Sarilamak, Harau, Lima Puluh Kota
Sarilamak adalah ibu kota Kabupaten Lima Puluh Kota. Sarilamak juga merupakan sebuah nagari yang terletak di Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Secara geografis, Sarilamak terletak 10 km arah utara dari pusat Kota Payakumbuh. Sarilamak juga dilewati dengan jalan lintas yang menghubungkan Provinsi Sumatera Barat dengan Provinsi Riau. SejarahKonon kabarnya, kata “Sarilamak” berasal dari bahasa Minangkabau "sairih lamak" yang memiliki arti "sepotong enak".[2][3] Ada beberapa versi cerita, tapi kesemuanya memiliki akhir cerita yang sama, yaitu memakan bersama irisan-irisan belut yang enak. Berdasarkan cerita sesepuh nagari, dahulunya di desa ini tinggal seorang anak dan ibunya yang hidup pas-pasan. Anak itu bernama Amat dan ibunya dipanggil Nur. Mereka mempertahankan hidup hanya dengan memanfaatkan alam sekitar, misalnya mereka mengambil hasil alam yang bisa dimakan.[butuh rujukan] Pada suatu pagi, Amat dan ibunya berniat mencari apa yang akan mereka makan hari ini. Mereka berniat mencari siput di sawah, para penduduk desa lainnya yang juga mengerti akan keadaan mereka. Mereka mencari siput di sawah yang diminta oleh pemiliknya. Karena itu juga membantu si pemilik sawah terhindar dari seringnya itik ke sawahnya untuk mencari siput. Amat dan ibunya sangat berterima kasih kepada penduduk setempat yang sekali-sekali membantu mereka, baik itu moril maupun materil. Saat Amat sedang asik mencari siput sawah, dia melihat seekor binatang yang menyerupai ular, Amat mengambil sebuah ranting, yang awalnya berniat untuk mengusir binatang itu. Tapi setelah dilihatnya lagi binatang itu tidak berusaha melawan ataupun menggigitnya. Kemudian Amat pun menangkapnya dan memasukkan binatang itu ke keranjang yang telah disediakan untuk meletakkan siput yang telah dia tangkap. Dia segera berlari sambil berteriak memanggil ibunya dengan girangnya yang pada saat itu jauh darinya. Nafas Amat pun terengah-engah karena berlari, Amat berkata pada ibunya tentang apa yang telah didapatnya tadi. Ibunya hanya tersenyum melihat anaknya yang sangat senang, seolah mendapat barang berharga.[butuh rujukan] Nur pun melihat apa yang didapat oleh anaknya, dia sedikit terkejut. Tapi setelah kembali mendengar penjelasan anaknya dan langsung meraba binatang itu. Pikirannya mulai mencerna dan berpikir binatang apa itu, binatang seperti ular itu hanya berusaha melepaskan diri dari tangannya. Nur memberi tahu anaknya untuk segera pulang, dan berencana memasak dan memakan binatang itu. Amat sangat senang atas apa yang telah didapatnya hari ini. Dia melihat ibunya, mulai dari cara membersihkan binatang itu sampai cara memasaknya. Setelah masakan itu matang, dia dan ibunya segera mencicipi masakan itu. Setiap kali merasakan daging binatang itu terlontarlah dari mulutnya kata-kata “lamak” (enak). Mendengar perkataan itu tetangganya beramai-ramai datang untuk mencicipinya sambil berkata “mintak sairih” (minta sepotong). Ternyata setiap tetangganya yang mencicipi makanan itu mengatakan “lamak”. Lama-kelamaan kata “sairih lamak” berubah menjadi Sarilamak. Berdasarkan cerita tersebut asal nama Kenagarian Sarilamak.[2][3] Dalam versi cerita lainnya disebutkan, bahwa saat itu datang rombongan yang dipimpin Datuk Sinaro Garang sedang menyusuri daerah yang kelak bernama Sarilamak. Lalu mereka menemukan jalur laluan belut dan belut itu berhasil ditangkap. Belut yang mereka temukan berukuran besar dan panjang seperti ular, sehingga mereka perlu merentang belut sehingga mudah untuk memotongnya. Tempat rombongan ini merentang belut, kini dinamakan Tarantang, dari kata "terentang", nama sebuah nagari di dekat Sarilamak. Setelah dipotong-potong, irisan-irisan daging belut tadi dimakan bersama-sama dan terasa enak, hingga mereka menyebut "soirih lomak" (dialek setempat untuk sairih lamak, yang berarti "sepotong enak"). Hingga lama kelamaan, nama tempat tersebut dinamakan Sorilomak atau Sarilamak.[2] Dalam versi lainnya disebutkan bahwa ada belut besar yang hidup di daerah ini dan mengganggu kegiatan haarian penduduk. Lalu seorang anak berkaki pincang, Buyung, berinisiatif untuk menangkap belut ini. Namun, niatnya ini ditertawakan oleh penduduk kampung. Walau begitu, Buyung tetap menjalankan niatnya itu dengan membuat jebakan berupa lubang berisi banyak udang untuk menarik belut tersebut masuk. Akhirnya, belut tersebut terperangkap dan Buyung memanggil semua penduduk untuk beramai-ramai menangkap belut. Atas usaha Buyung inilah, penduduk terbebas dari gangguan belut besar pengganggu. Penduduk merayakannya dengan seiris-iris belut itu dan dimakan bersama-sama.[3] Referensi
Pranala luar |