Sabet

Sabet adalah semua bentuk ekspresi dalang lewat gerak wayang dalam pertunjukan wayang sesuai dengan karakter tokoh dan suasananya.[1] Sabet merujuk pada semua olah gerak wayang yang dimainkan oleh dalang.[1] Karakter dan suasana seorang tokoh wayang dapat dikenali dari gerak-gerik wayang di kelir.[2] Sabet merupakan unsur pementasan wayang yang menyentuh aspek visual, khususnya bagi penonton.[3] Kelincahan seorang dalang memainkan gerak wayang menjadi aspek penting dalam konsep sabet.[4] Bagian tubuh wayang yang bisa digerakkan oleh dalang adalah tangan.[5] Dalam menggerakkan wayang, dalang akan menggoyangkan tubuh wayang disertai gerakan tangan wayang.[5]

Tangan menjadi bagian tubuh wayang yang digerakkan oleh dalang

Unsur-unsur Tekhnik Sabet

Unsur-unsur tekhnik sabet terdiri dari 4 jenis, yaitu cepengan, tancepan, solah, bedholan dan entas-entasan.[1]

Cepengan

Cepengan berasal dari bahasa Jawa krama cepeng, cekel dalam bahasa ngoko, yang artinya adalah memegang.[1] Tekhnik cepengan adalah tekhnik yang berkaitan dengan cara memegang wayang.[1] Cepengan dibedakan menjadi dua, yaitu berdasarkan ukuran wayang dan suasana adegan.[1] Berdasarkan ukuran wayang cepengan tergantung dari besar kecil tokoh wayang yang dimainkan.[1] Semakin besar dan berat tokoh wayang maka cepengan harus semakin ke atas mendekati badan wayang.[1] Sementara berdasarkan suasana adegan, cepengan menyesuaikan suasana adegan yang sedang berlangsung.[1] Misalnya ada tekhnik cepengan untuk adegan perang, menari, berjalan dan juga terbang.[1]

Cepengan berfungsi untuk memberikan patokan kepada dalang bagaimana memegang tokoh wayang.[1] Cepengan juga berfungsi untuk memberi pijakan bagi dalang untuk menggerakan wayang sesuai dengan karakter dan tokoh wayang.[1] Cepengan memberikan penekanan dan kesan hidup pada setiap gerakan wayang.[1]

Tancepan

Tancepan berasal dari bahasa Jawa tancep yang artinya tancap.[1] Tancepan merupakan tekhnik menancapkan wayang pada gedebog (batang pisang) yang menjadi panggung wayang.[1] Kaidah-kaidah tancepan disebut udanegara.[1] Seorang dalang tidak bisa hanya asal dalam menancapkan wayang.[1] Posisi menancapkan wayang disesuaikan dengan kedudukan dan status tokoh wayang.[1] Seorang raja akan ditancapkan di sebelah kanan agak ke atas.[1] Sementara patih akan berada di sisi kiri agak ke bawah.[1] Selain menunjukkan kedudukan, tancepan berfungsi untuk menggambarkan keadaan batin seorang tokoh wayang.[1]

Solah

Solah merupakan kata kerja dalam bahasa Jawa yang artinya bergerak.[1] Tekhnik solah adalah tekhnik menggerakkan wayang sesuai dengan adegan yang dimainkan.[1] Terdapat tiga aspek dalam solah, yaitu nges, trampil, dan semu.[1] Nges adalah kemampuan dalang membuat gerakan wayang sungguh-sungguh tampak hidup.[1] Trampil adalah kelincahan dan ketepatan dalang dalam menggerakkan wayang.[1] Sementara semu merupakan keluwesan dalam memegang wayang sehingga gerakan mengalir dan tidak dibuat-buat.[1]

Bedholan

Bedholan berasal dari kata dalam bahasa Jawa bedhol yang artinya cabut.[1] Bedholan adalah tekhnik mencabut wayang dari gedebog yang disesuaikan dengan udanegara.[1] Misalnya, tokoh raja akan dicabut terlebih dahulu daripada tokoh-tokoh yang mempunyai kedudukan di bawahnya.[1]

Entas-entasan

Entas dalam bahasa Jawa artinya keluar dari.[1] Tekhnik entas-entasan merupakan tekhnik bagaimana mengeluarkan seorang tokoh wayang dari panggung.[1] Entas-entasan disesuaikan dengan situasi adegan yang sedang berlangsung.[1] Misalnya, tergesa-gesa, normal, sedih atau situasi yang lain.[1] Selain itu juga terdapat tekhnik untuk mengeluarkan tokoh wayang ketika dia mati.[1]

Rujukan

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai Bambang Murtiyoso, dkk (2007). Teori Pedalangan. Surakarta: ISI Surakarta. hlm. 29-37. ISBN 979-8217-60-8. 
  2. ^ Soetarno, dkk (2007). Estetika Pedalangan. Surakarta: ISI Surakarta. ISBN 979-8217-59-4. 
  3. ^ Purbo Asmoro (2011). "Konsep Garap Sabet Dalam Tradisi Pedalangan". Pusat Data Wayang Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-06. Diakses tanggal 6 Mei 2014. 
  4. ^ Koentjaraningrat (1984). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. hlm. 293. 
  5. ^ a b Clifford Geerstz (1983). Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Pustaka Jaya. hlm. 352. 
Kembali kehalaman sebelumnya