Serangan kimia Khan Shaykhun 2017
Pada tanggal 4 April 2017, Tahrir al-Sham (yang juga dikenal dengan nama al-Qaeda in Syria)-mengendalikan Kota Khan Shaykhun,[7][8][9][10] di Kegubernuran Idlib, Suriah, hancur karena serangan udara bertubi-tubi diikuti dengan serangan kimia kepada penduduk sipil. Gas toksit itu disemprotkan, seperti sarin, menewaskan sedikitnya 58 orang dan lebih dari 300 orang terluka, menurut pihak berwenang di Idlib.[11] Jika terkonfirmasi, serangan ini menambah daftar penggunaan senjata kimia dalam Perang Suriah sejak serangan kimia pada tahun 2013.[12] Menteri Luar Negeri Inggris, Boris Johnson, seperti halnya Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengecam serangan yang dilakukan oleh pasukan Presiden Bashar Assad beserta aliansinya, Russia.[13][14] Latar belakangPenggunaan senjata kimia dalam Perang Suriah telah dikonfirmasikan oleh beberapa sumber di Suriah dan Perserikatan Bangsa-bangsa. Sebagaimana serangan mematikan selama perang itu, serangan Ghouta, di pinggiran kota Damascus pada bulan Agustus 2013 dan serangan Khan al-Assal di dekat Aleppo pada bulan Maret 2013. Ketika tak ada satu pihak pun yang bertanggung jawab atas serangan kimia itu, pihak militer Ba'athist Suriah menjadi tersangka utama, oleh karena digunakannya kandungan arsenik sebagai senjata. Misi pencari fakta A U.N. dan sebuah penyeledikan dari UNHCR, secara simultan, telah melakukan investigasi atas serangan itu. Miss PBB menemukan terlibatnya agen nerve menggunakan sarin dalam kasus Khan Al-Asal (19 Maret 2013), Saraqib (29 April 2013), Ghouta (21 Agustus 2013), Jobar (24 Agustus 2013) and Ashrafiyat Sahnaya (25 Agustus 2013). Komisi UNHRC kemudian mengonfirmasikan bahwa sarin digunakan dalam serangan Khan al-Asal, Saraqib dan Ghouta, tetapi tidak menyebut serangan Jobar dan Ashrafiyat Sahnaya. UNHRC juga menemukan sarin digunakan dalam serangan Khan al-Asal "kesamaan lambang yang unik" seperti penggunaan sarin dalam serangan Ghouta dan diindikasikan bahwa pelaku memiliki akses ke gudang kimia milik Angkatan Darat Suriah. Serangan-serangan tersebut mendorong komunitas internasional untuk menekan pelucutan senjata kimia pasukan Angkatan Darat Suriah, yang dilaksanakan selama tahun 2014. Meskipun pelucutan senjata telah dilakukan, lusinan insiden dengan tersangka pengguna senjata kimia terjadi di Suriah, tindakan paling dikecam dalam tubuh pasukan Ba'athist Suriah, seperti halnya Negara Islam Irak dan Syam dan bahkan pasukan oposisi Suriah. Pada bulan Agustus 2016, agen rahasia United Nations secara eksplisit mengecam militer Suriah di Bashar al-Assad yang mengirim senjata kimia di kota Talmenes pada April 2014 dam Sarmin pada bulan Maret 2015.[15] Beberapa serangan lainnya telah dilaporkan dan diinvestigasi. Pada 30 Maret 2017, sebuah serangan udara terjadi di kota al-Lataminah, sebelah utara Hama Governorate, sekitar 15 kilometre (9 miles) dari Khan Shaykhun. Lebih dari 70 orang di wilayah itu terpapar senjata melalui munculnya gejala-gejala mual, kejang, dan miosis (konstruksi pupil mata). Gagal jantung menimpa dua korban[16] dan seorang dokter ortopedi meninggal.[17] SeranganSerangan dilancarkan sekitar pukul 7 pagi, tanggal 4 April, yang menyebabkan kebanyakan anak-anak tidak berangkat ke sekolah dan orang tua tidak pergi bekerja.[18] Para saksi melaporkan, mencium bau harum aneh selama sekitar sepuluh menit setelah serangan udara, diikuti dengan munculnya gejala penyakit akibat racun.[19] Para pekerja medis dan saksi-saksi mengindikasikan bahwa serangan itu berbeda dengan gas klorin yang pernah dialami masa lampau yang menyebabkan meninggal akibat sesak nafas di udara bebas dan di dalam ruangan. Kebalikannya, dalam serangan ini orang yang meninggal adalah yang berada di luar rumah. Serangan itu melanda pupil mata yang disebabkan oleh agen nerve atau toksin lainnya.[20] Gejala lain di antaranya menggigil, menurunnya detak jantung, dan tekanan darah menjadi rendah.[19] Beberapa orang yang terkena ada yang langsung meninggal seketika[20] sementara lainnya mengalami sakit ketika melakukan kontak dengan korban.[18] Sumber-sumber dari pihak kesehatan di Idlib melaporkan bahwa lebih dari 58 orang, termasuk 11 anak-anak tewas, dan lebih dari 300 orang mengalami luka serius. Pada pukul 7:30 padi, 100 orang korban tiba di rumah sakit setempat. Menteri Kesehatan, Mohamad Firas al-Jundi, mengatakan bahwa para korban mengalami kekurangan oksigen, adanya cairan dalam paru-paru, mulut berbusa, pingsan, kejang, dan mengalami kelumpuhan.[20] Beberapa jam setelah serangan, klinik terdekat mengobati korban-korban yang terkena serangan udara. Sebagian besar area rumah sakit itu telah dibombardir dua hari sebelumnya.[20] Pada tanggal 5 April, dokter setempat dan para penyelamat yang berada di lokasi mengatakan bahwa orang yang meninggal bertambah menjadi 74 orang dan 600 terluka,[21] sementara itu Presiden Turki, Recep Tayyip Erdoğan dan Duta Besar Prancis untuk PBB, François Delattre mengatakan bahwa korban meninggal lebih dari 100 orang.[22] Tim SAR mengumpulkan contoh tanah dan mengirimkan ke pejabat Intelijen Barat untuk dianalisis. Tanggung jawabSerangan itu, secara luas, dikaitkan dengan pemerintah Suriah.[23] Pihak Russia mengatakan bahwa kematian itu disebabkan oleh keluarnya gas ketika serangan udara pemerintah mengenai pabrik senjata kimia;[24] pabrik itu juga dideskripsikan sebagai "gudang milik pemberontak yang penuh dengan amunisi kimia."[25] Tetapi, para penyintas mengatakan kepada reporter, bahwa mereka melihat bom kimia dijatuhkan dari pesawat terbang.[24] Pasukan pemberontak Suriah, Hasan Haj Ali, mengatakan bahwa klaim Russia itu sebagai "kebohongan", pemberontak tidak mungkin memproduksi senjata kimia, dan bahwa bukan daerah militer yang terkena bom. “Setiap orang melihat ada pesawat terbang melintas sambil mengeluarkan bom berupa gas,” katanya.[26] Klaim oposisi SuriahMenurut Idlib Media Centre, agen kima memiliki karakteristik sarin. Koalisi Nasional untuk Revolusi Suriah dan Pasukan Oposisi menuduh pemerintahan Ba'athist Suriah dan Angkatan Darat Suriah yang melakukan serangan, dan menyerukan kepada Dewan Keamanan PBB agar segera melakukan investigasi. Klaim pemerintahan SuriahPada hari, saat terjadi serangan, pejabat pemerintah Suriah berkata kepada Reuters, "pemerintah tidak menggunakan senjata kimia, baik sebelumnya maupun yang akan datang."[27] Al-Masdar News yang pro-pemerintah, merujuk sebuah sumber dari angkatan darat yang mengatakan bahwa peristiwa ini disebabkan oleh pabrik rudal di kota, yang menggunakan bom Sukhoi Su-22, yang tidak dapat diisi dengan kandungan kimia, dan tidak mengetahui pabrik itu mengandung bahan kimia.[28] Penggunaan Sukhoi Su-22 dalam serangan itu juga dicatat oleh sumber yang pro-pemberontak (SOHR). Kemudian, Menteri Pertahanan Russia mengulangi klaim yang pernah disampaikan oleh Angkatan Darat Suriah,[29] tetapi juga mengatakan bahwa serangan di gudang amunisi berlangsung pada pukul 11:30 dan 12:30 waktu setempat.[30] Hamish de Bretton-Gordon, seorang pensiunan kolonel Angkatan Darat Inggris yang memfokuskan diri pada senjata kimia di Suriah meragukan atas pernyataan Russia.[31] Lihat pula
Referensi
|