SapfoSapfo (bahasa Yunani Aiolia: Ψαπφώ, translit. Psapfô; lahir sekitar tahun 630 SM – meninggal sekitar tahun 570 SM) adalah seorang penyair Yunani Arkais dari Pulau Lesbos.[a] Sapfo dikenal akan sajak liranya yang ditulis untuk dinyanyikan sembari diiringi dengan lantunan musik. Pada zaman kuno, Sapfo dianggap sebagai salah satu penyair lira terbesar dan dikenal dengan julukan "Dewi Musa Kesepuluh" dan "Sang Penyair Wanita". Sebagian besar dari puisi Sapfo sudah hilang ditelan zaman, dan yang tersisa saat ini hanyalah penggalan-penggalan, kecuali untuk satu puisi lengkap yang berjudul "Ode untuk Afrodit". Pada tahun 2014, telah ditemukan pula beberapa puisinya yang lain, termasuk Puisi Para Saudara. Tidak banyak yang diketahui mengenai kehidupan Sapfo. Ia berasal dari keluarga kaya di Lesbos, walaupun nama kedua orang tuanya masih belum pasti. Sumber-sumber kuno mengatakan bahwa ia memiliki tiga saudara lelaki. Terdapat empat peran sosial yang telah dikaitkan dengan Sapfo, yaitu pemimpin khoros wanita, guru untuk murid-murid wanita, pemimpin pemujaan Afrodit, dan pengisi acara pesta wanita. Sapfo dibuang ke Sisilia sekitar tahun 600 SM, dan mungkin ia masih berkiprah hingga sekitar tahun 570. Legenda yang belakangan mencuat mengenai rasa cinta Sapfo terhadap seorang tukang perahu bernama Faon dan tentang kematiannya tidak dapat diandalkan. Sapfo adalah seorang penyair yang produktif, dan mungkin ia pernah menulis sekitar 10.000 baris. Penggalan-penggalan puisinya bersentuhan dengan berbagai macam tema, tetapi tema yang paling dikenal adalah hasrat antar wanita. Puisi Sapfo juga dikenal akan penggunaan bahasanya yang jelas, pemikirannya yang sederhana, gambarannya yang tajam, pemakaian kutipan langsung, serta permainan kata yang tak terduga. Puisinya dikenal dan dikagumi pada Era Klasik, dan ia adalah salah satu dari Sembilan Penyair Lira yang paling dihormati oleh para cendekiawan di Aleksandria pada zaman Helenistik. Puisi karya Sapfo dianggap luar biasa dan karyanya masih memengaruhi para penulis lain. Selain berkiprah sebagai penyair, ia juga dikenal sebagai simbol cinta dan hasrat antar wanita. Kata sapphic dan lesbian dalam bahasa Inggris diambil dari namanya dan pulau asalnya. Walaupun begitu, sejarah mengenai seksualitasnya masih menjadi subjek perdebatan para cendekiawan. Sumber-sumber kunoTerdapat tiga jenis sumber yang dapat digunakan untuk mempelajari kehidupan Sapfo: testimonia mengenai dirinya, sejarah masanya, dan keterangan yang bisa didapat dari puisinya sendiri, meskipun para ahli tidak serta merta menjadikan puisi sebagai sumber biografi.[3] Testimonia adalah istilah khusus yang digunakan dalam kajian bahasa dan budaya Yunani-Romawi Kuno (ilmu klasika) sebagai sebutan bagi kumpulan karya tulis peninggalan Abad Kuno yang memuat riwayat hidup atau keterangan tentang pujangga-pujangga Zaman Klasik. Sejauh ini, belum ditemukan testimonia mengenai Sapfo yang berasal dari masa kehidupannya.[b][4] Penggambaran kehidupan Sapfo dalam testimonia harus selalu diperiksa kebenarannya, karena tidak semuanya selalu benar.[5][6] Testimonia juga menjadi sumber keterangan mengenai bagaimana puisi Sapfo diterima pada zaman kuno.[7] Beberapa rincian yang disebutkan dalam testimonia diambil dari puisi Sapfo sendiri, dan hal ini penting bagi para sejarawan karena testimonia tersebut berasal dari zaman ketika lebih banyak puisi Sapfo yang tersedia untuk dibaca.[8][9] RiwayatTidak banyak yang diketahui mengenai riwayat hidup Sapfo.[10] Ia berasal dari Metilene di Pulau Lesbos[11][c] dan kemungkinan lahir sekitar tahun 630 SM.[14][d] Menurut tradisi, nama ibunya adalah Kleis,[16] walaupun para ahli kuno sepertinya hanya menebak nama ini dengan asumsi bahwa putri Sapfo yang bernama Kleis dinamai dari ibunya.[12] Nama ayah kandung Sapfo tidak diketahui secara pasti. Terdapat sepuluh nama yang disebutkan dalam testimonia kuno,[e] sehingga terdapat kemungkinan bahwa sebenarnya ayah Sapfo tidak disebutkan secara gamblang dalam puisi-puisinya.[18] Nama ayah Sapfo yang paling pertama disebutkan dan juga yang paling sering dicatat adalah Skamandronimos.[f] Dalam Heroides karya Ovidius, ayah Sapfo wafat saat Sapfo masih berumur tujuh tahun.[19] Ayah Sapfo tidak disebutkan dalam karya-karya Sapfo yang masih ada, tetapi Campbell menduga bahwa rincian ini mungkin ada dalam sebuah puisi yang kini sudah hilang ditelan zaman.[20] Nama Sapfo sendiri memiliki beraneka ejaan, termasuk dalam dialek Aeolik yang ia tuturkan; bentuk yang paling sering muncul dalam puisinya adalah "Psappho".[21] Tidak ada gambar yang benar-benar menunjukkan diri Sapfo pada saat ia masih hidup; semua gambar yang ada saat ini, baik itu dari zaman kuno maupun modern, merupakan hasil kreasi seniman.[22] Dalam puisi Titonos, Sapfo menulis bahwa rambutnya sudah menjadi putih, tetapi sebelumnya berwarna melaina atau hitam. Papirus yang berisi sastra dari abad kedua Masehi menyebutnya pantelos mikra yang berarti "kecil benar" atau "sungguh kecil".[23] Alkaios mungkin pernah menulis bahwa Sapfo memiliki "rambut lembayung", yang merupakan istilah puitis yang lazim digunakan untuk mengatakan rambut hitam.[24][25][26] Beberapa ahli mengatakan bahwa pernyataan seperti ini tidak dapat diandalkan.[27] Peran sosialDalam upaya untuk menilik kembali kehidupan Sapfo, terdapat empat peran sosial yang telah dicetuskan untuk dirinya, yaitu pemimpin khoros wanita, guru, pemimpin pemujaan, dan pengisi acara pesta wanita. Keempat peran sosial ini dicetuskan berdasarkan penafsiran terhadap penggalan-penggalan puisi Sapfo dan juga perbandingan dengan testimonia mengenai dirinya.[28][29] Namun, menurut Dimitrios Yatromanolakis, sulit untuk menentukan konteks peran sosial dari penggalan puisi Sapfo, dan sering kali terdapat lebih dari satu konteks yang mungkin sesuai.[30] Salah satu peran sosial yang telah dicetuskan adalah "Sapfo sebagai seorang pemimpin khoros wanita". Menurut Diane J. Rayor dan André Lardinois, versi inilah yang paling mungkin benar karena paling sesuai dengan testimonia mengenai Sapfo, penggalan-penggalan puisinya, serta latar belakang budaya pada masanya. Jika benar, terdapat kemungkinan bahwa banyak puisinya yang ditulis untuk acara-acara panggung.[31] Peran sosial yang kedua adalah "Sapfo sebagai guru wanita".[32] Versi ini populer pada abad ke-19 dan didasarkan pada sejumlah testimonia (seperti ensiklopedia Suda) yang menyebut soal "murid-murid" Sapfo.[33] Pandangan ini masih berpengaruh hingga kini, baik itu di kalangan para ahli maupun awam,[34] walaupun baru-baru ini gagasan ini telah digempur oleh kritikan dari sejarawan karena dianggap anakronistik[33] dan tidak ditopang oleh bukti. Misalnya, pada tahun 1959, Denys Page mengatakan bahwa penggalan-penggalan puisi Sapfo yang masih ada menggambarkan "cinta dan kecemburuan, kegembiraan dan rasa sakit Sapfo dan sahabat-sahabatnya"; ia juga menambahkan bahwa sama sekali tidak ditemukan "jejak hubungan formal atau resmi atau profesional antar mereka, ... tidak ada jejak Sapfo sebagai kepala sebuah akademi."[35] David A. Campbell pada tahun 1967 merasa bahwa Sapfo mungkin pernah menjadi kepala sebuah "pondok kesusasteraan", tetapi "bukti pengangkatan sebagai pemimpin pemujaan atau guru sulit untuk ditemukan".[36] Tidak ada satu pun puisi Sapfo yang menyebut mengenai ajarannya, dan testimonium pertama yang menopang gagasan bahwa Sapfo adalah seorang guru berasal dari Ovidius, enam abad setelah masa kehidupan Sapfo.[37] Versi yang ketiga adalah kehidupan Sapfo sebagai seorang pemimpin pemujaan dewi Afrodit. Versi ini mulai populer pada abad ke-20 dan didasarkan pada himne-himne religius yang dapat ditemui pada penggalan-penggalan puisi Sapfo (termasuk yang dipersembahkan untuk dewi Afrodit) dan juga dari testimonia yang menyebut soal Sapfo yang membawakan musik di kuil. Akan tetapi, tidak ada bukti bahwa Sapfo pernah menjadi seorang pemimpin pemujaan.[33] Sementara itu, versi yang terakhir adalah kehidupan Sapfo sebagai seorang penyair yang menulis lagu yang kemudian ia bawakan di acara kenduri atau minum-minum untuk wanita dewasa.[38] Holt Parker beranggapan bahwa Sapfo sebaiknya dipandang sebagai bagian dari sekelompok sahabat wanita dan Sapfo melakukan pertunjukan di hadapan mereka.[39] Walaupun beberapa puisinya tampaknya ditulis untuk acara-acara resmi,[40] sebagian besar dari musiknya dianggap berkaitan dengan (dan mungkin akan dimainkan dalam) acara kenduri.[41] Namun, menurut Rayor dan Lardinois, acara kenduri pernikahan pada masa Sapfo kemungkinan adalah acara pernikahan ningrat yang dihadiri oleh lelaki maupun wanita dewasa, dan tidak cukup bukti yang menunjukkan adanya pesta kenduri atau minum-minum khusus untuk wanita pada masa tersebut.[38] KeluargaKonon Sapfo memiliki tiga saudara kandung: Erigios, Larikos, dan Karaksos. Menurut Athenaios, Sapfo kerap menyanjung Larikos karena bertugas menuangkan anggur di balai kota Metilene, yakni tugas yang diemban anak-anak lelaki dari keluarga-keluarga terkemuka. [42] Hal ini menyiratkan bahwa Sapfo terlahir di keluarga ningrat, dan dugaan ini sendiri juga sesuai dengan lingkungan sekitar Sapfo (seperti yang tercatat dalam puisi-puisinya) yang tidak lazim untuk kalangan rakyat jelata. Salah satu tradisi mengisahkan hubungan antara Karaksos dengan seorang perempuan penghibur Mesir yang bernama Rhodopis. Herodotos (sumber tertua yang menyebut kisah ini) melaporkan bahwa Karaksos menebus Rhodopis dengan jumlah yang besar, dan Sapfo menulis sebuah puisi yang memarahinya.[g] Sapfo mungkin memiliki satu anak perempuan yang bernama Kleis, dan namanya disebutkan dalam dua penggalan puisi.[44] Tidak semua ahli sepakat bahwa Kleis adalah anak Sapfo. Penggalan 132 menyebut Kleis "παῖς" (pais), yang bisa berarti "anak", tetapi bisa berarti juga "kekasih muda dalam hubungan sesama jenis antar lelaki".[45] Terdapat juga kemungkinan bahwa Kleis adalah salah satu kekasih muda Sapfo dan bukan anaknya,[45] walaupun Judith Hallett berpendapat bahwa bahasa yang dipakai dalam Penggalan 132 menyiratkan bahwa Sapfo menganggap Kleis sebagai anaknya.[46] Menurut ensiklopedia Suda, Sapfo menikah dengan Kerkilas dari Andros.[12] Namun, nama ini tampaknya dikarang oleh seorang penyair jenaka: nama "Kerkilas" berasal dari kata "κέρκος" (kerkos), yang mungkin berarti "kemaluan pria". "Kerkilas" juga tidak disebutkan sebagai nama seseorang dalam sumber-sumber lain,[47] sementara "Andros" (selain merupakan nama sebuah pulau di Yunani) juga merupakan salah satu ragam kata "ἀνήρ" (aner) yang berarti pria.[16] Maka dari itu, nama ini mungkin hanya lelucon, karena nama tersebut bisa diartikan "Si Otong asal Pulau Laki".[47] Sapfo dan keluarganya dibuang dari Lesbos ke Sirakusa, Sisilia, sekitar tahun 600 SM.[11] Kronik Paros mencatat bahwa Sapfo pergi ke pengasingan sekitar tahun 604 hingga 591 SM.[48] Mungkin hal ini diakibatkan oleh keterlibatan keluarganya dalam konflik antar petinggi politik di Lesbos,[49] dan hal serupa juga mendasari pembuangan Alkaios dari Metilene pada kisaran waktu yang sama.[50] KematianMenurut tradisi yang sudah ada paling tidak dari zaman Menandros, Sapfo bunuh diri dengan melompat dari tebing Lefkada akibat rasa cintanya kepada Faon, seorang tukang perahu. Kebenaran tradisi ini diragukan oleh para ahli modern, dan kemungkinan kisah ini memang dikarang oleh penyair atau bermula dari kesalahan dalam membaca kalimat yang memakai sudut pandang orang pertama dalam sebuah puisi yang bukan tulisan biografi.[51] Legenda ini mungkin juga terlahir dari upaya untuk menegaskan bahwa Sapfo adalah seorang heteroseksual.[52] KaryaSapfo kemungkinan pernah menulis sekitar 10.000 baris puisi; saat ini, hanya ada sekitar 650 yang masih selamat.[53] Ia paling dikenal akan sajak liranya yang ditulis untuk diiringi dengan alunan musik.[53] Ensiklopedia Suda juga menuliskan bahwa Sapfo menulis sejumlah epigram, sajak elegi, dan sajak iambus; terdapat tiga epigram yang masih ada, tetapi epigram-epigram ini sebenarnya adalah puisi Helenistik yang terilhami dari Sapfo, dan begitu pula dengan sajak-sajak iambus dan elegi yang konon ditulis olehnya.[54] Edisi-edisi kunoPuisi Sapfo mungkin pertama kali ditulis di Pulau Lesbos, bisa jadi pada masa hidupnya atau tidak lama sesudahnya,[55] dan awalnya mungkin hanya berupa lembaran musik untuk orang-orang yang memainkan karya Sapfo.[56] Pada abad kelima, para penerbit buku Athena mungkin mulai menghasilkan salinan-salinan sajak lira Lesbos, termasuk materi penjelasan dan juga puisinya sendiri.[55] Pada abad kedua atau ketiga, para cendekiawan di Aleksandria membuat edisi puisi Sapfo yang kritis.[57] Mungkin terdapat lebih dari satu edisi di Aleksandria; John J. Winkler berpendapat bahwa terdapat dua edisi, yaitu satu edisi yang disunting oleh Aristofanes dari Bizantium dan satunya lagi oleh muridnya, Aristarkos dari Samotrakia.[56] Kebenaran dari hipotesis ini tidak diketahui secara pasti; sumber-sumber kuno mengatakan bahwa edisi Aristarkos menggantikan edisi Aristofanes, tetapi tidak menyebutkan apakah karya Sapfo sendiri juga memiliki sejumlah edisi.[58] Edisi Aleksandria didasarkan pada koleksi-koleksi Athena,[55] dan terbagi menjadi setidaknya delapan buku, sementara jumlah yang sesungguhnya tidak diketahui secara pasti.[59] Banyak ahli modern yang mengikuti pendapat Denys Page, yang menduga bahwa ada buku kesembilan dalam edisi standar.[59] Yatromanolakis meragukan hipotesis ini, karena tidak ada testimonia yang menyebutkan buku kesembilan.[60] Walaupun begitu, edisi Aleksandria kemungkinan mengelompokkan puisi-puisi Sapfo berdasarkan metrumnya (struktur irama dalam sebuah baris puisi): sumber-sumber kuno menyatakan bahwa masing-masing dari tiga buku pertama berisi puisi dengan suatu metrum khusus.[61] Edisi kuno puisi Sapfo, yang mungkin dimulai dari edisi Aleksandria, tampaknya mengurutkan puisi-puisinya secara alfabetik paling tidak dalam buku pertama puisi Sapfo (yang berisi karya-karya yang tersusun dengan stanza Sapfo, yaitu ragam bait khas Sapfo yang terdiri dari empat baris).[62] Puisi Sapfo masih beredar dalam koleksi-koleksi puisi lainnya meskipun edisi standar Aleksandria sudah diterbitkan. Sebagai contoh, puisi Titonus karya Sapfo tersimpan dalam Papirus Köln merupakan bagian dari antologi puisi Helenistik yang disusun berdasarkan tema dan bukan berdasarkan metrum seperti edisi Aleksandria.[63] Puisi yang masih adaManuskrip pertama yang berisikan puisi Sapfo berasal dari abad ke-3 SM dan mendahului edisi Aleksandria.[56] Sementara itu, salinan terbaru puisi Sapfo yang diturunkan secara langsung dari zaman kuno dapat ditemui dalam halaman-halaman perkamen dari abad keenam dan ketujuh M, dan sumbernya adalah papirus-papirus kuno yang kini sudah tiada.[64] Salinan karya Sapfo dalam bentuk manuskrip mungkin masih ada selama beberapa abad sesudahnya, tetapi puisinya tampaknya sudah menghilang pada kisaran abad ke-9,[65] dan pada abad ke-12, Ioannes Tzetzes menyimpulkan bahwa "Jalannya waktu telah menghancurkan Sapfo dan karya-karyanya".[66] Menurut legenda, puisi Sapfo sudah hilang karena gereja tidak menyukai moralnya.[16] Legenda ini tampaknya berasal dari zaman Renaisans; pada kisaran tahun 1550, Gerolamo Cardano menuliskan bahwa Gregorius dari Nazianzen telah memerintahkan agar karya Sapfo dihancurkan, dan pada akhir abad ke-16, Joseph Justus Scaliger mengklaim bahwa karya Sapfo dibakar di Roma dan Konstantinopel pada tahun 1073 atas perintah dari Paus Gregorius VII.[65] Sebenarnya karya Sapfo kemungkinan sudah tiada karena permintaan agar karyanya disalin ke dalam perkamen tidaklah besar pada masa ketika kodeks-kodeks menggantikan gulungan-gulungan papirus.[67] Faktor lain yang mungkin mengakibatkan hal ini adalah dialek Aeolik yang ia gunakan bukanlah dialek yang umum dikenal,[68][69][67][70] dan dalam dialek itu sendiri terdapat banyak kata kuno atau kata-kata yang tidak dikenal dalam dialek-dialek Yunani Kuno lainnya.[71] Pada zaman Romawi (saat dialek Attika sudah dijadikan standar untuk penulisan),[72] banyak pembaca yang merasa bahwa dialek Sapfo sulit untuk dipahami.[69] Pada abad kedua M, penulis Romawi Apuleius bahkan berkomentar bahwa dialeknya "aneh".[72] Hanya sekitar 650 baris puisi Sapfo yang masih tersisa, dan dari antaranya hanya ada satu puisi yang masih ada dalam bentuk lengkap, yaitu "Ode untuk Afrodit". Selain itu, banyak penggalan puisi Sapfo yang hanya mengandung satu kata.[53] Sebagai contoh, Penggalan 169A hanya berisi satu kata yang berarti "hadiah pernikahan".[73] Dua sumber utama yang berisikan penggalan puisi Sapfo adalah kutipan-kutipan di karya-karya kuno lainnya (dari seluruh puisi hingga satu kata saja) serta lembaran-lembaran Papirus yang sudah tidak utuh dan kebanyakan ditemukan di Oksirinkos di Mesir.[74] Penggalan-penggalan lain juga dapat ditemui dalam materi lain seperti perkamen dan pecahan tembikar.[54] Penggalan puisi Sapfo yang paling kuno adalah papirus Köln yang berisikan puisi Tithonus[75] dan berasal dari abad ketiga SM.[76] Sebelum perempat terakhir abad ke-19, hanya kutipan-kutipan kuno Sapfo yang masih tersisa. Pada tahun 1879, penggalan puisi Sapfo yang pertama ditemukan di Fayum, Mesir.[77] Pada akhir abad ke-19, Grenfell dan Hunt mulai menggali tumpukan sampah kuno di Oksirinkos yang berujung pada penemuan penggalan-penggalan puisi Sapfo yang belum pernah diketahui keberadaannya sebelumnya.[16] Semenjak itu, penggalan-penggalan puisi Sapfo lainnya terus ditemukan. "Puisi Tithonus" dan penggalan baru yang belum diketahui keberadaannya sebelumnya ditemukan pada tahun 2004.[78] Kemudian, pada tahun 2014, ditemukan penggalan sembilan puisi: lima puisi sudah diketahui keberadaannya sebelumnya, tetapi empat lainnya (termasuk "Puisi Para Saudara") merupakan hasil temuan baru.[79] TemaPenggalan-penggalan puisi Sapfo memiliki tema yang beranekaragam, seperti hasrat terhadap wanita, pemujaan, pernikahan, satir, keluarga, dan masa lansia. Bahkan terdapat pula penggalan yang seperti wiracarita.[80] Menurut Rayor dan Lardinois, hal yang menyatukan penggalan-penggalan ini adalah fokusnya terhadap aspek kehidupan wanita.[81] Tema puisi Sapfo yang paling dikenal adalah hasrat antar wanita. Penggalan puisi Sapfo yang berkaitan dengan tema ini dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu penggalan mengenai wanita yang sudah meninggalkan Sapfo (baik yang mencampakkannya maupun yang sudah bersepakat dengannya untuk mengakhiri hubungan, kemungkinan untuk menikah) serta penggalan tentang wanita yang diinginkan oleh Sapfo. Penggalan mengenai wanita yang sudah meninggalkan Sapfo menyebut nama wanitanya secara langsung (seperti "Anaktoria" atau "Megara"), sedangkan penggalan yang lainnya tidak menyebutkan nama wanitanya sama sekali.[82] Walaupun Sapfo dikenal sebagai simbol lesbian, terdapat juga penggalan puisi Sapfo yang membahas cinta antara wanita dan pria.[81] Rayor dan Lardinois berpendapat bahwa hal ini lumrah pada masa itu karena heteroseksualitas dan homoseksualitas tidak dianggap berlawanan. Di sisi lain, yang dibedakan adalah "cinta dalam pernikahan" antara pria dengan wanita dan "cinta berlandaskan gairah" yang juga bisa mencakup hubungan sesama maupun lawan jenis. Dalam penggalan puisi dan lagu pernikahannya, Sapfo menulis tentang kekuatan dewi cinta Afrodit dan bagaimana seorang pengantin muda masih berada di bawah bayang-bayang kekuatan sang dewi.[49] GayaSapfo tampak jelas mengikuti tradisi puisi yang sudah ada di Lesbos dengan diksi, metrum, dan kebiasaan yang khas. Beberapa pendahulunya yang terkenal adalah Arion and Terpandros.[83] Walaupun begitu, karya Sapfo masih terbilang inovatif; puisinya merupakan salah satu puisi pertama yang memakai unsur "aku" dalam sajaknya (atau dalam kata lain, menulis puisi dengan menggunakan sudut pandang orang tertentu), sementara pujangga-pujangga sebelumnya (seperti Homeros dan Hesiodos) lebih menggambarkan diri mereka sebagai "saluran ilham dewata".[84] Puisinya menjelajahi tema jati diri individu dan emosi pribadi seperti hasrat, kecemburuan, dan cinta.[85] Penggalan puisi Sapfo dikenal akan penggunaan bahasanya yang jelas, pemikirannya yang sederhana, gambaran-gambaran yang tajam, dan penggunaan kutipan langsung.[86] Permainan kata yang tak terduga merupakan ciri khas gayanya.[87] Contohnya adalah penggunaan kiasan "berjemari mawar" (dialek Aolik: βροδοδάκτυλος atau brododáktulos) dalam penggalan 96: "kini teserlah ia di antara wanita Lidia seumpama ketika senja bulan berjemari mawar mengungguli segala bintang".[88] Ini merupakan ragam penggunaan kata rhododáktulos (ῥοδοδᾰ́κτῠλος) dalam puisi Homeros yang mengacu kepada sinar matahari terbit yang tampak seperti "jari". Namun, Sapfo malah menggunakannya dalam konteks Bulan, dan permainan kata semacam ini dianggap tak terduga.[89] Puisi Sapfo juga sering mengandung hiperbol.[90] Contohnya dapat dilihat dalam penggalan 111: "Sang pengantin pria mendekat seperti Ares[...] Jauh lebih besar daripada seorang lelaki besar".[91] Leslie Kurke mengelompokkan Sapfo dengan para pujangga Yunani Arkais ke dalam tradisi ideologi "élite"[h] yang sangat menghargai kemewahan (habrosyne) dan darah biru. Para pujangga ini berupaya menegaskan bahwa diri mereka dekat dengan dunia para dewa dan pahlawan Yunani serta dengan wilayah Timur yang kaya, khususnya Lidia.[93] Dalam penggalan 2, Sapfo mendeskripsikan Afrodit yang "menuangkan ke dalam cangkir emas nektar yang bercampur secara mewah dengan kesukacitaan",[94] sementara dalam puisi Tithonus ia secara gamblang mengatakan "Saya cinta kemewahan [habrosyne]".[95][i] Menurut Page DuBois, isi puisi Sapfo dan bahasa yang digunakannya menimbulkan kesan keningratan di benak pikiran.[97] Ia juga menandingkan gaya Sapfo yang "berbunga-bunga,[...] dan muluk-muluk" dengan gaya "bersahaja, santun, dan terkendali" yang terejawantahkan dalam karya-karya para pujangga Zaman Klasik terkemudian semisal Sofokles, Demostenes, dan Pindaros.[97] Terdapat sejumlah kritikus dari zaman modern yang merasa bahwa puisi Sapfo menimbulkan kesan dan gambaran yang kuat di pikiran dan juga ditulis dengan terampil, tetapi isinya juga spontan dan merupakan pengungkapan perasaan yang naif. H. J. Rose berkomentar bahwa "Sappho menulis saat ia berbicara, dan ia tidak dipengaruhi oleh karya sastra manapun."[98] Ia juga menambahkan bahwa syair-syairnya menunjukkan "pesona kealamian yang mutlak."[98] Namun, ada pula kritikus yang menentang pandangan ini dan mengatakan bahwa puisi Sapfo menggunakan strategi-strategi dari retorika-retorika tradisional Yunani.[99] SeksualitasSaat ini, Sapfo dianggap oleh banyak orang sebagai simbol cinta sesama wanita;[16] istilah lesbian sendiri berasal dari pulau tempat kelahiran Sapfo, yaitu Lesbos.[100] Namun, sebelumnya ia tidak selalu dianggap sebagai seorang lesbian. Dalam komedi Athena klasik (dari Komedi Kuno abad kelima SM hingga Menandros pada akhir abad keempat dan awal abad ketiga SM), Sapfo digambarkan sebagai seorang heteroseksual yang suka berganti-ganti pasangan,[101] dan testimonia pertama yang secara gamblang membahas homoerotisisme Sapfo baru muncul pada zaman Helenistik. Salah satunya adalah penggalan biografi yang ditulis di atas papirus pada akhir abad ketiga atau awal abad kedua SM, yang menyatakan bahwa Sapfo dituduh "oleh beberapa" sebagai seorang "pecinta wanita".[24] Denys Page berkomentar bahwa penggunaan istilah "oleh beberapa" menyiratkan bahwa semua puisi Sapfo tidak memberikan bukti yang kuat bahwa ia pernah menggambarkan dirinya sedang berhubungan seks dengan seorang wanita.[102] Para penulis kuno ini tampaknya tidak benar-benar meyakini bahwa Sapfo berhubungan sesama jenis, dan pada abad kesepuluh, ensiklopedia Suda mencatat bahwa Sapfo "difitnah" berhubungan seks dengan "murid-murid wanita"nya.[103] Seksualitas Sapfo sendiri masih diperdebatkan di kalangan ahli modern; Lardinois menyebutnya "Pertanyaan Besar Sapfo".[104] Para penerjemah Sapfo pada mulanya mencoba "mengheteroseksualkan" puisi-puisinya.[105] Terjemahan puisi Ode untuk Afrodit oleh Ambrose Philips dari tahun 1711 membuat seolah objek dari hasrat Sapfo itu adalah seorang lelaki, dan penafsiran ini kemudian diikuti oleh para penerjemah puisi lainnya hingga abad ke-20.[106] Pada tahun 1781, Alessandro Verri menafsirkan penggalan 31 sebagai pernyataan cinta Sapfo kepada Faon.[107] Friedrich Gottlieb Welcker berpendapat bahwa perasaan yang dimiliki oleh Sapfo terhadap wanita-wanita lain "sepenuhnya idealistis dan tidak mengandung unsur berahi",[108] sementara Karl Otfried Müller menulis bahwa penggalan 31 hanya menggambarkan kasih sayang antar sahabat saja.[109] Pada tahun 1970, puisi yang sama dikatakan sebagai "bukti jelas lesbianisme [Sapfo]" oleh psikoanalis George Devereux.[110] Saat ini para ahli pada umumnya sepakat bahwa puisi Sapfo memang menggambarkan perasaan yang bersifat homoerotik;[111] seperti yang dikatakan oleh Sandra Boehringer, karyanya "dengan jelas memuji hasrat antar wanita".[112] Namun, menjelang akhir abad ke-20, beberapa ahli mulai menolak pertanyaan mengenai orientasi seksual Sapfo; Glenn Most menulis bahwa Sapfo sendiri "tidak akan tahu apa yang dimaksud orang ketika mereka menyebutnya sebagai seorang homoseksual",[109] sementara Lardinois menyatakan bahwa "tidak masuk akal" untuk bertanya apakah Sapfo adalah seorang lesbian,[113] dan Page duBois juga menganggap pertanyaan ini sebagai "debat yang sungguh membingungkan".[114] Peninggalan sejarahReputasi pada zaman kunoPuisi Sapfo amat dikagumi pada zaman kuno, dan beberapa sumber kuno menyebutnya sebagai "Dewi Musa Kesepuluh".[115] Puisi pertama yang diketahui memberikan sebutan tersebut adalah sebuah epigram dari abad ketiga SM karya Dioskorides.[116] Selain itu, terdapat pula sebuah puisi yang terabadikan dalam Antologi Yunani karya Antipatros dari Sidon[117] yang menyebutkan hal yang sama; puisi ini diklaim sebagai karya Plato, tetapi klaim ini tidaklah berdasar.[118] Sapfo kadang-kadang juga disebut "Sang Penyair Wanita" sebagaimana Homeros dijuluki "Sang Penyair".[119] Para ahli di Aleksandria menganggap Sapfo sebagai salah satu dari Sembilan Penyair Lira yang paling dihormati.[120] Aelianus meriwayatkan bahwa Solon (seorang negarawan dan penyair asal Athena) pernah meminta untuk diajarkan lagu karya Sapfo "agar aku dapat mengetahuinya sebelum aku mati". Kisah ini diragukan kebenarannya, khususnya karena Ammianus Marcellinus pernah menceritakan kisah yang sama mengenai Sokrates dan lagu karya Stesikoros, tetapi paling tidak hal ini menunjukkan betapa terpandangnya puisi Sapfo pada zaman kuno.[121] Puisi Sapfo juga telah memengaruhi penyair-penyair lainnya. Seorang penyair wanita dari zaman Helenistik yang bernama Nossis dikatakan oleh Marylin B. Skinner sebagai peniru Sapfo, sementara Kathryn Gutzwiller berpendapat bahwa Nossis secara terang-terangan menempatkan dirinya sebagai penerus Sapfo.[122] Di luar bidang puisi, Plato menyebut Sapfo dalam dialognya yang berjudul Faidros, dan isi pidato Sokrates yang kedua mengenai cinta dalam dialog tersebut menyerupai deskripsi Sapfo dalam penggalan 31 mengenai dampak fisik dari hasrat.[123] Pada abad pertama SM, Katulus menjadikan tema dan metrum puisi Sapfo sebagai bagian dari kesusasteraan lain. Ia menggunakan stanza Sapfo,[124] memberi nama "Lesbia" kepada kekasihnya dalam puisinya,[125] dan menyesuaikan dan menerjemahkan penggalan ke-31 Sapfo ke dalam puisi 51.[126][127] Penyair-penyair kuno lain juga menulis tentang kehidupan Sapfo. Ia adalah tokoh yang populer dalam komedi Athena Kuno,[101] dan terdapat paling tidak enam komedi yang berjudul Sapfo.[128][j] Komedi kuno pertama yang diketahui menjadikan Sapfo sebagai subjek utamanya adalah komedi Sapfo karya Ameipsias dari awal abad kelima atau akhir abad keempat SM, walaupun yang diketahui dari komedi ini hanya judulnya.[129] Sapfo juga sering menjadi subjek dalam seni visual, khususnya lukisan-lukisan di jambangan Attika dari abad keenam dan kelima SM.[124] Sapfo juga menjadi subjek pahatan karya Silanion.[130] Semenjak abad keempat SM, karya-karya kuno menggambarkan Sapfo sebagai seorang pahlawan wanita yang bernasib tragis dan bunuh diri akibat rasa cintanya kepada Faon yang tak terbalaskan.[103] Sebagai contoh, penggalan drama karya Menandros menyatakan bahwa Sapfo melompat dari tebing jurang di Lefkada demi rasa cintanya kepada Faon.[131] Heroides 15 karya Ovidius ditulis dalam bentuk surat dari Sapfo untuk cintanya, Faon, dan ketika karya ini pertama kali ditemukan pada abad ke-15, karya ini dikira sebagai terjemahan surat Sapfo yang sebenarnya.[132] Peristiwa "bunuh diri Sapfo" juga digambarkan dalam karya seni klasik, misalnya di sebuah basilika di dekat Porta Maggiore di Roma pada abad pertama SM.[131] Walaupun puisi Sapfo dikagumi pada zaman kuno, sifatnya tidak dianggap sebagai teladan. Pada zaman Romawi, para pengkritiknya merasa bahwa ia adalah orang yang penuh hawa nafsu atau bahkan penyuka sesama jenis.[133] Horatius menyebutnya "maskulin" dalam karyanya, Surat-surat, dan kemudian Porfirio berkomentar bahwa "bisa jadi sebab ia dikenal akan puisinya, yang lebih sering menjadi keahlian lelaki, atau sebab ia dikutuk karena ia adalah seorang tribad".[134] Pada abad ketiga M, perbedaan antara reputasi Sapfo sebagai penyair dengan reputasi moralnya sebagai seorang wanita telah menjadi begitu besar sehingga mulai muncul dugaan bahwa terdapat dua Sapfo. Dalam karyanya yang berjudul Varia Historia, Aelianus menulis bahwa terdapat "satu Sapfo yang lain, seorang pelacur, bukan seorang penyair wanita".[135][136] Tanggapan pada zaman modernPada Abad Pertengahan, karya-karya Sapfo sudah hilang ditelan zaman, walaupun sosoknya masih dikenal berkat keberadaan para penulis kuno seperti Ovidus. Karyanya baru dapat dinikmati lagi pada abad ke-16 dalam cetakan tulisan-tulisan yang mengutipnya. Pada tahun 1508, Aldus Manutius mencetak tulisan Dionisios dari Halikarnasos yang berisi puisi Sapfo 1, "Ode untuk Afrodit", sedangkan edisi cetak pertama Peri Hiposous yang berisikan kutipan Sapfo 31 pertama kali muncul pada tahun 1554. Pada tahun 1566, seorang pencetak asal Prancis yang bernama Robert Estienne memproduksi tulisan yang berisikan sekitar 40 penggalan yang dikaitkan dengan nama Sapfo.[137] Pada tahun 1652, terjemahan puisi Sapfo dalam bahasa Inggris pertama kali diterbitkan dalam terjemahan Peri Hiposous yang dibuat oleh John Hall. Pada tahun 1681, edisi puisi Sapfo dalam bahasa Prancis yang diterjemahkan oleh Anne Le Fèvre membuat karya Sapfo menjadi semakin dikenal.[138] Edisi puisi Sapfo yang disunting oleh Theodor Bergk tahun 1854 menjadi edisi standar Sapfo pada paruh kedua abad ke-19;[139] pada awal abad ke-20, setelah puisi-puisi baru Sapfo ditemukan dalam sejumlah papirus, puisi-puisi tersebut diterjemahkan oleh Edwin Marion Cox dan John Maxwell Edmonds, yang kemudian berujung pada penerbitan Poetarum Lesbiorum Fragmenta oleh Edgar Lobel dan Denys Page pada tahun 1955.[140] Sebagaimana para kritikus Zaman Kuno, para kritikus Zaman Modern juga cenderung menganggap puisi Sapfo "luar biasa".[142] Sapfo sudah dianggap sebagai penyair yang berbakat dari abad ke-9,[124] dan Sapfo memperoleh reputasi sebagai seorang wanita terpelajar berkat De Claris Mulieribus karya Boccaccio dan Le Livre de la Cité des Dames karya Christine de Pisan.[143] Stanza Sapfo masih digunakan dalam sajak lira abad pertengahan bahkan setelah karya Sapfo sudah hilang ditelan zaman,[124] dan setelah karyanya ditemukan kembali pada zaman Renaisans, ia semakin memengaruhi puisi-puisi di Eropa. Pada abad ke-16, anggota La Pléiade (kelompok penyair Prancis) dipengaruhi oleh Sapfo sampai-sampai mereka melakukan uji coba dengan stanza Sapfo dan juga menulis puisi cinta dengan sudut pandang pertama seorang wanita.[124] Semenjak zaman Romantik, karya Sapfo (khususnya "Ode untuk Afrodit") sangat memengaruhi pandangan mengenai sajak lira yang dianggap bagus.[144] Penyair-penyair ternama seperti Alfred Lord Tennyson pada abad ke-19 dan A. E. Housman pada abad ke-20 telah dipengaruhi oleh puisi Sapfo. Tennyson mendasarkan puisi-puisinya yang berjudul "Eleanore" dan "Fatima" dari penggalan 31 Sapfo,[145] sementara tiga karya Housman merupakan hasil adaptasi puisi Tengah Malam yang telah lama dikira sebagai karya Sapfo walaupun penulis sebenarnya masih diperdebatkan.[146] Pada permulaan abad ke-20, para penyair beraliran imagisme (khususnya Ezra Pound, H. D., dan Richard Aldington) dipengaruhi oleh penggalan-penggalan puisi Sapfo; beberapa puisi karya Pound dalam koleksi karyanya yang berjudul Lustra merupakan hasil adaptasi puisi Sapfo, sementara H. D. memiliki gaya, tema, atau isi yang seperti Sapfo.[147] Tidak lama setelah karya Sapfo ditemukan kembali, seksualitasnya kembali menjadi bahan pembahasan. Pada permulaan abad ke-17, John Donne menulis Sapho to Philaenis yang membahas gagasan bahwa Sapfo adalah seorang pecinta sesama jenis yang penuh berahi.[148] Perdebatan pada zaman modern mengenai seksualitas Sapfo dimulai pada abad ke-19. Pada tahun 1816, Welcker menerbitkan sebuah artikel yang membela Sapfo dari tuduhan prostitusi dan lesbianisme, dan ia beranggapan bahwa Sapfo adalah seseorang yang menjaga keperawanannya.[124] Pandangan ini kemudian akan digunakan oleh Wilamowitz pada akhir abad ke-19 dan Henry Thornton Wharton pada permulaan abad ke-20.[149] Walaupun sudah ada upaya untuk membela nama baiknya, pada abad ke-19, sosok Sapfo dijadikan oleh Gerakan Dekaden sebagai sosok "putri de Sade" yang berorientasi lesbian.[150] Pada akhir abad ke-19, para penulis lesbian (seperti Michael Field dan Amy Levy) mulai tertarik dengan Sapfo karena seksualitasnya,[151] dan pada pergantian abad ke-19 ke abad ke-20, ia menjadi semacam "santa pelindung untuk kaum lesbian".[152] Semenjak abad ke-19, Sapfo mulai dipandang sebagai tokoh panutan oleh para pejuang hak asasi wanita, dimulai dari The Picture of Sappho karya Caroline Norton.[124] Belakangan pada abad yang sama, ia juga menjadi teladan "Wanita Baru", yaitu wanita merdeka dan terdidik yang menginginkan kebebasan sosial dan seksual,[153] dan pada dasawarsa 1960-an, sosok Sapfo yang feminis telah menjadi salah satu dari persepsi budaya terhadap Sapfo yang paling banyak menyebar (selain persepsi bahwa Sapfo adalah seorang yang penuh berahi).[154] Catatan
Rujukan
Daftar pustaka
Bacaan lanjut
Pranala luar
|