Senggama terputus
Senggama terputus, disebut juga pulling out, pull-out, cabut di tengah, atau keluar di luar, adalah metode kontrasepsi dengan mencabut penis dari vagina atau anus sebelum ejakulasi sehingga semen (air mani) bisa dikeluarkan di tempat lain untuk menghindari kehamilan.[2][3] Metode ini digunakan oleh sekitar 38 juta pasangan di seluruh dunia pada 1991.[2] Senggama terputus tidak mencegah penularan penyakit menular seksual (PMS).[4] SejarahSalah satu deskripsi tertua dari senggama terputus untuk menghindari kehamilan kemungkinan tertulis di cerita Onan di Taurat dan Alkitab.[5] Kisah tersebut dipercaya ditulis sekitar 2.500 tahun lalu.[6] Masyarakat di peradaban Yunani Kuno dan Kekaisaran Romawi cenderung menyukai keluarga kecil sehingga menggunakan pelbagai metode kontrasepsi.[7] Ada beberapa sumber yang membuat ahli sejarah percaya bahwa senggama terputus terkadang digunakan sebagai metode kontrasepsi.[8] Namun, masyarakat di atas cenderung menganggap kontrol kehamilan sebagai tanggung jawab wanita dan metode kontrasepsi yang terdokumentasi dengan baik berupa alat yang dikontrol pihak wanita (baik yang efektif seperti pesari maupun tidak efektif seperti jimat).[7] Pasca runtuhnya Kekaisaran Romawi pada abad ke-5 setelah masehi, metode kontrasepsi jarang digunakan di Eropa; penggunaan pesari, misalnya, tidak terdokumentasikan lagi hingga abad ke-15. Kalau pun senggama terputus pernah digunakan sebagai metode kontrasepsi pada masa Kekaisaran Romawi, pengetahuan tentang praktiknya mungkin hilang bersama dengan runtuhnya kekaisaran tersebut.[7] Sejak abad ke-18 hingga penemuan metode kontrasepsi modern, senggama terputus adalah salah satu metode kontrol kehamilan paling populer di Eropa, Amerika Utara, dan belahan dunia lainnya.[8] EfekLayaknya metode kontrol kehamilan lainnya, efek yang andal hanya bisa didapatkan dengan penggunaan metode secara benar dan konsisten. Tingkat kegagalan penggunaan senggama terputus cukup bervariasi tergantung populasi yang diteliti: peneliti di Amerika Serikat menemukan tingkat kegagalan di angka 15-28% per tahun.[9] Sebuah studi lain di AS berdasarkan data laporan mandiri dari 2006-2010 dari Badan Survei Perkembangan Keluarga Nasioonal, menemukan perbedaan tingkat kegagalan yang signifikan berdasarkan status paritas. Wanita yang belum melahirkan memiliki tingkat kegagalan 8,4%, sementara wanita dengan 1 kelahiran sebelumnya meningkat ke 20,4%, dan bagi yang pernah melahirkan 2 kali atau lebih naik ke 27,7%.[10] Analisis demografi dan survei kesehatan di 43 negara berkembang selama rentang 1990 dan 2013 menemukan median tingkat kegagalan antardaerah di angka 13.4%, dengan rentang 7,8-17,1%. Variasi antarnegara lebih bervariasi lagi.[11] Studi skala besar terhadap wanita di Inggris dan Skotlandia selama 1968-1974 menemukan bahwa efikasi dari berbagai metode kontrasepsi di angka 6,7 per 100 wanita-tahun penggunaan. Perlu diketahui bahwa penggunaan metode kontrasepsinya bersifat "tipikal", artinya turut mempertimbangkan kesalahan pengguna untuk melakukan teknik secara benar.[12] Sebagai perbandingan, pil kontrasepsi oral gabungan memiliki tingkat kegagalan di angka 2-8%,[13] sementara penggunaan perangkat kontrasepsi dalam rahim (IUD) memiliki tingkat kegagalan 0,1-0,8%.[14] Kondom memiliki rasio kegagalan 10-18%.[9] Bagi pasangan yang menggunakan metode senggama terputus secara benar dan konsisten pada setiap kali senggama, tingkat kegagalannya berada di angka 4% per tahun. Angka tadi didapat melalui tebakan akademis dengan asumsi probabilitas sedang mengenai adanya sperma di cairan preejakulasi.[15][16] Sebagai perbandingan, penggunaan pil secara sempurna memiliki tingkat kegagalan 0,3%, IUD di angka 0,1-0,6%, dan kondom internal di angka 2%.[16] Beberapa penelitian menyebutkan kemungkinan bahwa cairan preejakulasi (cairan Cowper) yang dikeluarkan penis sebelum ejakulasi dapat mengandung sperma, sehingga dapat mengurangi efektivitas metode ini.[17][18] Namun, sejumlah penelitian berskala kecil[19][20][21][22] gagal menemukan sperma hidup pada cairan tersebut. Walaupun belum ada penelitian berskala besar yang memiliki kesimpulan konklusif, sejumlah orang percaya bahwa kegagalan metode senggama terputus pada kasus penggunaan sempurna diakibatkan oleh cairan preejakulasi yang membawa sperma dari ejakulasi sebelumnya.[23][24] Oleh sebab itu, pria direkomendasikan untuk buang air kecil di antara ejakulasi untuk membersihkan saluran uretra dari sperma serta mencuci benda apa pun yang berada di sekitar vulva wanita (misalnya tangan dan penis).[25] Namun, penelitian terkini justru menunjukan bahwa hal tadi kemungkinan tidak benar. Sebuah penelitian yang kontra, tetapi tidak dapat digeneralisasi, dipublikasikan pada 2011 dan menemukan hasil yang tidak pasti, termasuk kasus-kasus tertentu dengan konsentrasi sperma yang tinggi.[26] Salah satu limitasi pada penelitian sebelumnya adalah sampel preejakulasi dianalisis setelah titik kritis dua-menit. Artinya, peneliti baru mencari sperma hidup menggunakan mikroskop setelah dua menit, artinya ketika sampel sudah kering. Hal ini membuat pengamatan dan evaluasi menjadi sangat sulit.[26] KelebihanKelebihan senggama terputus adalah metode ini dapat digunakan oleh siapa pun, baik yang tidak berkenan maupun tidak memiliki akses ke metode kontrasepsi lain. Beberapa orang mempraktikan senggama terputus karena ingin menghindari efek samping kontrasepsi hormonal. Ada pula yang menggunakan senggama terputus karena ingin merasakan pasangan mereka sepenuhnya (dianggap sukar dicapai jika menggunakan kondom).[27] Alasan lain yang mendorong popularitas metode ini adalah faktor finansial (gratis), tidak membutuhkan alat buatan, tidak memiliki efek samping fisik, dan bisa dipraktikan tanpa resep/konsultasi medis, serta tidak menghalangi rangsangan seksual.[3] KekuranganDibandingkan metode kontrasepsi reversibel lain seperti IUD, kontrasepsi hormonal, dan kondom pria, senggama terputus cenderung kurang efektif dalam mencegah kehamilan.[28] Metode ini juga tidak efektif dalam mencegah penularan penyakit menular seksual (PMS), seperti HIV, karena cairan preejakulasi dapat membawa partikel virus atau bakteri yang dapat menginfeksi pasangan ketika kontak dengan membran mukus. Namun, pengurangan jumlah volume cairan tubuh yang dipertukarkan selama senggama dapat mengurangi kemungkinkan penularan penyakit dibandingkan tidak melakukan apa pun (keluar di dalam).[29] Kesalahan umumSalah satu kesalahan paling umum yang dilakukan dalam penggunaan metode senggama terputus adalah telat mencabut penis dari vagina. Pria harus segera mencabut keseluruhan penis dari vagina sebelum mulai ejakulasi, bukan saat mulai ejakulasi. Pria juga sebaiknya mengarahkan semen (air mani) ke daerah selain vulva untuk menghindari semen yang merembes ke dalam vagina.[30] Kesalahan lain yang dilakukan adalah memasukkan kembali penis ke dalam vagina tepat setelah ejakulasi. Penis mungkin masih memiliki sisa sperma sehingga dapat menyebabkan kehamilan. Apabila ingin melanjutkan senggama, buang air kecil dan bersihkan penis sebelum melanjutkan senggama. PrevalensiBerdasarkan data survei pada akhir tahun 1990-an, sekitar 3% wanita di usia mampu hamil di seluruh dunia menggunakan senggama terputus sebagai metode kontrasepsi mereka. Popularitas regional cukup bervariasi, mulai dari 1% di Afrika hingga 16% di Asia Barat.[31] Di Amerika Serikat, menurut survei dari Badan Survei Perkembangan Keluarga pada tahun 2014, sekitar 8,1% wanita usia produktif menggunakan senggama terputus sebagai metode kontrasepsi utama mereka. Hal ini merupakan peningkatan yang signifikan dari tahun 2012 yang mencatatkan angka 4,8%.[32] Referensi
|