Sitor Situmorang
Raja Sitor Situmorang (dikenal sebagai Sitor Situmorang 2 Oktober 1924 – 21 Desember 2014) adalah seorang sastrawan dan wartawan Indonesia. Sitor menulis sajak, cerita pendek, esai, naskah drama, naskah film, telaah sejarah lembaga pemerintahan Batak Toba, dan menerjemahkan karya sastra mancanegara. Kehidupan awalSitor dilahirkan dengan nama Raja Usu Situmorang. Ayahnya bernama Ompu Babiat, seorang kepala adat dari marga Situmorang, sedangkan dan ibunya berasal dari marga Simbolon.[1] Sitor menempuh pendidikan di HIS di Balige dan Sibolga serta MULO di Tarutung kemudian AMS di Batavia (kini Jakarta). Pada tahun 1950-1952, Sitor sempat berkelana ke Amsterdam dan Paris. Selanjutnya, ia memperdalam ilmu memperdalam ilmu sinematografi di Universitas California pada tahun 1956-1957.[2] Waktu kelas dua SMP, Sitor berkunjung ke rumah abangnya di Sibolga dan menemukan buku Max Havelaar karya Multatuli. Buku itu selesai dibaca dalam 2-3 hari tanpa putus, walau penguasaan bahasa Belandanya belum memadai. Isi buku menyentuh kesadaran kebangsaannya. Ia menerjemahkan sajak Saidjah dan Adinda dari Max Havelaar ke dalam bahasa Batak. Sejak itu, minat dan pehatian terhadap sastra makin tumbuh, dan dibarengi aspirasi "kelak akan menjadi pengarang".[3] A. Teeuw menyebutkan bahwa Sitor Situmorang menjadi penyair Indonesia terkemuka setelah meninggalnya Chairil Anwar. Sitor menjadi semakin terlibat dalam ideologi perjuangan pada akhir tahun 1950-an dan awal 1960-an, sebagai pengagum Presiden Soekarno, benar-benar melepaskan kesetiaanya kepada Angkatan '45 khususnya Chairil Anwar, pada masa ini.[3][4] Ia pernah menetap di Singapura (1943), Amsterdam (1950-1951), Paris (1951-1952), dan pernah mengajar bahasa Indonesia di Universitas Leiden, Belanda (1982-1990) dan bermukim di Islamabad, Pakistan (1991) dan Paris.[5] Akhir hidupPada 21 Desember 2014 Sitor meninggal dunia pada usia 90 tahun di Apeldoorn, Belanda.[6] PekerjaanSitor memulai kariernya sebagai wartawan Harian Suara Nasional (Tarutung, 1945-1946) dan Harian Waspada (Medan, 1947). Selanjutnya, ia menjadi koresponden di Yogyakarta (1947-1948), Berita Indonesia, dan Warta Dunia (Jakarta, 1957). Ia pernah menjadi pegawai Jawatan Kebudayaan Departemen P & K, dosen Akademi Teater Nasional Indonesia (Jakarta), anggota Dewan Nasional (1958), anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mewakili kalangan seniman, anggota Badan Pertimbangan Ilmu Pengetahuan Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (1961-1962), dan Ketua Lembaga Kebudayaan Nasional (1959-1965). Tahanan politikKetika terjadi Agresi Militer II pada Desember 1948, Sitor yang saat itu bekerja sebagai wartawan, ditangkap NEFIS (Netherland East Indies Forces Intelligence Service) dan dipenjara di lapas Wirogunan, Yogyakarta, hingga penyerahan kedaulatan Indonesia pada akhir 1949.[1] Pada masa pemerintahan Orde Baru, Sitor kembali dipenjara sebagai tahanan politik di Jakarta karena karena sajak-sajaknya yang menggabungkan seni dan politik, dianggap sealiran dengan puisi-puisi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang didirikan oleh tokoh-tokoh dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Sitor dipenjara pada tahun 1967 hingga 1974 tanpa pengadilan dengan tuduhan pemberontakan.[1][5] Karya-karyanyaKepenyairan Sitor dimulai ketika dua puisinya dimuat Siasat pada tahun 1948. Sampai tahun 1951 ia telah menulis kurang lebih 30 puisi dan sejumlah esai. Selain tema dengan latar belakang Batak, beberapa sajak dan cerita pendek Sitor Situmorang memiliki perhatian khusus terhadap Bali. Ia khusus menulis kumpulan sajak dalam bahasa Inggris, The Rites of the Bali Aga, ditulis September 1976, setelah perjalanannya ke Bali, selepas bebas dari tahanan penjara Orde Baru. Selain sebagai penyair, Sitor Situmorang juga menerjemahkan karya sastra, tulisan-tulisan kebudayaan dan sejarah. Sitor juga memiliki kiprah di dunia perfilman. Selain sebagai kritikus dan membuat film berjudul Darah dan Doa (1950) bersama Usmar Ismail.[1] Puisi
Cerpen
Drama
Terjemahan
Karya Lainnya
PenghargaanKumpulan cerpennya Pertempuran dan Salju di Paris mendapat Hadiah Sastra Nasional BMKN 1955/1956. Kumpulan sajak Peta Perjalanan memperoleh Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta 1976. Pada 20 Maret 2003 dalam perayaan Hari Masyarakat Penutur Bahasa Perancis Sedunia, Sitor mendapatkan penghargaan Francophonie atas karya-karyanya yang memunculkan kehidupan dan kebudayaan Perancis.[butuh rujukan] Ia juga dianugerahi SEA Write Award (Penghargaan Penulis Asia Tenggara) tahun 2006. Dalam perhelatan Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2010, Sitor Situmorang mendapat Lifetime Achievement Award.[7] Ia membaca salah satu sajaknya, “Bukan Pura Besakih” yang dia bacakan setelah menerima penghargaan di Puri Agung Ubud, Gianyar. Komponis dan pianis Ananda Sukarlan telah membuat musik dari beberapa puisinya, yang telah dinyanyikan oleh penyanyi tenor Nikodemus Lukas serta banyak penyanyi lain di berbagai konser dan festival seperti Asean Literary Festival. Puisi-puisi itu antara lain La Ronde, Malam Kebumen, Surat Kertas Hijau, Kaliurang, Ziarah dalam Gereja Gunung dsb. Kajian tentang Sitor SitumorangJ.U. Nasution. Sitor Situmorang sebagai Penyair dan Pengarang Cerita Pendek. 1963 Subagio Sastrowardoyo. Sosok Pribadi dalam Sajak. 1980 Wing Kardjo. Sitor Situmorang: La vie et l'oeuvre d'un poete indonesien. 1981. (disertasi: Universita Paris VII) A. Teeuw. "Si Anak Hilang" dalam Tergantung Pada Kata. 1983. Pustaka Jaya. Monike Wizemann. Sitor Situmorang: Ausgewählte Dichtung unter besonderen Brucksichtigung der thematischen Schwerpunkte Einsamkeit, Vergänglichkeit, Entfremung und Sehnsucht. 1983. (skripsi: Universitas J.W. Goethe Frankfurt) Beate Maria Elisabeth Carle. Das Motiv des verlorene Sohnes in lyrische Werk von Sitor Situmorang. 1985. (skripsi: Universitas Koln) Referensi
BibliografiDewan Redaksi Ensiklopedi Sastra Indonesia. (2004). Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung: Titian Ilmu. ISBN 9799012120 Eneste, Pamusuk. (1990). Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern. Jakarta: Djambatan. ISBN 9794281476 Rizal, J.J. (2014). SITOR SITUMORANG BIOGRAFI PENDEK 1924 -2014. DKI Jakarta: Komunitas Bambu. ISBN 978-602-9402-64-3 Pranala luar
|