Sapardi Djoko Damono
Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono (20 Maret 1940 – 19 Juli 2020) adalah seorang pujangga berkebangsaan Indonesia terkemuka. Ia kerap dipanggil dengan singkatan namanya, SDD. Ia adalah putra pertama pasangan Sadyoko dan Saparian. Sapardi dikenal melalui berbagai puisinya mengenai hal-hal sederhana namun penuh makna kehidupan, sehingga beberapa di antaranya sangat populer, baik di kalangan sastrawan maupun khalayak umum.[1] Dalam dunia kesastraan Indonesia, Sapardi kerap dipandang sebagai sastrawan angkatan 1970-an. Pendidikan dan karierPendidikanMasa mudanya dihabiskan di Surakarta dan jalur pendidikan dasar ditempuhnya di SD Inpres Nagaraherang. Pendidikan menengah ditempuh di SMP Negeri 2 Surakarta (lulus 1955) dan SMA Negeri 2 Surakarta (lulus 1958). Pada masa ini, Sapardi sudah menulis sejumlah karya yang dikirimkan ke majalah-majalah. Kesukaannya menulis ini berkembang saat ia menempuh kuliah di bidang Bahasa Inggris di Jurusan Sastra Barat, Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Setelah sempat menempuh studi di University of Hawaii, Honolulu, Sapardi menempuh program doktor di Fakultas Sastra UI dan lulus pada tahun 1989. KarierSelepas lulus kuliah (1964), Sapardi sempat menjadi pengajar pada Fakultas Keguruan Sastra dan Seni IKIP Malang di Madiun sampai 1968.[2] Pada 1973, setelah sempat bekerja di Semarang, ia pindah ke Jakarta untuk menjadi direktur pelaksana Yayasan Indonesia yang menerbitkan majalah sastra Horison. Sejak 1974, ia mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia. Sapardi ditunjuk sebagai Dekan Fakultas Sastra UI periode 1995-1999 setelah sebelumnya diangkat sebagai guru besar. Pada masa tersebut, Sapardi juga menjadi redaktur majalah Horison, Basis, Kalam, Pembinaan Bahasa Indonesia, Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, dan country editor majalah Tenggara di Kuala Lumpur. Selepas purnatugas sebagai dosen di UI pada tahun 2005, Sapardi masih mengajar di Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta sambil tetap menulis fiksi maupun nonfiksi. Ia adalah salah seorang pendiri Yayasan Lontar. Kehidupan pribadiSapardi menikah dengan Wardiningsih dan dikaruniai seorang putra dan seorang putri. Ia meninggal dunia pada 19 Juli 2020 di Rumah Sakit Eka BSD, Tangerang Selatan, setelah sempat dirawat karena penurunan fungsi organ tubuh.[3] Ia meninggal pukul 09.17. Sejak Sabtu sehari sebelumnya, ia mengalami pendarahan hebat. Hingga hari Minggu pada pukul 08.00 ia masih dapat berkomunikasi. Setelah intervensi pada paru-parunya guna mengeluarkan dahak, ia tak memberi respon hingga dinyatakan meninggal pada pukul 09:17 WIB.[4] Tempat peristirahatan terakhirnya adalah Taman Pemakaman Giritama, Tonjong, Tajurhalang, Kabupaten Bogor.[5] PenghargaanSapardi Djoko Damono banyak menerima penghargaan. Di antaranya adalah Cultural Award (Australia, 1978), Anugerah Puisi Putra (Malaysia, 1983), SEA Write Award (Thailand, 1986), Anugerah Seni Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1990), Kalyana Kretya dari Menristek RI (1996), Achmad Bakrie Award (Indonesia, 2003), Akademi Jakarta (Indonesia, 2012), Habibie Award (Indonesia, 2016), dan ASEAN Book Award (2018).[6] FilmografiFilm
Karya-karyaSajak-sajak Sapardi telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa daerah. Ia tidak saja aktif menulis puisi, tetapi juga cerita pendek. Selain itu, ia juga menerjemahkan berbagai karya penulis asing, menulis esai, serta menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola. Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya, seperti "Aku Ingin" (sering kali dituliskan bait pertamanya pada undangan perkawinan), "Hujan Bulan Juni", "Pada Suatu Hari Nanti", "Akulah si Telaga", dan "Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari". Popularitas puisi-puisi ini semakin meningkat setelah dilakukan musikalisasi puisi oleh mantan-mantan mahasiswanya di FIB UI, yaitu Ags Arya Dipayana, Umar Muslim, Tatyana Soebianto, Reda Gaudiamo, dan Ari Malibu. Dari hasil musikalisasi puisi tersebut, salah satu album yang terkenal adalah oleh Reda dan Tatyana (tergabung dalam duet "Dua Ibu"). Selain itu, Ananda Sukarlan juga melakukan interpretasi atas beberapa puisi karya Supardi pada 2007.[butuh rujukan] Berikut ini adalah karya-karya Supardi Djoko Damono (berupa kumpulan puisi) serta beberapa esai. Sastra
Musikalisasi puisiMusikalisasi puisi karya Sapardi dimulai pada tahun 1987 ketika beberapa mahasiswanya membantu program Pusat Bahasa, membuat musikalisasi puisi karya beberapa penyair Indonesia. Kegiatan tersebut sebagai upaya mengapresiasikan sastra kepada siswa SLTA. Saat itulah tercipta musikalisasi "Aku Ingin" oleh Ags Arya Dipayana dan "Hujan Bulan Juni" oleh Umar Muslim. Kelak, "Aku Ingin" diaransemen ulang oleh Dwiki Dharmawan dan menjadi bagian dari soundtrack Cinta dalam Sepotong Roti (1991), yang dibawakan oleh Ratna Octaviani. Beberapa tahun kemudian, lahirlah album Hujan Bulan Juni (1990) yang seluruhnya merupakan musikalisasi dari sajak-sajak Sapardi Djoko Damono. Duet Reda Gaudiamo dan Ari Malibu adalah bagian dari sejumlah penyanyi, yang merupakan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Album Hujan dalam Komposisi menyusul dirilis pada tahun 1996 dari komunitas yang sama. Karena banyaknya permintaan, album Gadis Kecil (2006) diprakarsai oleh duet Dua Ibu, yang terdiri atas Reda Gaudiamo dan Tatyana dirilis, lalu dilanjutkan oleh album Becoming Dew (2007) dari duet Reda dan Ari Malibu. Ananda Sukarlan pada Tahun Baru 2008 juga mengadakan konser kantata Ars Amatoria yang berisi interpretasinya atas puisi-puisi SDD serta karya beberapa penyair lain.[7][8] Nonsastra
Lihat pulaReferensi
Pranala luar
|