Semar Gugat
Semar Gugat adalah lakon panggung yang ditulis oleh Nano Riantiarno untuk grup sandiwara Teater Koma. Lakon ini mengisahkan tokoh wayang Semar yang mencoba dan gagal balas dendam terhadap Arjuna dan Srikandi karena telah mempermalukannya dengan memotong sejumput rambutnya saat mereka kesurupan ratu iblis Durga. Selesai ditulis pada pertengahan 1995, lakon ini terdiri dari 559 baris dialog yang terbagi menjadi 30 adegan. Semar Gugat dianggap sebagai kritik terhadap pemerintah Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto. Lakon ini pertama kali dipentaskan tanggal 25 November 1995 setelah pemerintah menunda izinnya selama beberapa bulan. Setelah Teater Koma mementaskannya selama dua minggu, lakon ini diadopsi oleh berbagai grup sandiwara amatir. Pada tahun 1998, Riantiarno memenangkan S.E.A. Write Award atas karyanya yang satu ini. AlurKerajaan Amarta sedang mempersiapkan pernikahan Arjuna dan Srikandi. Keluarga Punakawan—Semar, istrinya Sutiragen, dan anak-anaknya Gareng, Petruk, dan Bagong—bersiap untuk menghadiri upacara pernikahan. Sayangnya, calon pengantin wanitanya ragu-ragu. Arjuda sudah dikenal luas sebagai tukang rayu wanita dan dikabarkan menjalin hubungan dengan banyak perempuan. Srikandi pun menguji cinta Arjuna dengan memberinya sebuah tes. Saat itu pula, ratu iblis Durga merasuki tubuhnya dan mengendalikan suara Srikandi. Ia ingin melihat Arjuna meski dilarang oleh tradisi. Atas bantuan dua istri Arjuna lainnya, Sumbadra dan Larasasti, ia berhasil menemui Arjuna dan meminta kuncur rambut Semar sebagai bukti kesetiaannya. Arjuna mau tidak mau melakukannya dan upacara pun berlangsung sesuai jadwal. Akan tetapi, Semar tidak mau menerima perlakuan yang memalukan tersebut. Ia menyatakan bahwa dewa pun tidak berani menyentuh kepalanya. Keluarganya tidak menghadiri pernikahan Arjuna meski mereka adalah pelayan istana dan Semar menangis di rumah sepanjang hari. Sementara itu, saudara-saudara Arjuna, termasuk Raja Yudistira, meninggalkan istana untuk bermeditasi. Arjuna menggantikannya sebagai penguasa Amarta. Semar memutuskan bahwa ia sudah sangat malu. Meski ia sangat berkuasa, ia sering dilecehkan oleh manusia dan dewa. Bersama putra kesayangannya, Bagong, ia pergi ke istana dewa di Kayangan. Akan tetapi, hanya Semar yang diterima masuk, sedangkan Bagong diusir oleh dua penjaga. Semar berbicara kepada dewa Batara Guru dan Batara Narada dan meminta agar wajah tampannya dikembalikan lagi. Mereka memenuhi permintaannya melalui bedah plastik. Semar diubah menjadi manusia dan diberikan kerajaannya sendiri, Simpang Bawana Nuranitis Asri. Semar mengubah namanya menjadi Prabu Sanggadonya Lukanurani. Meski ia sudah menjadi pemimpin kerajaannya sendiri, Semar tidak menemukan kebahagiaan. Istrinya, yang tidak percaya bahwa ia adalah Semar, meninggalkannya. Hanya Petruk dan Gareng yang bertahan bersama Semar. Mereka mulai mengembangkan kerajaan, namun kecewa setelah mengetahui bahwa segala kekayaannya tidak cukup untuk menciptakan harmoni. Sementara itu di Amarta, kepemimpinan Arjuna membuat rakyat menderita. Di bawah pengaruh Srikandi (yang masih dirasuki Durga), Arjuna berfokus pada pembangunan ekonomi dan meningkatkan jumlah impor. Ia memberlakukan monopoli terhadap komoditas-komoditas umum demi mengendalikan populasi dan memanfaatkan budaya masyarakat untuk memunculkan rasa nasionalisme sukarela. Kebanyakan penduduk yang tertipu pindah dari Amarta, sementara penduduk lainnya melayangkan surat protes ke istana. Penduduk yang bertahan dirasuki oleh iblis yang dipimpin Durga dan menjadi tahanan di dalam tubuhnya sendiri. Di Simpang Bawana Nuranitis Asri, Larasati dan Sumbadra yang tidak senang hidup di Amarta akhirnya tiba. Mereka bertemu dua pendekar dari Amarta, putra Sumbadra Abimanyu dan sepupunya Gatotkaca, yang memberitahukan penderitaan Amarta kepada Semar. Tak terima dengan penderitaan rakyat, Semar berangkat ke kampung halamannya dan menantang Arjuna dan Srikandi yang dirasuki iblis. Ketika Semar menggunakan jurus "Kentut Putih Ajian", yang katanya bisa mengakibatkan "lesus, angin puyuh, banjir bandang, gempa bumi, [dan] gunung-gunung meletus",[1] tidak terjadi apa-apa. Durga menertawakan ketidakbecusan Semar dan membiarkannya hidup. Ia menganggap itulah tindakan paling memalukan yang pernah dilakukan Semar. Petruk dan Gareng pun bergabung dengan Durga dan meninggalkan Semar sendirian. DeskripsiSemar Gugat adalah lakon panggung dengan 30 adegan. Lakon ini menampilkan lagu pembuka tanpa judul[2] dan lagu penutup berjudul "Nyanyi Sunyi Jagat Raya".[3] Lagu-lagu lain, ada yang tanpa judul, diputar seiring pementasan lakon berlangsung. Ceritanya melibatkan 25 tokoh berbicara dan sejumlah tokoh bisu anonim.[4] Dialog 559 barisnya berfokus pada delapan tokoh: Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Durga, Kalika (anak buah Durga), dan Srikandi.[5] Naskahnya ditulis oleh Nano Riantiarno, pemimpin Teater Koma, dan selesai pada bulan Juni 1995.[6] Ini adalah karya Teater Koma ke-78.[7] Tema dan gayaSemar adalah tokoh dalam perwayangan tradisional Jawa. Ia digambarkan sebagai dewa yang turun ke Bumi untuk melayani raja-raja manusia. Meski dimanfaatkan oleh Presiden Soeharto sebagai simbol rezim Orde Baru,[8] Semar sudah lama dianggap mewakili rakyat jelata (wong cilik),[9] sebagaimana Punakawan lainnya.[8] Karena itu, teolog J. B. Banawiratma berpendapat bahwa lakon ini mewakili rakyat jelata yang menentang para penguasa internal maupun eksternal. Ia menulis bahwa kekuasaan yang ditentang bukanlah kekuasaan yang dipakai demi kebaikan rakyat, melainkan yang disalahgunakan untuk kepentingan pribadi pemimpin. Ia juga menulis bahwa iblis Durga adalah personifikasi dari kekuasaan yang disalahgunakan.[8] Muhammad Ismail Nasution dari Universitas Negeri Padang juga berpendapat bahwa lakon ini adalah kritik terhadap pemerintahan Orde Baru. Ia menyebutkan bahwa dialog yang mengkritik realita sosial Indonesia era Orde Baru sering diutarakan oleh putra Semar dan menyindir praktik bisnis, kebijakan pendidikan, nepotisme, dan ketidaksetaraan yang terjadi.[10] Selain mengutip perkataan Semar yang mengabaikan dugaan anak-anaknya bahwa Semar memimpin unjuk rasa, Nasution juga menyebut lakon ini mengkritik kaum muda yang mau berdemonstrasi menentang Orde Baru. Lakon ini menggambarkan mereka sebagai kaum yang mudah dimanipulasi para agents provocateur dan sering kali menghancurkan properti tanpa sebab.[10] H. Sujiwo Tejo dari Kompas menulis bahwa lakon ini menggunakan teknik bercerita yang lebih modern dan melihat bahwa perubahan antar adegan lebih bergaya dan cepat ketimbang wayang tradisional. Ia juga menyebut adanya pengaruh tarian modern sehingga tampak berbeda dengan teater tradisional.[9] PementasanSetelah Riantiarno selesai menulis Semar Gugat, pemerintah Orde Baru—yang mengharuskan setiap lakon panggung memiliki izin pementasan—menghambat proses pementasannya. Prosedurnya dilaksanakan tanpa basa-basi, namun ada beberapa penulis lakon yang wajib memenuhi persyaratan yang lebih ketat.[11] Riantiarno, yang pernah mengkritik habis-habisan pemerintah dengan menampilkan pelacur, transeksual, dan pejabat korup di Opera Kecoa,[12] adalah penulis yang terkena imbasnya seperti Rendra dan Guruh Sukarnoputra.[11] Pemerintah hanya mengizinkan lakon ini dipentaskan pada 24 November 1995.[9] Karena muncul perdebatan soal penyensoran lakon panggung oleh pemerintah, termasuk Semar Gugat, pada tahun 1996 pemerintah secara resmi memperlonggar persyaratannya. Para pengkritik sosial tetap skeptis dengan tindakan tersebut.[13] Semar Gugat pertama kali dipentaskan oleh Teater Koma di Graha Bakti Budaya berkapasitas 800 orang di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, sehari setelah izin diberikan. Tiket untuk dua pertunjukan pertama, masing-masing berdurasi tiga jam, habis terjual sebelum pertunjukan dimulai. Tejo melihat bahwa sebagian besar penontonnya justru bukan penggemar teater. Pementasan awal selama dua minggu ini diproduseri istri Nano, ratna, sedangkan koreografinya ditangani Sentot S. dan musiknya diarahkan oleh Idrus Madani. Semar diperankan oleh Budi Ros,[9] sementara tokoh lainnya dimainkan oleh Dudung Hadi, O'han Adiputra, Budi Suryadi, Ratna Riantiarno, Derias Pribadi, dan Asmin Timbil.[7] Atas karyanya di Semar Gugat, Nano Riantiarno memenangkan S.E.A. Write Award dari pemerintah Thailand pada tahun 1998.[14] Versi bukunya diterbitkan bulan November 1995 oleh Bentang Budaya di Yogyakarta. Sampulnya didesain oleh Si Ong.[15] Lakon ini terus dipentaskan oleh berbagai grup sandiwara amatir. Referensi
Kutipan
|