Soetedja Poerwodibroto
R. Soetedja Poerwodibroto (15 Oktober 1909 – 12 April 1960) adalah musisi, penyanyi, dan pencipta lagu keroncong Indonesia asal Banyumas, Jawa Tengah. Ia dikenal sebagai pencipta lagu "Di Tepinya Sungai Serayu", "Tidurlah Intan", dan "Melati Pesanku". Selain menciptakan lagu, ia juga merupakan pendiri RRI cabang Purwokerto.[1] Kehidupan awalSoetedja lahir di Banyumas pada tanggal 15 Oktober 1909 serta merupakan anak keempat dari delapan bersaudara. Ayahnya, Poerwodibroto, adalah seorang pegawai di Kantor Keresidenan. Ia kemudian diangkat sebagai anak oleh sang paman Soemandar, juragan tebu dan pabrik batik Banjarnegara. Bakat bermusiknya mulai bergejolak saat ia suka memukul-mukul peralatan dalam proses produksi batik sehingga Soemandar dan karyawannya merasa terganggu. Ia mendapat hadiah biola Stradivarius buatan tahun 1834 akibat dari perilakunya itu. Selain biola, ia juga dihadiahi piano, sehingga ia tidak mengganggu kegiatan produksi batik.[2][3] KarierSaat ia bersekolah di AMS Bandung, Soetedja berguru piano kepada seorang Belanda.[1] Ia bertekad untuk menjadi seorang musikus daripada menjadi seorang dokter atau ahli hukum sesuai keinginan Soemandar. Begitu Soemandar mengancam mengusirnya, Soetedja memilih meninggalkan Banyumas dan menemui Sultan Pontianak lalu melatih anak-anaknya bermusik. Akibat kepergiannya itu, Soemandar jatuh sakit, lalu membujuknya pulang, dengan jaminan ia dapat melanjutkan studi musik ke Eropa.[3][3] Saat ia pulang ke Jawa, Soemandar mengajak Soetedja naik perahu mengarungi Kali Serayu. Dari situlah ia menciptakan lagu "Di Tepinya Sungai Serayu". Selain itu, Soemandar menunjukkan hamparan tebu yang menjadi modal untuk melanjutkan pendidikan musik di Konservatori Musik, Italia.[3] Memimpin orkesSetelah mengenyam pendidikan musik di Italia, Soetedja mendirikan RRI Purwokerto dan menjadi direktur bidang musik di sana. Pada saat itu berdirilah Orkes Radio Philharmonisch, Orkes Studio Djakarta (didirikan oleh Soetedja), dan Orkes Cosmoplitan (didirikan oleh Jos Cleber). Orkes-orkes tersebut didirikan untuk memodernisasi musik klasik dan keroncong di Indonesia. Saat RRI Jakarta kembali ke tangan Indonesia, terjadi perombakan kepemimpinan orkes pada 1950, Ismail Marzuki ditunjuk oleh Joesoef Ronodipoero sebagai pemimpin Orkes Studio Djakarta hanya selama tiga bulan, lalu digantikan oleh Sjaiful Bahri.[4] Di luar RRI, ia juga memimpin Korps Musik Angkatan Udara Republik Indonesia.[2] Kematian dan warisanSoetedja meninggal dunia pada tanggal 12 April 1960. Jasadnya dimakamkan di TPU Karet, Jakarta. Ia meninggalkan ratusan partitur musik yang disimpan di RRI Jakarta. Namun sayangnya, karya-karyanya tak terselamatkan karena terjadi kebakaran di studio RRI pada tahun 1950.[1] Pada tahun 1970, Gedung Kesenian Soetedja didirikan untuk mengenang jasa-jasanya. Namun kemunduran gedung terjadi pascareformasi 1998, dan pada 2004, gedung ini hanya digunakan sebagai gudang logistik Pemilu 2004. Gedung ini akhirnya dibongkar pada Mei 2015.[1] Pada tanggal 15 November 2018, film biografi Mencari Soetedja, dirilis untuk mengenang jasa-jasa Soetedja.[5] Pada kurun waktu 2017–2018, Gedung Kesenian Soetedja dibangun kembali dengan desain baru.[6] Referensi
|