Siti Ruhaini Dzuhayatin
Prof. Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, MA (lahir 17 Mei 1963) adalah Guru Besar Bidang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Gender Fakulras Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga (Sumber: https://kij.uin-suka.ac.id/id/berita/detail/5087/prof-dr-siti-ruhaini-dzuhayatin-ma-secara-resmi-dikukuhkan-sebagai-guru-besar-bidang-hak-azasi-manusia-ham-dan-gender). Beliau juga ahli studi gender, aktivis perempuan, peneliti, akademisi, pemerhati Islam, hak asasi manusia dan demokrasi. KarierIa merupakan dosen Sosiologi Hukum, Hukum dan HAM, Hukum dan Gender di Fakultas Syariah dan Hukum serta Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selain itu juga mengajar mata kuliah serupa di Fakultas Hukum UGM, Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) UGM dan Universitas lainnya di Indonesia serta di Luar Negeri seperti Emory University, South Carolina University dan lainnya. Pernah menjadi peneliti senior di Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan (PSKK) UGM tahun 1999-2002. Penerima Beasiswa AIDAB Australia pada tahun 1991-1993; Human Right Covumentation Training, Manila, Philipina, 1994, Women Fellowship di McGill University Canada, 1998, Islam and Human Right Fellowship, Emory University, 2003-2004, Gender and Conflict Resolution, Ulster University, Irlandia Utara dan British Council , Manchester serta Human Right Mechanism training di Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa dan New York tahun 2012. Secara struktural, perempuan gigih ini pernah menduduki jabatan Wakil Rektor Bidang Kemahasiwaan dan Kerjasama, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2014-2016 dan terus gigih berusaha memecahkan 'atap kaca' rektor yang selama ini di dominasi laki-laki. KehidupanKesadaran awal tentang kemandirian dan kesetaraan perempuan diperoleh dari ibunya, seorang guru dan kepala sekolah dasar yang secara sederhana menagatakan: “Wong wedok kudu duwe duit dhewe. Paling ora kanggo kebutuhane dhewe. Dadi, yen arep tuku wedak, ora kudu njalok bojo. Ben ora disepeleake mergo kabeh nggantungake urip nang bojo (Perempuan harus punya uang sendiri, minimal untuk kebutuhan sendiri. Jadi, mau beli bedak tidak perlu minta suami. Biar tidak disepelekan karena bergantung hidup sepenuhnya pada suami)” . Kesadaran tentang pentingnya kesetaraan laki-laki dan perempuan tumbuh dalam tradisi pesantren di Pondok Pesantren Pabelan Magelang, dimana ia menuntut ilmu keislaman. Keterbukaan berpikir di Pabelan menumbuhkan pemikiran kritis terhadap beberapa interpretasi dan pemahaman Islam yang menyiratkan perbedaan dan sering berakibat merendahkan posisi perempuan. Ia tidak percaya bahwa Islam merendahkan perempuan meski praktek sosial memunculan kisah-kisah pilu perempuan dalam poligami, perceraian serta masalah-masalah lainnya. Dibesarkan dalam keluarga Muhammadiyah yang moderat, keluarga besar Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) dan latar belakang pendidikan pesantren yang modern yang terbuka dalam menghargai perbedaan madzhab, kelompok dan bahkan perbedaan agama telah membentuk pandangan yang moderat, inlkusif dan terlibat (engage) terhadap masalah toleransi, masalah perempuan dan masalah sosial lainnya. Kekuatannya dalam menelaah khazanah kitab-kitab Islam klasik dipadukan secara sinergis, kritis dan konstruktif dengan ilmu-ilmu sosial kontemporer dari studi Master di Monash University Australia dan doktoral di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Kekuatan integrasi dan sinergi Keislaman dan ilmu sosial, termasuk studi gender menjadikannya figur terkemuka pada awal 1990an dalam meredakan ketegangan antara feminisme Barat dan isu-isu perempuan dalam Islam. Kiprah akademisnya pada isu Islam, gender dan HAM dikuatkan melalui keterlibatannya di Pusat Studi Wanita Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dimana pada tahun 2002-2007 ia menjadi direkturnya yang menginisiasi program pengarusutamaan gender di Perguruan Tinggi Islam baik dalam kurikulum, manajemen dan kultur universitas, termasuk kegigihannya menghapus berbagai bentuk candaan yang merendahkan perempuan yang dianggap lazim secara budaya. Karena kegigihan tersebut maka ia dijuluki sebagai "IBU GENDER", campuran antara penghargaan dan cibiran, namun ia bergeming. Atas dedikasi akademis tersebut ia menerima Penghargaan Menteri Agama sebagai salah satu dari 10 Dosen Berprestasi Perguruan Tinggi Islam di Indonesia pada tahun 2010. Masa kepemimpinannya PSW UIN Sunan Kalijaga menjadi Trend-setter dan model bagi lembaga serupa di Indonesia. Atas keahlian ini, ia menjadi konsultan tentang gender dan pendidikan, kebijakan publik di berbagai program diberbagai Kementerian dan lembaga seperti Program Kerjasama Perguruan Tinggi Indonesia-Canada di bawah Kementerian Agama sejak 1995-2010, Basic Education Project Kementerian Agama dan Asean Development Bank, Program Indonesia-Australia Basic Education Project (IAPBE) dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan lembaga-lembaga seperti CIDA-Canada, Ford Foundation, DANIDA-Denmark, AusAID Australian dan lainnya. Motto hidup al Ilmu bila 'amalin ka syajari bila tsamarin" (ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah) yang ia terjemahkan menjadi intellectualism and activism mendorongnya menyeimbangkan antara dunia akademik dan keterlibatan aktifitas sosial. Disamping sebagai narasumber untuk kajian Islam, gender, femnism dan HAM, ia terlibat dalam kinerja nyata dengan Rifka Annisa Women's Crisis Center, lembaga yang bergerak memberikan perlindungan pada perempuan korban kekerasan yang pertama dan 'pionir' dan menjadi rujukan bagi pemerintah dan lembaga lain di Indonesia dan negara lain, utamanya pengembangan pendekatan keislaman, gender dan kearifan keindonesiaan. Kegigihan dalam advokasi Islam, gender dan Hak Asasi Manusia menjadikannya satu dari dua anggota perempuan Majelis Tarjih Muhamamdiyah Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1995-2000, suatu posisi yang tidak lazim karena selama itu Majelis ini hanya beranggotakan laki-laki yang dipandang sebagai ulama. Kiprahnya mengarustamakan Islam dan Gender di Muhammadiyah banyak menemui hambatan tetapi bekal keilmuan serta jejaring yang dibuat dengan para ulama dan ahli Islam yang laki-laki dengan pandangan moderat telah membuka jalan menerimaan kesetaraan gender di Muhammadiyah, baik secara wacana maupun dalam struktur Muhamamdiyah, termasuk diakuinya Ketua Pimpinan Pusat Aisyiyah sebagai bagian dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan berkembangnya wacana kebolehan imam perempuan bagi lelaki dewasa, isu yang sangat 'tabu' dibicarakan dalam tradisi Islam, meski tidak ada larangan secara tertulis dalam al-Qur'an. Pada tahun 2010-2015, Ruhaini menjadi satu-satunya anggota Majelis Pendidikan Tinggi Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang mengelola lebih dari 100 perguruan tinggi yang dimiliki Muhammadiyah. Ia juga gigih memperjuangkan hak beragama bagi mahasiswa beragama selain Islam seperti perayaan natal dilingkungan kampus Univeristas Muhammadiyah di wilayah Indonesia Bagian Timur di Kupang dan di Papua. Ia juga aktif dan sebagai salah satu pendiri Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID) tahun 2004 - saat ini yang diprakarsai oleh para begawan demokrasi Indonesia seperti Ignas Kleden, Thamrin Tamagola, Daniel Sparingga, Anita lie, Asmara Nababan, Abdul Hakim Garuda Nusantara dan sebagai dalam menumbuhkan dan menguatkan demokrasi di tingkat politik lokal sebagai cerminan demokrasi yang sesungguhnya. Kiprahnya di dalam dan di luar negeri telah mengantarkannya sebagai wakil Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri sebagai komisioner pada Independent Permanent Human High Commission of Organization of Islamic Cooperation (IPHRC-OIC) Komisi Hak Asasi Manusia, Organisasi Kerjasama Islam yang membawahi 57 anggota dan terpilih sebagai Ketua Komisi ini pada tahun 2012-2014 dan terpilih kembali sebagai komisioner pada komisi yang sama pada periode berikutnya pada tahun 2014-2016. Sebagai ketua, ia berupaya membawa lesson learned dan best practices Indonesia sebagai negara yang berhasil mengharmonisasikan antara Islam, Demokrasi dan Hak Asdasi Manusia dan dinobatkan sebagai negara Muslim paling demokratis di dunia. Atas Prestasinya ini Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga menganugerahkan Penghargaan Dosen Berprestasi Tingkat Internasional pada tahun 2018. Berdasarkan pengalamannya dalam berkiprah pada isu Islam, HAM, Demokrasi di tingkat internasional, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo mengangkatnya sebagai Staf Khusus Presiden Bidang Keagamaan di tingkat Internasional yang membantu Presiden mempromosikan Wasatiyyat Diniyyah dan Wasatiyyat Islam Indonesia (Moderasi Beragama dan moderasi Ber Islam di Indonesia) agar Indonesia menjadi model' titik-temu' moderasi beragama, konsep negara bangsa, demokrasi, HAM, Hak Perempuan dan Keadilan sosial yang dapat berkembang harmonis dan damai. Pendidikan
Jabatan Saat Ini
Keanggotaan Sosial
Publikasi
|