Sobron Aidit
Sobron Aidit (2 Juni 1934 – 10 Februari 2007) adalah penulis dan penyair terkemuka pada zaman Orde Lama. Sebagai penulis, ia menulis cerita-cerita pendek. Ia bertahun-tahun hidup dalam pengasingan di Paris (Prancis) dan meninggal dalam usia 73 tahun. Ia adalah adik kandung dari pemimpin Partai Komunis Indonesia, D.N. Aidit. Pendidikannya ditempuhnya di HIS di Belitung, dan kemudian melanjutkan hingga ke Universitas Indonesia di Jakarta.[2][3][4] Menjadi pengarangSejak masa remajanya, Sobron telah aktif mengarang. Karangannya yang pertama dibuatnya pada usia 13 tahun berupa cerita pendek, "Kedaung" yang diterbitkan dalam Majalah Waktu di Medan. Pindah ke Jakarta, Sobron bertemu dengan Chairil Anwar yang kebetulan tinggal bersama kakaknya. Chairil banyak membimbingnya dalam penulisan dan kreativitas Sobron pun kian berkembang. Puisi dan cerpennya terbit di berbagai majalah, seperti Mimbar Indonesia, Zenith, Kisah, Sastra, yang semuanya diasuh oleh H.B. Jassin. Penerbitan lain yang memuat karya-karyanya adalah Harian Sunday Courier, Republik, Bintang Timur (Bintang Minggu), Harian Rakjat, Zaman Baru, Kencana, Siasat, Mutiara, dll. Sobron pernah memperoleh penghargaan Hadiah Sastra untuk karya-karyanya. Cerpennya, "Buaja dan dukunnja" mendapatkan penghargaan dari Majalah Kisah/Sastra pada 1955-1956, dan cerpennya "Basimah" mendapatkan penghargaan dari Harian Rakjat Kebudajaan pada 1961. Pekerjaan dan aktivitasSobron Aidit bekerja sebagai guru di SMA Utama di Salemba, dan SMA Tiong Hoa Hwee Koan, keduanya di Jakarta (1954-1963). Ia juga menjadi dosen di Akademi Sastra Multatuli yang didirikannya bersama Prof. Bakri Siregar. Sobron juga pernah menjadi wartawan untuk Harian Rakjat dan Bintang Timur, keduanya terkenal sebagai harian kiri pada akhir 1950-an dan awal 1960-an. Selain itu, ia juga aktif sebagai pengurus Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok bersama Prof. Dr. Prijono, dan kemudian bersama Djawoto dan Henk Ngantung (1955-1958). Pada 1960-1962, ia aktif sebagai pengurus Lembaga Persahabatan Indonesia-Vietnam bersama K. Werdoyo dan Nyak Diwan, dan pengurus Baperki bersama Siauw Giok Tjhan dan Buyung Saleh (1960-1961). Sebagai seniman, Sobron mendirikan kelompok "Seniman Senen" bersama SM Ardan, Wim Umboh dll. Pada tahun 1963 ia mendapat undangan untuk menjadi Guru Besar Sastra dan Bahasa Indonesia di Institut Bahasa Asing Beijing (1964). Di samping itu ia tetap menjadi wartawan, antara lain untuk Peking Review. Sobron dan keluarganya bermukim di Beijing atau Tiongkok sebagai pengajar di Institut Bahasa Asing. Sejak itu, ia tak bisa pulang ke Indonesia. Karena, bila ia kembali, keselamatannya tidak terjamin. Revolusi KebudayaanPada tahun 1966 - 1976 Tiongkok dilanda Revolusi Kebudayaan yang antara lain besifat anti kaum intelektual. Sobron pun terpaksa berhenti bekerja dan diperintahkan pergi ke desa untuk hidup dan bekerja bersama dengan para petani. Setelah Revolusi ini berakhir, pada 1979 ia kembali ke Beijing dan bekerja di Radio Peking sebagai penyiar dan redaktur. Pindah ke PrancisSetelah kontraknya dengan Radio Peking berakhir, Sobron berniat meninggalkan Tiongkok, namun ia tidak tahu harus ke mana. Mulanya ia ingin ke Hong Kong, namun ia khawatir akan diekstradisi ke Indonesia. Pada 1981, ia memutuskan ke Paris, meskipun sama sekali tidak paham tentang negara itu dan tidak mengenal bahasanya. Setibanya di Prancis, ia diberikan pelajaran bahasa Prancis di pusat penampungan pengungsi. Bersama sejumlah temannya, ia mendirikan restoran "Indonesia" di Rue de Vaugirard (Paris). Beberapa cerita pendek berlatar belakang dari restorannya itu. Membuka restoranSetelah selesai mendapatkan pelajaran dasar bahasa Prancis, Sobron dan teman-temannya dilepas oleh pemerintah Prancis untuk hidup mandiri. Muncullah gagasan di antara mereka untuk membuka sebuah restoran Indonesia secara kolektif, meskipun tak seorangpun dari mereka yang punya pengalaman mengelola restoran. Selama enam bulan Sobron dan temannya Umar Said berkeliling Paris untuk mencari lokasi dan mempelajari menu restoran-restoran yang sudah ada. Dana untuk membuka restoran mereka peroleh dari berbagai sumber, terutama dari sejumlah pendukung di Belanda, dari Gereja Katolik, dan dari uang tunjangan yang mereka terima selama dua tahun dari pemerintah Prancis. Ada juga bantuan dari sejumlah teman orang Prancis yang bersimpati dengan nasib mereka. Presiden Mitterand bahkan sangat bersimpati, dan istrinya pernah beberapa kali singgah dan makan di restoran mereka yang kecil itu, di kawasan Luxembourg, pusat kota Paris. Oleh pemerintah Indonesia sendiri kelompok ini diboikot dan dimusuhi. Baru setelah Soeharto jatuh dari kursi kekuasaannya, ada keterbukaan dari pihak perwakilan Indonesia di Paris. Kegiatan terakhirSelama Orde Baru, karya-karya Sobron, termasuk karyanya bersama orang lain, dilarang beredar. Meskipun demikian, tulisan-tulisannya tetap muncul di berbagai media di Indonesia, semuanya dengan nama samaran. "Saya punya 25 nama samaran selama 32 tahun," Sobron mengaku. Sobron menjadi salah seorang pendukung dan penulis yang aktif bagi usaha terbitan pers alternatif, terutama sekali bagi majalah sastra dan seni Kreasi, majalah Mimbar, dan majalah opini dan budaya pluralis Arena. Catatan kehidupan dan pengembaraannya muncul secara teratur di internet. Sejumlah karya Sobron telah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia, Mandarin, Inggris, Bulgaria, Belanda, Jerman, dan Prancis. Sobron telah menjadi warga negara Prancis, dan dengan paspor Prancis ia sudah beberapa kali berkunjung ke Indonesia. Ia juga menggunakan nama "Simon". Sobron Aidit terkena serangan jantung dua hari sebelum ia meninggal di rumah sakit di Paris, Prancis pada tanggal 10 Februari 2007.[1] KeluargaSimon Sobron Aidit terakhir tinggal di Prancis, sementara dua anaknya (Wita dan Nita) tinggal di Belanda. Istrinya telah lama meninggal ketika masih tinggal di Tiongkok. Keluarga besar Sobron Aidit berasal-usul dari Maninjau, Agam, Sumatera Barat.[5] Karya tulisSebagian dari karangan dan kumpulan puisi Sobron Aidit:
Rujukan
Pranala luar
|