedua mulai mengejarnya. Rasminah berjalan ke hutan, dan setelah beberapa berjumpa dengan sejumlah orang, ia menemukan tempat berlindung di sebuah rumah kecil. Di sana ia beristirahat pada malam hari, tanpa melihat pemiliknya. Keesokan paginya, Rasminah terbangun oleh suara gitar yang dimainkan oleh pemilik rumah itu, Hoesin (Djoemala). Takut bahwa ia bekerja sama dengan Parta, ia menyelinap ke luar, hanya untuk berhadapan dengan Parta dan Doel. Mundur, dia dikejar oleh keduanya. Hoesin campur tangan, dan setelah pertarungan sengit, mengalahkan dua dan mengusir mereka pergi. Dia kemudian meyakinkan Rasminah dan mengantarkan ke rumahnya. Selama hari-hari berikutnya Hoesin berulang kali mengunjungi Rasminah, dan perlahan-lahan keduanya mulai jatuh cinta. Hoesin ikut Rasminah mengunjungi bibinya di Batavia untuk tinggal bersamanya. Mereka mulai membahas masa depan mereka bersama-sama, tapi Rasminah menegaskan bahwa dia hanya akan menikah jika bibinya kembali dengan Kasimin. Setelah pencarian panjang, ketika ia hampir putus harapan, Hoesin menemukan Kasimin di sebuah perkebunan kecil di perbukitan di luar kota - suami lama Hadidjah yang hilang yang sebelumnya mengolah kebunnya sendiri, tetapi kemudian digusur oleh pemilik licik dan serakah sehari sebelumnya. Akhirnya Kasimin dan Hadidjah bertemu kembali, memungkinkan Hoesin dan Rasminah untuk memulai persiapan mereka sendiri.[b] ProduksiSorga Ka Toedjoe disutradarai oleh Joshua dan Othniel Wong bersaudara dari Tan's Film, sebuah perusahaan yang dimiliki oleh dua bersaudara beretnis Tionghoa bernama Khoen Yauw dan Khoen Hian.[1] Tan bersaudara, yang memproduksi sejumlah film, telah aktif dalam industri sejak Njai Dasima pada tahun 1929.[2] Wong bekerja dengan Tan sejak 1938, ketika mereka menyutradarai film hit Fatima, membantu pembangunan ulang perusahaan tersebut setelah perusahaan tersebut belum menyelesaikannya pada tahun 1932.[3] Sorga Ka Toedjoe direkam menggunakan hitam putih, dengan beberapa latar film di Telaga Warna, dekat Buitenzorg.[4] Film tersebut dibintangi oleh Roekiah, Rd Djoemala, Kartolo, dan Annie Landouw dan menampilkan Titing, Ismail, dan Ramli.[1] Dalam syuting film, Roekiah selalu dipasangkan dengan Rd. Mochtar – meskipun pada akhirnya ia menikah dengan Kartolo – sejak berperan dalam film Terang Boelan. Pada tahun 1938, ketiganya bekerja dengan Tan, di mana mereka berakting bersama dalam tiga film sejak berperan dalam film Fatima. Namun, setelah sengketa upah pada film Siti Akbari (1940), Mochtar keluar dari perusahaan tersebut. Sebagai penggantinya, Tan menunjuk penjahit Djoemala sebagai lawan main Roekiah.[5] Sorga Ka Toedjoe adalah film pertama mereka.[1] Kartolo menangani musik film tersebut, dan kebanyakan pemeran telah berpengalaman menyanyikan kroncong (musik tradisional dengan pengaruh Portugis).[6] Sebelum membuat film pilihan mereka debut dalam Terang Boelan (Terang Bulan; 1937) karya Albert Balink, Roekiah dan Kartolo telah membangun popularitas dengan rombongan musikal panggung Palestina.[7] Landouw telah menjadi penyanyi kroncong dengan orkestra Lief Java buatan Hugo Dumas,[8] dan Titing juga seorang penyanyi yang mapan.[9] Perilisan dan tanggapanSorga Ka Toedjoe yang tayang perdana di Surabaya pada 30 Oktober 1940,[10] adalah salah satu dari empat belas produksi domestik yang dirilis pada tahun tersebut.[11] Pada Maret 1941, film tersebut diputar di Singapura yang saat itu merupakan bagian dari Negeri-Negeri Selat.[12] Seperti halnya semua film yang diproduksi oleh Tan, film tersebut ditujukan kepada penonton pribumi kelas bawah untuk semua umur.[13] Film ini diiklankan, terkadang dengan judul berbahasa Belanda In Den Zevenden Hemel, sebagai sebuah "film sederhana namun menarik"[c] dengan menampilkan "musik yang bagus, lagu yang menarik, dan latar yang indah".[d][10] Wikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
Versi novel dari film tersebut dirilis oleh penerbit yang berada di Yogyakarta bernama Kolff-Buning.[14] Film tersebut meraih keberhasilan secara komersial.[15] Tanggapannya yang didapat pun juga positif. Soerabaijasch Handelsblad memberikan pujian yang tinggi terhadap film tersebut, menyatakan bahwa film tersebut memiliki dialog yang bagus dan musik maupun temanya "dipilih dengan baik, romantis dan tidak berlebihan"[e].[6] Menurut peninjau, Sorga Ka Toedjoe tampaknya terinspirasi dari film-film Amerika namun tetap menampilkan karakter Hindia Belanda-nya. Peninjau juga berpendapat bahwa Djoemala lebih baik seperti, kurang lebih, ketimbang Mochtar.[6] De Indische Courant memuji pelatarannya dan menyatakan bahwa film tersebut telah mengkritik para orang kaya pemilik tanah yang menyalahgunakan kekuasaan mereka,[16] sementara Singapore Free Press memuji akting Roekiah.[12] WarisanSetelah Sorga Ka Toedjoe, Tan's Film membuat empat film lainnya yang terbilang lebih sedikit ketimbang kompetitornya seperti Film Industri Jawa The Teng Chun dan anak perusahaannya. Tiga di antaranya dibintangi oleh Roekiah dan Djoemala sebagai pemeran utama, dan menampilkan Kartolo.[f][15] Menurut Katalog Film Indonesia JB Kristanto, Landouw tidak membuat film lainnya.[17] Tan berhenti beroperasi pada tahun 1942, ketika Jepang menduduki Hindia Belanda.[18] Film tersebut kemungkinan hilang. Film-film di Hindia Belanda direkam menggunakan film nitrat yang sangat mudah terbakar, dan setelah kebakaran menghancurkan sebagian besar gudang Produksi Film Negara pada tahun 1952, film lama yang direkam menggunakan nitrat dihancurkan dengan sengaja.[19] Namun, antropolog visual Amerika Karl G. Heider berpendapat bahwa seluruh film Indonesia yang berasal dari masa sebelum 1950 telah hilang.[20] Meskipun demikian, Kristanto menyatakan bahwa beberapa yang selamat berada di arsip-arsip Sinematek Indonesia, dan sejarawan film Misbach Yusa Biran menuliskan bahwa beberapa film propaganda Jepang yang selamat berada di Dinas Informasi Pemerintah Belanda.[21] Catatan penjelas
Referensi
Kutipan
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Sorga Ka Toedjoe.
|