Sahiron SyamsuddinSahiron Syamsuddin dilahirkan pada 11 Agustus 1968 di Cirebon. Sejak kecil, ia telah akrab dengan pemahaman agama. Ia dikenal sebagai santri yang taat serta berprestasi. Didikan kesantriannya ia peroleh di Pondok Pesantren Raudhatul Al-Thalibin, Babakan Ciwaringin Cirebon, yang ditempuhnya dari Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah di tempat yang sama (1981-1987).[1] Setelah itu, Sahiron melanjutkan pendidikannya di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan berfokus pada jurusan Tafsir Hadis (1987-1993). Sahiron Syamsuddin melanjutkan pendidikannya di McGill Univeristy, Kanada, dengan berfokus pada Kajian Islam. Pengalaman dan pemahaman keagamaan yang panjang tersebut menjadikannya tidak takut belajar di dunia barat, yang cenderung dihindari oleh sebagian umat Islam di Indonesia. Di sana, Sahiron mendalami kajian Islam, Orientalisme, Filsafat Arab dan Sastra Arab di Bamberg University hingga berhasil mendapat gelar doktornya pada tahun 2006. Setelah kembali ke Indonesia, Sahiron Syamsuddin tidak menjadi manusia yang ‘Baratisme’ apalagi anti terhadap Islam Indonesia. Bahkan sekembalinya dari barat, Sahiron Syamsuddin kemudian mendirikan pondok pesantren Baitul Hikmah. Dalam hal ini, Sahiron Syamsuddin membuktikan bahwa belajar di dunia barat bukan melemahkan Iman pada agama, tetapi memperkuat keimanan tersebut melalui keilmuan yang mendalam. Hingga saat ini, selain sebagai pimpinan Pondok Pesantren Baitul Hikmah, banyak jabatan penting yang ditempati oleh Sahiron, di antaranya wakil rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, ketua Asosiasi Ilmu Al-Quran dan Tafsir (AIAT) se-Indonesia, pernah menjadi Steering Committee di Netherlands-Indonesian Consortium. Karya-karyaBeberapa karyanya yang terkait hermeneutika dan ulumul Qur’an adalah adalah Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an (cet.1: 2009, cet. 2: 2017), Upaya integrasi hermeneutika dalam kajian Al-Qur’an dan hadis: teori dan aplikasi (2011), Integrasi Hermeneutika Hans Georg Gadamer ke dalam Ilmu Tafsir? Sebuah Proyek Pengembangan Metode Pembacaan Al-Qur’an pada Masa Kontemporer (2006), Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis (2010), dan lainnya. Teori Ma'na-cum-MaghzaSebagai Guru Besar bidang Studi Hermeneutika Al-Qur'an, keahlian Sahiron Syamsuddin dalam hermeneutika dan ulumul Qur’an terbukti dari keberhasilannya menghubungkan kedua kajian yang sebelumnya dinilai bertentangan. Salah satu ulama yang menjadi pegangannya dalam hal ini adalah Muhammad Quraish Shihab, seorang ahli tafsir kontemporer Indonesia, yang menilai bahwa sebagian metode dan teori hermeneutika dapat digunakan dalam memahami pesan-pesan Al-Qur’an (Sahiron Syamsuddin, 2017: 1). Dari sini, ia mengambil sebagian teori dan metode hermenetuika yang dinilai cocok dan dapat diterapkan untuk pengembangan ulumul Qur’an, terutama dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Dari sini, Sahiron menawarkan pendekatan memahami Al-Qur’an era kontemporer, yang ia sebut sebagai pendekatan Ma’na-cum-Maghza. Istilah Ma’na-cum-Maghza sendiri merupakan gabungan bahasa Arab, yakni pada Ma’na dan Maghza, dan bahasa latin, yakni cum. Ini bukti bahwa Sahiron Syamsuddin berupaya mengharmonisasikan hubungan kajian Islam dan Barat. Mengenai pendekatan Ma’na-cum-Maghza, Sahiron Syamsuddin memaparkan secara komprehensif dalam bukunya, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an (cet.1: 2009, cet. 2: 2017). Pendekatan Ma’na-cum-Maghza dihadirkan oleh Sahiron Syamsuddin sebagai tawaran untuk menemukan pesan utama Al-Qur’an di ruang dan waktu yang berbeda saat Al-Qur’an disampaikan, termasuk era kontemporer di Indonesia. Upayanya ini terlihat sebagai lanjutan dari upaya para sarjana Al-Qur’an modern lainnya seperti Fazlur Rahman pada teori Double Movement-nya, Abdullah Saeed pada teori Kontekstualisasinya, dan lainnya. Sama seperti Fazlur Rahman dan Abdullah Saeed, kajian Sahiron Syamsuddin berfokus pada pencarian pesan utama pada ayat Al-Qur’an ketika disampaikan pada era pewahyuan, kemudian dipahami dalam konteks kekinian. Pada pendekatan Ma’na-cum-Maghza, Sahiron Syamsuddin memulai upayanya dengan membagi tipologi penafsiran era kontemporer menjadi tiga aliran: pertama aliran quasi-obyektivis-tradisionalis yang cenderung memahami Al-Qur’an secara literal (Syamsuddin 2017: 54-55), kedua aliran subyektivis yang cenderung memahami Al-Qur’an sekehendak penafsirnya (Syamsuddin 2017: 56), ketiga aliran quasi-obyektivis-progresif yang berupaya menangkap makna historis dan makna utama (signifikansi) Al-Qur’an (Syamsuddin 2017: 58). Dari ketiga aliran tersebut di atas, ia sepakat dengan aliran quasi-obyektivis-progresif dengan catatan bahwa signifikansi terbagi menjadi dua, yakni ‘signifikansi fenomenal’ dan ‘signifikansi ideal’, dari sinilah Sahiron Syamsuddin menekankan adanya perhatian pada makna dan signifikan secara bersamaan, yang kemudian melahirkan pendekatan Ma’na-cum-Maghza (Syamsuddin 2017: 140-141). Dengan kata lain, Ma’na merupakan pemahaman Al-Qur’an pada era pewahyuan, sementara Maghza merupakan pemahaman ideal atau petunjuk utama Al-Qur’an yang dapat diterapkan pada tempat dan konteks manapun. Sehingga, melalui pendekatan Ma’na-cum-Maghza, Al-Qur’an selalu shalih li kulli zaman wa makan (cocok pada setiap waktu dan tempat). Sampai di sini, perjalanan intelektual Sahiron Syamsuddin yang dijelaskan sekilas di atas memberi pelajaran penting bahwa tradisi keilmuan Islam di Indonesia masih dan harus terus berjalan. Sahiron menjadi bapak atas tradisi keilmuan Al-Qur’an di Indonesia yang menjadi teladan penting bagi pengkaji dan sarjana Al-Qur’an Indonesia dalam mengintegrasikan kajian barat berupa hermeneutika dengan kajian ulumul Qur’an yang menjadi warisan intelektual para ulama Al-Qur’an klasik.
|