Soemino Eko Saputro
Soemino Eko Saputro (lahir 10 September 1947) adalah teknokrat, rekayasawan perkeretaapian Indonesia. Ia menjabat sebagai Direktur Jenderal Perkeretaapian pada saat pertama kali dibentuk, tepatnya pada 2005–2007. Ia pernah menjabat sebagai Direktur Utama Perumka pada tahun 1995–1998. Ia saat ini menjadi Kepala Program Studi Rekayasa Infrastruktur dan Lingkungan bidang Perkeretaapian di Institut Transportasi dan Logistik Trisakti. Kehidupan awalSoemino Eko Saputro lahir pada 10 September 1947 dari pasangan Partodihardjo (ayah) dan Asih (ibu). Kedua orang tuanya adalah petani yang tinggal di Delanggu, Klaten. Partodihardjo bertugas mengolah sawah, sedangkan Asih menjual berasnya.[1] Saputro menjalani pendidikan SR di Delanggu, SMP, dan SMA di Surakarta (SMA Negeri 3 Surakarta), dan melanjutkan ke perguruan tinggi dengan masuk program studi S1 Teknik Sipil, di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) dan lulus tahun 1976 serta mendapat gelar sarjana teknik (Ir.).[1] KarierBerkarier di PJKASetelah lulus dari ITS, Saputro mulai berkarier di Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA), Ia menjadi pegawai tetap pada 1976 setelah menjalani ikatan dinas.[2] Saputro pertama kali ditempatkan di Subdirektorat Jalan Bangunan, kemudian dipindah ke Surabaya, Malang, dan Jember, di mana ia menduduki berbagai jabatan penting, termasuk Kepala Bagian Jalan dan Bangunan. Pada 1978, ia dikirim ke Jepang untuk pelatihan perencanaan. Sepulangnya, ia menjabat sebagai Kepala IKD 11 Jember hingga 1981, dan kemudian sebagai Kepala Bagian Jalan dan Bangunan di Medan. Ia menjalin hubungan dengan militer untuk mengatasi tantangan infrastruktur di daerah tersebut.[2] Setelah memulihkan jalur kereta api yang terputus akibat banjir di Sumatera Barat pada 1987, Saputro diangkat menjadi Kepala Eksploitasi Sumatera Barat hingga 1988. Pada 1991, ia menjabat sebagai Direktur Teknik Perumka, setelah PJKA berubah nama.[3] Direktur Utama PerumkaSaputro menjabat sebagai Direktur Utama Perumka mulai 27 Januari 1995, menggantikan Anwar Suprijadi.[4] Ia melanjutkan program pengembangan kereta api cepat dan nyaman, dengan meluncurkan kereta api JS950 Argobromo dan JB250 Argogede pada 31 Juli 1995.[5][6] Kereta Argo, yang dipromosikan intensif, mendapat sambutan positif, terutama saat krisis finansial Asia 1997. Saputro digantikan oleh Edie Haryoto pada 3 September 1998. Direktur Jenderal PerkeretaapianPada tahun 2000, ia memperoleh gelar magister manajemennya di STIE-IPWI Jakarta. Tahun 2001, ia bekerja di Dephub sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Manajemen Transportasi Multimoda hingga 2002, kemudian pindah menjadi Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi hingga 2005. Tatkala Hatta Rajasa membentuk Direktorat Jenderal Perkeretaapian (Ditjen KA atau DJKA) pada 5 Agustus 2005, Saputro dipanggil untuk mengisi jabatannya sebagai Dirjen yang pertama.[7] Pada masa kepemimpinannya, DJKA mulai memulai program jalur ganda jalur kereta lintas utama jawa.[8] Jabatannya berakhir pada penghujung 2007 dan digantikan oleh Wendy Aritenang Yazid. Setelah berkarier di DJKA, Saputro masih dipercaya sebagai Stafsus Menhub bidang Perkeretaapian serta Komisaris Utama PT INKA. Pada 2018, ia menjadi Kepala Program Studi Rekayasa Infrastruktur dan Lingkungan di Institut Transportasi dan Logistik Trisakti, dan mendapat gelar doktor dari perguruan tinggi tersebut pada 10 Juli 2024.[9] Kasus Korupsi KRL JabodetabekPada 2006–2007, untuk mendukung pengembangan KRL Jabodetabek, Saputro, yang menjabat sebagai Direktur Jenderal Perkeretaapian, mengimpor KRL bekas, yakni Toyo Rapid seri 1000 dan Tokyo Metro seri 5000 dari Jepang. Ia mengklaim bahwa KRL tersebut merupakan hibah dari Jepang, meskipun Pemerintah Jepang belum merencanakan hibah tersebut. Pada kenyataannya, ternyata KRL tersebut dibeli dari tempat pemotongan besi tua (scrapyard), di mana KRL tersebut sebelumnya akan dibesituakan.[10] Kementerian Perhubungan kemudian berkoordinasi dengan Japan Railway Technical Services (JARTS) dan menunjuk Sumitomo Corporation untuk mengangkut KRL ke Indonesia. Namun, dengan penunjukan langsung, pemerintah secara tidak langsung membeli KRL bekas tersebut, yang merugikan negara. Akibatnya, Sumitomo Corporation memperoleh keuntungan sebesar Rp1,8 miliar, sementara KOG Japan memperoleh Rp15 miliar. Total kerugian negara akibat transaksi ini diperkirakan mencapai Rp20 miliar. Pada 28 November 2011, Saputro dijatuhi hukuman penjara selama 3 tahun dan denda sebesar Rp100 miliar.[11] Referensi
Daftar pustaka
|