Sastra wangiSastra Wangi adalah sebutan yang diberikan untuk karya sastra Indonesia karya penulis perempuan.[1] Istilah sastra wangi pertama kali muncul setelah tebitnya novel Saman (1998) karya Ayu Utami.[1] Hal yang mendasar munculnya sastra wangi adalah tema seks yang diusung oleh para penulisnya.[2] Sastra wangi menjadi sarana para penulisnya untuk menyampaikan ideologi dan cara pandang feminis.[2] Para pengarang yang karyanya dikategorikan sastra wangi melihat pengistilahan ini sebagai suatu bentuk ejekan.[1] Alasan mereka, pemberian istilah ini adalah penilaian hanya berdasarkan penampilan fisik saja.[1] IdeologiDari segi isi, sastra wangi sangat berani dan secara terbuka bahkan vulgar berbicara tentang alat kelamin.[2] Memang pada tahun 70-an muncul karya sastra yang bertema seksualitas yang menggairahkan, tetapi tidak benar-benar menyentuh sekitar selangkangan secara terbuka.[2] Dari segi ideologi, penulis sastra wangi mengangkat ajaran moral, kritik terhadap pemerintah, dan sikap atau pernyataan gender.[2] Dalam novel-novel sastra wangi tokoh perempuan digambarkan menyuarakan hak dan otoritas tubuh keperempuanannya.[3] Novel-novel sastra wangi menyuarakan perlawan terhadap dominasi maskulin. Dasar ideologi yang paling kuat dalam sastra wangi adalah feminisme yang menolak cara pandang partiarkis.[3] Selain itu muncul juga pendobrakan konsep hubungan pranikah, perselingkuhan, dan lembaga pernikahan.[3] Ayu Utami mengatakan bahwa tulisan-tulisannya adalah upaya menciptakan wacana mengenai seksualitas dari sudut pandang perempuan.[1] Sementara Djenar Maesa Ayu menyatakan karya-karyanya sebagai usaha untuk jujur terhadap diri sendiri, yaitu apa yang ia alami dan rasakan.[1] KontroversiKebebasan mendiskusikan masalah seks menjadi sumber utama kontroversi karya-karya sastra wangi.[1] Para penulis sastra wangi dianggap mengangkat isu yang oleh generasi sebelumnya dianggap tabu.[4] Mereka dianggap dapat menghasilkan tulisan hebat dan menciptakan gaya penulisan baru, bahkan sebagai pembebasan perempuan juga aliran feminisme.[5] Karya-karya penulis sastra wangi mendapat sambutan sangat positif dalam banyak segi, seperti media, penghargaan sastra termasuk jumlah eksemplar yang terjual.[5] Kontroversi muncul ketika Katrin Bandel mempertanyakan kepantasan karya-karya tersebut yang mendapat tanggapan begitu positif.[5] Menurut Katrin, sensasi seputar perempuan dan seks dalam satra wangi memberi efek yang merugikan bagi kesusastraan Indonesia [5] Katrin Bandel menyebut dua pengarang perempuan yang layak diragukan apakah mereka sungguh melakukan pendobrakan tabu bahkan pembebasan perempuan adalah Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu.[5] Seksualitas adalah isu yang cukup sentral dibicarakan melalui banyak bentuk dalam karya sastra.[5] Namun, memang sastra wangi sedang menjadi tren sejak tahun 2000-an sebagai karya yang membicarakan seksualitas secara menantang dan penuh sensasi.[5] Sementara itu sebagian penulis sastra wangi sepakat bahwa gunjingan yang mereka dapatkan disebabkan karena mereka adalah perempuan, yang sejauh ini dipandang mesti bersikap halus dan lembut.[1] Para penulisBerikut ini para penulis sastra wangi di Indonesia:[6] Rujukan
|