Saudagar Minangkabau
Saudagar Minangkabau merujuk pada profesi sekelompok masyarakat yang berasal dari ranah Minangkabau.[1] SejarahSebelum abad ke-18Selama berabad-abad, perdagangan hasil tambang dan pertanian Minangkabau telah menjadi salah satu sumber utama dalam kemajuan ekonomi Samudra Hindia yang dinamis. Pedagang-pedagang besar Minangkabau telah melakukan perdagangan sejak abad ke-7. Mereka menjadi pedagang berpengaruh yang beroperasi di pantai barat dan pantai timur Sumatra. Perdagangan emas pada mulanya menjadi perdagangan utama masyarakat Minang. Lembah Tanah Datar merupakan tempat penting sebagai penghasil emas untuk ekonomi Minangkabau.[2] Upaya mencari emas kadang-kadang mendorong terjadinya perpindahan penduduk. Keberadaan orang Minangkabau di barat laut Jambi, disebabkan oleh upaya pencarian emas.[3] Diundang oleh Raja Regale dan para pendahulunya, banyak orang Minang menyeberang Selat Malaka menuju Johor untuk mengumpulkan debu emas dan bongkahannya. Pedagang emas Minangkabau umumnya adalah wiraswastawan terkemuka, yang mengandalkan sistem politik Pagaruyung untuk memberikan perlindungan apabila ia membawa kafilahnya yang terdiri atas seratus orang lebih berjalan menuruni lereng berbatu Bukit Barisan menuju pelabuhan di pantai barat. Pada akhir abad ke-18, tambang-tambang emas mulai habis dan perdagangannya mencapai titik nadir. Setelah cadangan emas mengalami penurunan, perdagangan komoditas menjadi basis utama bisnis orang Minang. Perdagangan lada, akasia, dan gambir berkembang pesat pada abad ke-15 hingga abad 18.[4] Dilanjutkan dengan perdagangan kopi di abad ke-18 hingga 19. Mereka membawa barang dagangan dari pedalaman Minangkabau ke Selat Malaka atau Samudra Hindia untuk dijualkan kepada pedagang-pedagang asing. Ke pantai timur, perdagangan banyak dilakukan melalui sungai-sungai besar seperti Kampar, Siak, Indragiri, dan Batang Hari. Dari kegiatan perdagangan ini, banyak pedagang Minang yang bermigrasi dan mendirikan koloni di sepanjang pesisir barat dan timur Sumatra, bahkan hingga ke semenanjung Malaysia. Di pantai barat mereka mendirikan pos-pos dagang di Meulaboh, Barus, Sorkam, Natal, Tiku, Pariaman, Padang, hingga Bengkulu. Di pesisir timur, koloni dagang mereka terbentang dari Batubara, Pelalawan, hingga Jambi. Sejak kemunculan Kerajaan Sriwijaya dan dilanjutkan dengan Kesultanan Malaka, banyak pedagang Minangkabau yang bekerja untuk kerajaan. Peranan pedagang Minangkabau mulai menurun sejak dikuasainya pantai barat Sumatra oleh Kesultanan Aceh, kemudian oleh Belanda.[5] Dibukanya Penang dan Singapura di Selat Malaka, menggairahkan kembali perdagangan antara Minangkabau dengan dunia luar. Dari perdagangan komoditas dengan kota-kota tersebut, banyak desa-desa di Dataran Tinggi Minangkabau yang mendadak kaya raya. Disamping menjadi pedagang perantara, pedagang Minang juga banyak yang menjadi pedagang lintas selat, yang mana peran ini banyak dimainkan oleh pengusaha Minang yang bermukim di Batubara. Dengan kapal-kapal mereka, pedagang ini mengangkut aneka komoditas yang datang dari pedalaman untuk dijual di pasaran Singapura.[2] Selain berdagang di Selat Malaka, para pebisnis lintas selat ini juga beroperasi di pantai barat Sumatra, Kepulauan Karimata, Selat Sunda, Laut Jawa, Laut Sulu, hingga Kepulauan Maluku. Disamping tiga orang bersaudara: Nakhoda Bayan, Nakhoda Intan, dan Nakhoda Kecil; Nakhoda Mangkuto, yang kemudian dilanjutkan oleh putranya Nakhoda Muda, merupakan beberapa pedagang lintas selat yang sukses berdagang komoditas.[6] Abad ke-18 hingga saat iniPada paruh kedua abad ke-18, tanaman dan industri baru berkembang pesat di Minangkabau. Hal ini segera merangsang para pengusaha dan pedagang untuk meraih kekayaan yang lebih. Kekayaan inilah kemudian yang meletakkan jalan serta fondasi bagi berkembangnya Gerakan Padri, sebuah gerakan pembaruan keagamaan yang dipelopori oleh Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Di pantai muncul tambak-tambak garam, di daerah Agam budidaya kapas maju dengan pesat dan menyediakan bahan untuk penenunan katun yang makin lama makin giat. Di Luhak Lima Puluh Kota ditanam pohon gambir yang pada waktu itu dipakai sebagai obat, yang kemudian menjadi komoditas ekspor.[7] Pada awal abad ke-19, pedagang-pedagang Eropa terutama Belanda, mulai mendominasi perdagangan Minangkabau. Perang Padri yang berlangsung selama 30 tahun lebih berusaha untuk mengusir pedagang-pedagang Belanda yang banyak beroperasi di daerah pedalaman. Mereka berusaha untuk memonopoli semua komoditas dagang yang dihasilkan ranah Minangkabau. Kekalahan pasukan Padri, telah meluluhlantakan perdagangan Minangkabau sekaligus penguasaan wilayah ini di bawah pemerintahan Hindia Belanda.[2] Meski berada di bawah cengkeraman kolonial Hindia Belanda, pada masa inipun ranah Minang juga melahirkan beberapa pengusaha besar, diantaranya ialah Abdul Gani Rajo Mangkuto dan Muhammad Saleh. Pada tahun 1914, beberapa pedagang Minang yang dikepalai oleh Taher Marah Soetan mendirikan Sarikat Usaha. Selain untuk memperkuat bisnis orang Minang, serikat ini juga bertujuan untuk memajukan pendidikan dan perjuangan kemerdekaan.[8] Kebangkitan pedagang Minang terjadi kembali pasca-kemerdekaan. Di antara tahun 1950–1970, banyak pengusaha Minangkabau yang sukses berbisnis. Antara lain Hasyim Ning, Rahman Tamin, dan Rukmini Zainal Abidin. Pada masa itu, mereka termasuk kelompok masyarakat yang paling besar kekayaannya di Indonesia.[7] Di Malaysia, karena kebijakan pemerintah yang mengutamakan pedagang pribumi, banyak pengusaha Minang yang berhasil. Diantaranya adalah Nasimuddin Amin, Kamarudin Meranun, dan juga keluarga kerajaan Negeri Sembilan yang memiliki beberapa perusahaan. Di penghujung era Orde Baru, beberapa pengusaha Minang yang dimotori oleh Abdul Latief, Aminuzal Amin, Nasroel Chas, dan Fahmi Idris mendirikan perusahaan joint venture Nagari Development Corporation (NDC), yang bertujuan untuk memajukan masyarakat Minangkabau. KulturBerdagang merupakan salah satu kultur yang menonjol dalam masyarakat Minangkabau. Bagi masyarakat Minang, berdagang tidak hanya sekadar mencari nafkah dan mengejar kekayaan, tetapi juga sebagai bentuk eksistensi diri untuk menjadi seorang yang merdeka. Dalam budaya Minang yang egaliter, setiap orang akan berusaha untuk menjadi seorang pemimpin. Menjadi subordinat orang lain, sehingga siap untuk diperintah-perintah, bukanlah sebuah pilihan yang tepat. Prinsip "lebih baik menjadi pemimpin kelompok kecil daripada menjadi anak buah organisasi besar" (elok jadi kapalo samuik daripado ikua gajah) merupakan prinsip sebagian besar masyarakat Minang. Menjadi seorang pedagang merupakan salah satu cara memenuhi prinsip tersebut, sekaligus menjadi orang yang merdeka. Dengan berdagang, orang Minang bisa memenuhi ambisinya, dapat menjalankan kehidupan sesuai dengan keinginannya, hidup bebas tanpa ada pihak yang mengekang sehingga banyak perantau muda Minangkabau lebih memilih berpanas-panas terik di pinggir jalan, berteriak berjualan kaos kaki, daripada harus kerja menjadi pegawai yang acap kali diperintah.[9] Berkembangnya kultur dagang dalam masyarakat Minang, disebabkan adanya harta pusaka tinggi yang menjamin kepemilikan tanah dan keberlangsungannya bagi setiap kaum di Minangkabau. Dengan kepemilikan tanah tersebut, posisi masyarakat Minang tidak hanya sebagai pihak penggarap saja, melainkan juga menjadi pedagang langsung yang menjual hasil-hasilnya ke pasaran.[butuh rujukan] Selain itu, kultur merantau yang menanamkan budaya mandiri, menjadikan profesi berdagang sebagai pekerjaan pemula untuk memenuhi kebutuhan hidup. Oleh karenanya menjadi pedagang kaki lima sering menjadi pekerjaan awal bagi banyak perantau Minang.[butuh rujukan] Jenis usahaRestoranUsaha rumah makan merupakan jenis usaha yang banyak digeluti oleh pedagang Minang. Jaringan restoran Minang atau yang biasa dikenal dengan restoran Padang tersebar ke seluruh kota-kota di Indonesia, Malaysia, Singapura, Australia, bahkan hingga ke Belanda dan Amerika Serikat.[10][11] Disamping itu terdapat juga usaha restoran yang memiliki ciri khas dan merek dagang yang dijalani oleh pedagang dari daerah tertentu. Pedagang asal Kapau (dekat Bukittinggi) biasanya menjual nasi ramas yang dikenal dengan Nasi kapau. Pedagang Pariaman, Dangung-Dangung, dan Padang Panjang banyak yang menjual Sate padang serta Soto padang. Sedangkan pedagang asal Kubang (dekat Payakumbuh) menjadi penjual martabak, dengan merek dagangnya Martabak Kubang. Restoran Sederhana yang dirintis oleh Bustamam menjadi jaringan restoran Padang terbesar dengan 200 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia dan Malaysia.[12][13] Selain Sederhana, jaringan restoran Minang lainnya yang telah berekspansi ke mancanegara adalah Sari Ratu, Garuda, dan Natrabu. Pengusaha Minang lainnya yang bergerak di bidang makanan adalah keluarga Bustanil Arifin yang merupakan pemegang lisensi Pizza Hut dan Marugame Udon. Saat ini jaringan restoran di bawah bendera Sriboga itu sudah memiliki lebih dari 600 cabang di seluruh Indonesia.[14] Pengusaha kuliner lainnya Syamsalis dan Evalinda Amir, juga sukses mengembangkan usaha ayam gorengnya masing-masing dengan merek Sabana Fried Chicken dan D'Besto. Kedua brand tersebut telah memiliki ratusan gerai dan tersebar di beberapa kota di Indonesia.[15][16] KerajinanOrang Minang banyak melakukan perdagangan dari hasil kerajinan. Para pedagang ini banyak yang menggeluti kerajinan perak dan kulit. Dari bahan kulit, mereka banyak membuat tas, sepatu, dompet, serta ikat pinggang. Kebanyakan mereka berasal dari Bukittinggi, Pariaman, Payakumbuh, Sawahlunto, dan Solok. Di Jakarta, para pengusaha ini banyak ditemui di kawasan Penggilingan dan Cipulir, di Bandung di sekitar Cibaduyut, serta di Medan, mereka banyak berkumpul di kawasan Sukaramai. Sedangkan kerajinan emas biasa digeluti oleh masyarakat Aur Malintang dan Bukittinggi. Kawasan Blok M dan Cikini, merupakan lokasi utama para pedagang emas Minang di Jakarta. Salah satu pedagang emas yang cukup sukses di Jakarta adalah Azwar "Sagi" Wahid.[17] Disamping itu, banyak pula yang menggeluti usaha jual-beli barang-barang antik. Bisnis ini biasanya digeluti oleh pedagang asal Sungai Puar.[18] Pedagang barang antik Minangkabau banyak ditemui di Cikini, Jakarta Pusat dan Ciputat, Tangerang Selatan. Jaringan pedagang antik Minang yang telah terbentuk sejak dekade 1930-an itu, banyak mengambil benda-benda keramik zaman Dinasti Ming atau Qing dari wilayah Sulawesi atau Maluku. PercetakanBisnis percetakan merupakan jenis usaha yang banyak dijalankan oleh pedagang Minang. Usaha percetakan yang mereka jalani meliputi percetakan undangan dan buku. Bahkan dari usaha percetakan ini berkembang menjadi usaha penerbitan buku dan toko buku. Usaha percetakan banyak digeluti oleh pedagang asal Sulit Air. Beberapa pengusaha yang sukses menggeluti bisnis ini ialah Kasuma Sutan Pamuntjak (Djambatan), Lukman Sa'ad (Yudhistira-Ghalia), Lucya Andam Dewi (Bumi Aksara), Rozali Usman (Remaja Rosdakarya), Muhammad Arbie (Madju),[19] Mawardi Labay El-Sulthani (Al Mawardi Prima), Asril Das (Lubuk Agung), Remon Agus (Zikrul Hakim Bestari), serta Rainal Rais (Rora Karya). PariwisataBisnis pariwisata terutama jaringan perhotelan dan travel juga banyak digeluti oleh pengusaha Minangkabau. Di Jakarta, hotel-hotel kelas menengah banyak yang dimiliki oleh pengusaha Minang. Amir Rasydin Datuk Basa merupakan salah seorang pengusaha hotel yang memiliki jaringan cukup besar. Hotel milik pengusaha Minang yang cukup terkenal antara lain Hotel Ambhara, Hotel Sofyan, Hotel Grand Menteng, Hotel Sentral, Oasis Amir Hotel, Hotel Royal Kuningan, Hotel Treva, Hotel Maharani, Hotel Maharadja, Hotel Kaisar, dan Hotel Mega. Di Pekanbaru, disamping Grand Suka Hotel milik Zairin Kasim, ada pula Hotel Mutiara Merdeka punya Muhammad Nazir, dan Hotel Pangeran milik Syarifudin Dt. Pangeran. Di Medan, terdapat Hotel Madani yang dikelola oleh Masri Nur, Garuda Plaza Hotel yang dimiliki Hendra Arbie, serta Raz Hotel & Convention punya Sofyan Raz. Di Bandung, terdapat Grand Asrilia Hotel punya Asril Das dan Hotel Cihampelas milik Herman Muchtar. Di Batam ada Harbour Bay Amir Hotel yang dikelola Amir Rasydin. Di Bandar Lampung, Yogyakarta, dan Batusangkar ada Hotel Emersia milik Merry Warti. Di Ternate dan Bukittinggi ada Muara Hotel yang dikelola Ismi Anas. Sedangkan Oesman Sapta Odang mengelola Grand Mahkota Hotel di Pontianak dan Singkawang serta The Stones Hotel di Bali.[20] Tidak hanya di Indonesia, pengusaha Minang juga menggarap bisnis penginapan hingga ke mancanegara. Salah satunya adalah Fahmi Idris yang mengembangkan Regent Beverly Whilshire, di kawasan Beverly Hills, California.[21] Di bidang tur dan travel, Natrabu (National Travel Bureau) tercatat sebagai salah satu perusahaan travel tertua di Indonesia. Didirikan oleh Rahimi Sutan di Jakarta, perusahaan ini sudah eksis sejak tahun 1958.[22] Selain aktif menyelenggarakan kegiatan konferensi dan ekspo, Pacto Ltd yang dikelola oleh keluarga Hasyim Ning serta Royalindo Expoduta yang dimiliki Iqbal Alan Abdullah juga merupakan perusahaan tur dan travel terkemuka di Indonesia.[23] Di Sumatera Barat, Nelson Septiadi merupakan salah seorang pengusaha Minang yang bergelut di bisnis taman hiburan. Ia adalah pemilik Minang Fantasi, sebuah arena permainan terbesar kedua di Indonesia.[24] Di Bali, selain mengelola kafe dan toko suvenir, Yunasril Anga merupakan pengusaha Minang yang aktif mempromosikan pulau dewata ke dunia internasional. PendidikanBisnis pendidikan juga menjadi pilihan bagi orang Minang. Usaha ini biasanya digeluti oleh para pendidik yang pada mulanya bekerja pada sekolah negeri atau swasta. Dari pengalaman tersebut, mereka bisa mengembangkan sekolah, universitas, atau tempat kursus sendiri yang akhirnya berkembang secara profesional. Di Jakarta, terdapat beberapa universitas atau perguruan tinggi milik orang Minang, yaitu Universitas Jayabaya didirikan oleh Moeslim Taher, Universitas Persada Indonesia YAI didirikan oleh Julius Sukur, Universitas Borobudur didirikan oleh Basir Barthos, serta The London School of Public Relations yang didirikan oleh Prita Kemal Gani. Di Batam, Yayasan Vitka milik Asman Abnur mengelola dua perguruan tinggi, yakni Institut Teknologi Batam dan Batam Tourism Polytechnic.[25] Sedangkan di kota Medan, Djanius Djamin, yang dikenal sebagai aktivis, akademisi dan pengusaha juga mendirikan perguruan tinggi yang bernama Universitas Tri Karya. MediaBakat menulis dan ilmu jurnalistik yang dimiliki oleh orang Minang, telah melahirkan beberapa perusahaan media besar di Indonesia, diantaranya Kartini Grup yang didirikan oleh Lukman Umar, Femina Grup yang didirikan oleh putra-putri Sutan Takdir Alisjahbana, Gala yang didirikan oleh Syamsuyar Adnan, dan stasiun televisi Lativi yang didirikan Abdul Latief. Di Malaysia, Hussamuddin Yaacub merupakan konglomerat Minang yang merajai bisnis media cetak negeri tersebut. Bersama kakaknya Fickry Yaacub, ia mendirikan Karangkraf Grup.[26] Selain itu, beberapa media ternama yang didirikan oleh orang Minang adalah koran Warta Berita, Soeloeh Melajoe, dan Oetoesan Melajoe oleh Mahyuddin Datuk Sutan Maharadja, majalah Panji Masyarakat oleh Hamka, koran Pedoman oleh Rosihan Anwar, koran Waspada oleh Ani Idrus, harian Kedaulatan Rakyat oleh H. M. Samawi, harian ekonomi Neraca oleh Zulharmans, dan harian Berita Indonesia oleh Rusli Amran. TekstilDi pasar tradisional kota-kota besar Indonesia, pedagang Minangkabau banyak yang menggeluti perdagangan tekstil. Di Jakarta, pedagang Minangkabau mendominasi pusat-pusat perdagangan tradisional, seperti Pasar Tanah Abang, Pasar Senen, Pasar Blok M, Pasar Jatinegara, dan Pasar Cipulir. Dominasi pedagang tekstil Minangkabau juga terjadi di Medan dan Pekan Baru. Jika di Medan pedagang Minangkabau mendominasi Pajak Sentral, Pasar Ikan Lama, dan Pasar Sukaramai, maka di Pekan Baru mereka dominan di Pasar Pusat dan Pasar Bawah. Di luar itu, beberapa sentra pengusaha tekstil Minang adalah Kuala Lumpur, Palembang, Surabaya, Bandung, Batam, Yogyakarta, dan Pekalongan. Di Kuala Lumpur, para pengusaha Minang banyak dijumpai di Wisma Yakin dan Kampung Baru,[27] sedangkan di Surabaya mereka berdagang di Pasar Turi. Disamping itu, di Bandung banyak pedagang Minang yang menempati Pasar Baru Trade Center dan Pasar Kota Kembang, serta di Batam mereka berjualan di Nagoya. Pada masa Orde Lama, Rahman Tamin merupakan salah seorang pengusaha tekstil terbesar di Indonesia. FesyenSelain menjadi pedagang bahan, banyak pula pengusaha Minang yang mengolah bahan menjadi produk-produk fesyen. Diantara mereka yang terjun ke bisnis ini ialah para perancang busana yang kemudian membuka butiknya sendiri. Beberapa diantaranya adalah Itang Yunasz (SZ), Iwan Tirta (Iwan Tirta Private Collection), Ria Miranda (Riamiranda), Sjamsidar Isa (Studio One), Monika Jufry (Sessa), dan Fomalhaut Zamel. Disamping itu ada pula pengusaha yang bukan sebagai perancang namun terjun ke industri fesyen, seperti Elidawati Ali Oemar dan Feny Mustafa. Elzatta yang dikembangkan oleh Elidawati serta Shafira dan Zoya, dua merek besutan Feny, outletnya telah hadir di seluruh Indonesia.[28] KeuanganBisnis di industri keuangan, seperti perbankan, sekuritas, dan asuransi juga merupakan pilihan bagi pengusaha Minang. Bahkan pengusaha Minang, Soetan Sjahsam yang juga adik perdana menteri pertama Indonesia Sutan Sjahrir, merupakan perintis pasar modal di Indonesia. Sjahsam juga seorang pialang saham dan mendirikan perusahaan sekuritas, Perdanas. Disamping Sjahsam, ekonom Syahrir juga aktif dalam bisnis sekuritas dengan mendirikan perusahaan Syahrir Securities. Di bisnis modal ventura dan multi finance, Arwin Rasyid mendirikan TEZ Capital & Finance[29] Sedangkan di bisnis perbankan, pengusaha asal Sungai Puar Anwar Sutan Saidi, mendirikan Bank Nasional pada tahun 1930.[30] Pada masa Orde Baru, beberapa pengusaha Minang yang terjun di bisnis perbankan dan asuransi antara lain Hasyim Ning (Bank Perniagaan Indonesia), Anwar Syukur (Bank Anrico), serta Roestam Moenaf (Asuransi Bintang). Kesehatan dan KosmetikIndustri kesehatan juga merupakan bidang yang banyak digeluti oleh pengusaha Minang. Beberapa dokter dari kalangan Minangkabau, banyak yang membuka rumah sakit umum serta rumah sakit ibu dan anak yang tersebar di kota-kota besar Indonesia, diantaranya adalah Rizal Sini yang mendirikan Rumah Sakit Bunda, keluarga Awaloeddin yang mengembangkan jaringan Rumah Sakit Primaya,[31], Lidesma yang mengelola jaringan Rumah Sakit Ananda, serta Nurzahedi yang membangun Aulia Hospital. Disamping itu, ada pula pengusaha Minang yang terjun ke industri obat-obatan. Salah satunya adalah Rukmini Zainal Abidin. Bersama suaminya ia mendirikan pabrik obat PT Tunggal Idaman Abdi dan Apotek Tunggal.[32] Perempuan Minang lainnya, Nurhayati Subakat, berhasil menjual produk-produk kosmetik, dengan merek dagang Wardah dan Emina.[33] PropertiSejak berkembangnya industri properti pada dasawarsa 1980-an, banyak pengusaha Minang yang terjun ke dalam bisnis ini. Mereka banyak membangun proyek perumahan, apartemen, dan sentra bisnis di kota-kota utama Indonesia. Pada tahun 1991, Nasroel Chas meluncurkan pusat bisnis prestisius, Sudirman Central Business District di kawasan Senayan, Jakarta.[34] Proyek ini merupakan proyek percobaan bagi pengembangan pusat-pusat bisnis di seluruh Indonesia. Pengusaha properti lainnya adalah Yendra Fahmi yang mengelola beberapa gedung perkantoran di Jakarta, seperti Sudirman Suites dan Menara Kuningan. Selain itu Is Anwar Datuk Rajo Perak merupakan pemilik gedung perkantoran Is Plaza di Matraman, Jakarta, serta Abdul Latief yang menjadi pemilik Menara Sentraya di Kebayoran Baru, Jakarta. Belly Saputra, owner Riyadh Group, membangun beberapa kompleks apartemen di Jakarta dan Bandung. Ia juga mengelola Bally Internasional Hotel & Convention Centre di Cilegon, serta membangun pusat perbelanjaan di Malaysia.[35] Pengusaha Minang lainnya, Nuzli Arismal yang dijuluki sebagai "raja pasar", banyak mengelola pusat-pusat perbelanjaan. Diantaranya adalah Blok F Tanah Abang (Jakarta), Pasar Cipadu (Tangerang), dan Abdurrahman bin Auf Trade Center (Bandung). PertambanganIndustri pertambangan adalah salah satu bisnis yang diminati oleh pengusaha Minang. Mereka mulai banyak menggeluti bidang ini sejak dibukanya permodalan asing pada masa Orde Baru. Pengusaha Minang yang sukses di bidang ini antara lain Aminuzal Amin, Oesman Sapta Odang, Yendra Fahmi, Edi Yosfi, dan Bonny Z. Minang. Sedangkan Emil Abbas (Easco), Syarief Tando (Petrobuild Indonesia), dan Muhammad Kasmir (Uniteda Arkato) menjalankan perusahaan alat berat serta infrastruktur bagi perusahaan pertambangan. Di Malaysia pada akhir abad ke-19, Mohamed Taib bin Haji Abdul Samad merupakan pengusaha pertambangan yang sukses. Bersama saudaranya, Abbas bin Haji Abdul Samad, dia membuka pertambangan timah di Selangor.[36] Setelah lepas dari Inggris, Tunku Imran dan Tunku Naquiyuddin dari keluarga kerajaan Negeri Sembilan, merupakan pengusaha pertambangan yang memiliki kekayaan cukup besar di Malaysia. PerfilmanPara pengusaha Minang juga merupakan pelopor dalam pengembangan industri film di Indonesia pasca-kemerdekaan. Usmar Ismail pendiri Perfini dan Djamaluddin Malik pemilik Persari, merupakan dua tokoh perfilman yang dijuluki sebagai "Bapak Film Indonesia".[37] Selain itu, Naziruddin Naib juga merupakan produser film Indonesia yang aktif di masa Orde Lama. Pada masa Orde Baru, keluarga Soekarno M. Noer lewat perusahaannya Karnos Film giat memproduksi aneka sinetron, diantaranya yang cukup melegenda adalah Si Doel Anak Sekolahan. Di era reformasi, Nan Achnas adalah salah satu pengusaha yang aktif memproduksi film-film Indonesia. Di Malaysia, sineas Minang yang cukup aktif memproduksi film adalah Rosnani Jamil dan U-Wei bin Haji Saari. TransportasiPada industri transportasi, beberapa pengusaha Minang juga turut ambil bagian. Di Malaysia, Kamarudin Meranun merupakan co-founder dan Chairman dari maskapai penerbangan AirAsia. Di Indonesia, beberapa bus pariwisata dan bus antarkota dikelola oleh pengusaha Minang. Diantaranya ialah Anas Sutan Jamaris (ANS), Bahauddin Sutan Barbangso Nan Kuniang (NPM), Alizar Datuk Bagindo (Gumarang Jaya), Hasanuddin Adnan (SAN), Djohar (Bintang Kedjora), Nazar Zakaria (Transport Express), serta Afrinaldi (EPA Star). Selain itu ada pula yang menggeluti bisnis logistik yaitu Arisal Aziz (Indah Logistik Cargo) serta pengusaha pelayaran yakni A. Murady Darmansjah (Ghalaya Abadi Persada Line). Jaringan dan tantanganJaringan dan silaturahmi antarpedagang Minangkabau, terbangun antara lain melalui pertemuan yang dikenal dengan sebutan Silaturahmi Saudagar Minang (SSM); yang pertama kali diadakan di Padang pada tahun 2007 dan dihadiri tak kurang dari 700 pengusaha Minang dari seluruh dunia.[38] Tidak seperti para pendahulunya, seperti Djohan & Djohor, Rahman Tamin, dan Hasyim Ning, yang merupakan pengusaha-pengusaha Indonesia terkemuka pada masanya,[39] pencapaian pengusaha Minangkabau dewasa ini jauh menurun.[40][41] Demikian pula, potensi kerjasama pengusaha di rantau terhadap pembangunan di Provinsi Sumatera Barat masih belum memperlihatkan hasil yang signifikan,[42] mengingat pada tahun 2021 berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia Sumatera Barat berada di peringkat ke-9 di Indonesia.[43] Saudagar sukses
Pengusaha mudaDari kalangan generasi muda, mulai dikenal beberapa nama yang telah memperlihatkan prestasi sebagai pedagang/pengusaha yang tangguh, diantaranya:
Lihat pulaReferensi
|