Sair Tjerita Siti Akbari
Sair Tjerita Siti Akbari (EYD: Syair Cerita Siti Akbari; juga dikenal hanya sebagai Siti Akbari) adalah syair berbahasa Melayu karangan Lie Kim Hok yang diterbitkan pada tahun 1884. Diadaptasi dari Sjair Abdoel Moeloek, syair ini bercerita tentang seorang wanita yang menyamar sebagai lelaki untuk membebaskan suaminya dari Sultan Hindustan yang menangkapnya saat menyerang kerajaan mereka. Ditulis selama beberapa tahun dan dipengaruhi oleh sastra Eropa, Siti Akbari berbeda dari syair-syair sebelumnya dalam penggunaan penegangan dan penekanan pada prosa ketimbang bentuk puitis. Syair ini juga menggunakan realisme sastra Eropa untuk memperluas aliran syair, meskipun mempertahankan beberapa keunggulan dari syair-syair tradisional. Pendapat-pendapat kritis telah menggarisbawahi berbagai aspek cerita syair ini: dalam karya ini ditemukan sebuah empati yang berkembang bagi pemiikiran dan perasaan wanita, panggilan untuk adanya bahasa pemersatu di Hindia Belanda (sekarang Indonesia), dan polemik mengenai hubungan antara tradisi dan modernitas. Siti Akbari meraup sukses baik secara komersial maupun secara kritis sehingga mengalami dua kali cetak ulang. Sebuah adaptasi film juga digarap pada tahun 1940. Ketika pengaruh Sjair Abdoel Moeloek menjadi jelas pada tahun 1920, Lie kemudian dikritik sebagai penulis yang tidak orisinal. Namun, Siti Akbari tetap menjadi syair karangan penulis Tionghoa yang paling terkenal. Lie kemudian dikenang sebagai "bapak sastra Melayu Tionghoa".[1] AlurSultan Hindustan Bahar Oedin menjadi marah setelah pamannya, Safi, seorang pedagang, meninggal saat dipenjarakan di Barbari. Karena Abdul Aidid, Sultan Barbari, memiliki kekuatan militer yang lebih besar, Bahar Oedin menunggu sambil berencana membalas dendam. Sementara itu, putra Abdul Aidid, Abdul Moelan, menikahi sepupunya, Siti Bida Undara. Dua tahun kemudian, setelah Abdul Aidid meninggal, Abdul Moelan pergi dalam sebuah perjalanan laut yang panjang dan meninggalkan istrinya di rumah. Setelah tiba di kerajaan Ban, Abdul Moelan bertemu dan jatuh cinta dengan Siti Akbari, putri Sultan Ban. Keduanya segera menikah, dan setelah enam bulan di Ban, mereka kembali ke Barbari. Siti Bida Undara, yang pada awalnya marah karena harus berbagi suami, segera menjadi teman dekat dengan Siti Akbari. Tak lama kemudian Bahar Oedin mengambil langkah balas dendamnya, menangkap Abdul Moelan dan Siti Bida Undara. Ketika sultan mencoba untuk menangkap Siti Akbari, ia menemukan mayat di kamarnya dan percaya bahwa itu adalah incarannya. Bahar Oedin kemudian membawa tawanannya kembali ke Hindustan dan memenjarakan mereka. Tanpa diketahuinya, Siti Akbari yang sedang hamil telah memalsukan kematiannya dan melarikan diri. Setelah beberapa bulan dia menemukan perlindungan di bawah Syaikh (Syekh) Khidmatullah, yang melatihnya ilmu silat agar ia bisa membebaskan suaminya. Setelah meninggalkan anaknya dalam perawatan Khidmatullah, Siti Akbari memulai perjalanannya. Ketika sekelompok tujuh pria berusaha untuk memerkosanya, Siti Akbari membunuh mereka, lalu mengambil pakaian mereka dan memotong rambutnya. Setelah itu ia menyamar sebagai seorang pria dan mengambil nama Bahara. Setibanya di Barbam, ia menghentikan perang antara dua pengingin takhta kekuasaan daerah tersebut. Ia membunuh si perampas, kemudian mengambil kepalanya untuk pewaris sah tahta, Hamid Lauda. Sebagai tanda terima kasih, Hamid Lauda menghadiahkan "Bahara" dengan kekuasaan untuk memerintah Barbam dan mengizinkannya untuk menikahi adiknya, Siti Abian. Siti Akbari, sebagai "Bahara", meninggalkan Barbam untuk pergi ke Hindustan dan menyelamatkan suaminya. Dengan bantuan dari dua penasihat yang telah diusir Sultan, ia mampu mengintai situasi daerah. Dia akhirnya mengambil alih Hindustan dengan pasukannya, menaklukkan kesultanan tersebut sendirian, membunuh Bahar Oedin, dan membebaskan Abdul Moelan dan Siti Bida Undara. Sementara masih dalam penyamaran, Siti Akbari menyangkal Siti Abian dan memberikan Abdul Moelan padanya sebelum mengungkapkan identitas aslinya. Kerajaan yang berbeda tersebut kemudian dibagi di antara protagonis laki-laki, sementara Siti Akbari kembali ke perannya sebagai seorang istri.[a] Latar belakang dan penulisanSiti Akbari ditulis oleh Lie Kim Hok, seorang peranakan Tionghoa kelahiran Bogor yang dididik oleh misionaris Belanda. Para misionaris memperkenalkannya pada sastra Eropa,[2] termasuk karya-karya penulis Belanda seperti Anna Louisa Geertruida Bosboom-Toussaint dan Jacob van Lennep,[3] serta karya penulis Prancis seperti Jules Verne, Alexandre Dumas, dan Pierre Alexis Ponson du Terrail.[4] Dalam tesis doktoratnya, J. Francisco B. Benitez menunjukkan bahwa Lie mungkin juga dipengaruhi oleh tradisi lisan Melayu dan Jawa, seperti rombongan teater-keliling bangsawan Melayu atau kesenian wayang Jawa.[5] Bukti yang ditemukan setelah kematian Lie pada tahun 1912[6] berkesan bahwa Siti Akbari sangat dipengaruhi oleh Sjair Abdoel Moeloek (1847), yang dikarang oleh Raja Ali Haji atau saudara perempuannya Saleha.[b] Kisah ini ditransliterasi oleh Arnold Snackey, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda.[7] Versi yang menjadi sumber inspirasi Lie tidak disetujui oleh para peneliti. Dokumentarian Christiaan Hooykaas, dalam sebuah surat kepada kritikus sastra Nio Joe Lan, berpendapat bahwa inspirasi Lie datang dari versi Sjair Abdoel Moeloek yang disimpan di Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen di Batavia.[8] Sementara itu, penulis biografi Tio Ie Soei berpendapat bahwa versi yang menginspirasi Lie diterjemahkan pada tahun 1873 oleh guru Lie, Sierk Coolsma. Menurut Tio, Coolsma telah mendasarkan terjemahannya dari sebuah pertunjukan teater panggung dan menulisnya dengan buru-buru, sehingga hampir tak terbaca. Karena ia memiliki tulisan tangan yang lebih baik, Lie konon menyalin cerita tersebut untuk Coolsma dan menyimpan aslinya dalam koleksi pribadinya.[7] Sejarawan sastra Monique Zaini-Lajoubert menulis bahwa tidak satupun dari versi perantara tersebut telah ditemukan.[9] Penulisan Siti Akbari diselesaikan dalam periode beberapa tahun. Lie menyatakan bahwa cerita itu memakan waktu tiga tahun, dengan penulisan secara sporadis. Namun, Tio melaporkan rumor bahwa penulisan karya ini memakan waktu sekitar tujuh tahun, dengan Lie kadang-kadang mengambil istirahat panjang dan kadang-kadang menulis dalam semangat, menulis dari fajar sampai senja.[10] Gaya penulisanKritikus sastra G. Koster menulis bahwa saat menulis Siti Akbari, Lie Kim Hok dibatasi oleh formulasi Cerita Pandji dan puisi syair yang umum dalam sastra Melayu pada saat itu. Koster mencatat kesamaan struktural mendasar antara Siti Akbari dan bentuk-bentuk puisi yang ada.[11] Karya ini mengikuti arketip dari seorang tokoh atau pahlawan yang pergi dari kerajaan yang menaati hukum, menuju ke pengasingan, kemudian ke dalam kerajaan yang kacau; ini, menurut pendapat Koster, merupakan simbol dari siklus hukum lisan.[11] Arketip dan formula semacam ini digunakan dalam karya-karya kontemporer seperti Syair Siti Zubaidah Perang Cina.[12] Perangkat alur di mana seorang wanita menyamarkan dirinya sebagai seorang pria untuk terjun ke dalam perang adalah juga umum dalam sastra Melayu dan sastra Jawa.[13] Lie menyimpang jauh dari tradisi yang mapan,[14] mencampurkan pengaruh sastra Eropa dan pribumi.[15] Cerita ini terdiri dari 1.594 kuatrain sajak tunggal yang dibagi menjadi dua bait, dengan masing-masing bait terdiri dari dua baris, dan tiap baris terdiri dari dua setengah-garis yang dipisahkan oleh penggalan.[16] Sebagian besar baris ini adalah unit sintaksis lengkap, baik klausa atau kalimat.[17] Koster mencatat bahwa bentuk ini lebih bebas daripada dalam karya-karya yang tradisional, dan sebagai hasilnya syair ini menjadi semacam puisi prosa.[18] Seorang narator yang tidak disebutkan namanya menceritakan kisah dari sudut pandang orang ketiga yang mahatahu;[19] tidak seperti karya kontemporer kebanyakan, narator "mengasumsikan otoritas pada dirinya sendiri" dengan menempatkan dirinya dan ide-idenya ke depan, alih-alih bertindak sebagai pihak yang tidak terlibat.[20] Siti Akbari berbeda dari karya-karya kontemporer dengan memunculkan perasaan ketegangan. Koster memberikan identitas pedagang Hindustani sebagai contoh: identitas pria itu sebagai paman Sultan tidak diungkap sampai setelah saat yang nyaman dalam cerita. Koster menjelaskan periode di mana pembaca percaya Siti Akbari sudah mati, yang mencakup beberapa halaman, sebagai ciri di luar tradisi yang paling luar biasa dari karya ini. Dia mencatat bahwa, berbeda dari kebanyakan karya-karya kontemporer, syair ini dimulai dengan kutipan,[21] alih-alih sebuah doa kepada Allah yang umum di kala syair Melayu kala itu.[22] Kutipan ini akhirnya ditunjukkan sebagai ramalan yang terpenuhi:
Koster melihat kesan-kesan realisme dalam karya ini, terutama realisme idealis yang dipegang kuat pada saat itu di Belanda.[14] Dia mencatat bahwa motif dan kausalitas lebih ditekankan dalam narasi cerita ini dibandingkan sebagian besar karya-karya kontemporer saat itu. Dia mengamati bahwa ini juga tercermin dalam penokohan cerita ini. Tokoh - meskipun dari kaum bangsawan dan orang suci - diberikan ciri-ciri orang yang bisa ditemukan di kehidupan nyata Batavia (sekarang Jakarta). Penggunaan tanda baca, hal lain yang jarang ditemukan dalam literatur lokal kala itu, mungkin juga telah berguna untuk memberikan kesan bacaan yang lebih realistis[23] dan mencerminkan asal karya ini sebagai naskah tertulis, dan bukan dari sastra lisan.[18] Tio Ie Soei menggambarkan ritme karya ini sebagai lebih mirip sebuah pidato daripada sebuah lagu.[17] TemaBenitez menulis bahwa pasar dalam Siti Akbari "menyediakan kemungkinan untuk pertukaran dan koneksi" antara orang-orang dari semua budaya dan latar belakang: pasar menghubungkan mereka. Dia menjelaskan bahwa ini merupakan representasi dari heteroglossia yang ditawarkan oleh bahasa Melayu pasar, yang berasal dari pasar.[24] Karena Lie juga menulis buku tentang tata bahasa Melayu pasar, Benitez berpendapat bahwa Lie mungkin berharap supaya dialek ini menjadi lingua franca di Hindia Belanda.[25] Benitez menganggap puisi ini menyoroti ketegangan antara "subjektivitas monadik dan otonom" budaya Eropa dan "subjektivitas sosial" adat, dengan tokoh Siti Akbari sebagai "sebuah tempat ketidakstabilan yang membuat nyata baik kemungkinan transformasi sosial, serta kecemasan atas kemungkinan reproduksi sosial yang kacau ".[26] Sebagai individu, Siti Akbari mampu melawan musuh-musuhnya dan merebut kembali suaminya. Namun pada akhirnya, dia memilih untuk kembali ke hubungan poligaminya dengan Abdul Moelan, sebuah penegasan bahwa tradisi ada di atas modernisme.[24] Dalam oposisi terhadap Siti Akbari, pedagang Safi Oedin menolak untuk hidup sesuai dengan adat istiadat setempat, sementara ia berada dalam tanah asing dan akhirnya mati. Benitez menulis bahwa ini "dapat dibaca sebagai peringatan bagi mereka yang menolak untuk hidup sesuai dengan adat setempat."[27] Koster mencatat bahwa - seperti syair pada umumnya - Siti Akbari bekerja untuk meningkatkan kesadaran atas adat dan sistem nilai tradisional.[11] Zaini-Lajoubert berpendapat bahwa cerita ini mempromosikan perlakuan terhadap kaum perempuan sebagai orang dengan perasaan dan opini, yang bertentangan dengan pandangan patriarkial yang umum saat buku ini diterbitkan, bahwa perempuan adalah benda yang tidak berperasaan. Dia menemukan bahwa tokoh-tokoh wanita dalam cerita ini merasakan kesedihan dan kegembiraan; ia mengutip satu bagian di mana Siti Akbari mengaku bahwa dia merasa sudah menunggu "belasan tahon" untuk Abdul Moelan. Zaini-Lajoubert mencatat bahwa tokoh-tokoh perempuan tidak semuanya berpendapat yang sama: meskipun Siti Akbari bersedia untuk menjalani suatu hubungan poligami, Siti Bida Undara harus dibujuk. Namun pada akhirnya, dia menemukan bahwa Siti Akbari menyampaikan pesan bahwa perempuan harus setia kepada suami mereka.[28] Penerimaan dan warisanSiti Akbari pertama kali diterbitkan dalam empat jilid pada tahun 1884. Karya ini terbukti menjadi karya Lie yang paling populer,[29] dan yang paling banyak dicetak ulang dari semua karyanya yang diterbitkan.[10] Cetakan ulang pertamanya adalah pada tahun 1913 oleh Hoa Siang Di Kiok, dan yang kedua adalah pada tahun 1922 oleh Kho Tjeng Bie. Kedua cetakan baru tersebut terdiri dari hanya satu jilid,[30] dan menurut Tio, mengandung banyak ketidakakuratan.[31] Cerita ini diterima dengan baik oleh pembacanya, dan meskipun kala itu Lie bukan satu-satunya etnis Tionghoa yang menulis dalam bentuk puisi syair tradisional Melayu, ia menjadi salah satu yang lebih ulung.[32] Lie menganggap karya ini sebagai salah satu karyanya yang terbaik.[7] Pada tahun 1923, Kwee Tek Hoay - juga seorang penulis ulung - menulis bahwa ia telah terpesona oleh cerita ini saat ia seorang anak, sampai "separoh dari isinya [ia] sudah fahamken di luwar kapala".[10] Kwee menganggap karya ini "banyak berisi ujar pepatah dan nasihat yang begitoe bagus", yang tidak tersedia di tempat lain.[10] Nio Joe Lan menggambarkannya sebagai "ratna manikam dalam persajakan Melayu-Tionghoa", dengan kualitas jauh lebih tinggi daripada puisi Melayu yang ditulis Tionghoa lainnya - baik kontemporer maupun yang sesudahnya.[33] Cerita ini diadaptasi menjadi drama panggung segera setelah dipublikasi, ketika itu ditampilkan oleh kelompok bernama Siti Akbari di bawah pimpinan Lie.[34] Lie juga membuat versi yang disederhanakan untuk rombongan aktor remaja yang ia pimpin di Bogor.[35] Pada tahun 1922, cabang Sukabumi dari Shiong Tih Hui menerbitkan adaptasi panggung lain dengan judul Pembalesan Siti Akbari; sebelum tahun 1926 drama ini sudah ditampilkan oleh Miss Riboet, sebuah rombongan teater yang dipimpin oleh Tio Tik Djien.[c] [36] Cerita ini tetap populer sampai akhir 1930-an, dan mungkin juga menginspirasi film Siti Akbari dari Joshua dan Othniel Wong, yang dibintangi Roekiah dan Rd. Mochtar. Tingkat pengaruh karya ini tidak pasti, dan film ini mungkin telah hilang.[37] Lie terus bereksperimen dengan prosa bergaya Eropa. Pada tahun 1886 ia menerbitkan Tjhit Liap Seng ("Tujuh Bintang"), yang oleh Claudine Salmon dari École des hautes études en sciences sociales Prancis dianggap sebagai novel Melayu-Tionghoa pertama.[38] Lie kemudian menerbitkan empat novel lain, serta beberapa karya terjemahan.[39] Ketika penulis etnis Tionghoa menjadi umum di Hindia Belanda awal 1900-an, para pakar sastra menamakan Lie sebagai "bapak sastra Melayu-Tionghoa" karena kontribusinya, termasuk Siti Akbari dan Tjhit Liap Seng.[1] Setelah munculnya gerakan nasionalis dan upaya pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk menggunakan Balai Pustaka dalam mempublikasikan karya sastra untuk konsumsi kaum pribumi, karya ini mulai terpinggirkan. Pemerintah kolonial Belanda menggunakan bahasa Melayu "tinggi" sebagai "bahasa administrasi", bahasa untuk urusan sehari-hari, sedangkan kaum nasionalis Indonesia menyesuaikan bahasa tersebut untuk sebagai alat bantuan dalam pembangunan budaya nasional. Sastra Melayu-Tionghoa yang ditulis dalam bahasa Melayu "rendah" menjadi kian terpinggirkan. Benitez menulis bahwa, sebagai akibatnya, hanya ada sedikit analisis ilmiah modern dari Siti Akbari.[40] Meskipun demikian, ahli kebudayaan Tionghoa Leo Suryadinata menulis pada tahun 1993 bahwa Siti Akbari tetap merupakan salah satu syair paling terkenal yang ditulis oleh etnis Tionghoa di Hindia Belanda.[41] KritikMeskipun Sjair Abdoel Moeloek dan Siti Akbari sering ditampilkan di atas panggung, kesamaan di antara keduanya tidak ditemukan selama puluhan tahun.[7] Zaini-Lajoubert menulis bahwa Tio Ie Soei menemukan kesamaan ini saat bekerja sebagai wartawan surat kabar Melayu-Tionghoa Lay Po pada tahun 1923. Kwee Tek Hoay mengikuti artikel ini dengan diskusi lain dari asal usul karya tersebut pada tahun 1925.[9] Penulis-penulis yang selanjutnya mengkritik karya-karya lain Lie sebagai adaptasi terang-terangan.[42] Tan Soey Bing dan Tan Oen Tjeng, misalnya, menulis bahwa tak satu pun dari karya-karyanya yang orisinal. Tio Ie Soei, dalam tanggapannya, menyatakan bahwa Lie telah mengubah cerita-cerita yang telah diadaptasi olehnya, dan dengan demikian menunjukkan orisinalitas.[43] Dalam mengeksplorasi kesamaan antara Sjair Abdoel Moeloek dan Siti Akbari, Zaini-Lajoubert mencatat bahwa nama-nama kerajaan dalam Siti Akbari, kecuali Barham ("Barbam" dalam Siti Akbari), diambil langsung dari karya yang terbit sebelumnya tersebut. Nama-nama tokoh seperti Abdul Muluk ("Abdul Moelan" dalam Siti Akbari) dan Siti Rapiah ("Siti Akbari"), hanya diganti, meskipun beberapa tokoh minor hadir dalam satu cerita dan bukan yang lainnya.[44] Elemen plot utama dalam kedua cerita tersebut adalah sama; beberapa unsur, seperti kelahiran dan masa kecil Abdul Muluk dan petualangan putra Siti Rapiah selanjutnya, hadir dalam satu cerita dan bukan yang lainnya - atau dibeberkan lebih detail.[45] Namun keduanya sangat berbeda dalam gaya mereka, terutama penekanan Lie pada deskripsi dan realisme.[46] Catatan kaki
Referensi
Daftar pustaka
|