Sabak (wilayah kuno)Sabak (Bahasa Inggris: Zabag; Bahasa China: 阇婆 atau 闍婆 "She-bó", "Shepo"; bahasa Pali: Javaka; bahasa Arab: الزابج "Zabaj", Bahasa Latin: Jabad) adalah sebuah wilayah kuno yang menurut beberapa sumber berada di perairan antara Tiongkok dan India. Mayoritas sejarawan menafsirkan Zabaj sebagai wilayah Jawa saat ini, namun beberapa sejarahwan Abad Pertengahan menganggap Zabaj merupakan sebutan orang Arab dan Persia untuk Iabadiu (Yawadwipa). Nama dan lokasi pasti dari Kerajaan Sabak masih menjadi bahan perdebatan diantara para peneliti. Beberapa ada yang mengajukan Kalimantan dan Filipina sebagai pusat kerajaan Sabak.[1] Beberapa studi juga menghubungkan kerajaan ini dengan Sriwijaya,[2] dan memperkirakan lokasinya berada di suatu tempat di Jawa, Sumatra, atau Semenanjung Malaya. Beberapa sejarahwan Indonesia mengatakan Zabag sama dengan Sabak (Muara Sabak) sebuah kerajaan yang terletak di muara sungai Batang Hari, Jambi.[3] Ada juga yang memperkirakan Sabak terletak di Jawa, bukan Sriwijaya karena Sabak dicatat menganeksasi Sriwijaya, dan ukuran Sabak hanya setengah dari ukuran pulau yang disebut Ramni (Sumatra).[4] Abraham Berkelius dan Thomas de Pinedo, saat memberi catatan atas naskah Ethnica karya Stephanus Byzantinus, berpendapat bahwa Jabaj berasal dari bahasa Arab-Persia yang berarti jelai, dan merupakan sebutan untuk wilayah Iabadiu (Ἰαβαδίοeυ) atau Yawadwipa.[5][6] Berkelius juga berpendat bahwa kata iaba atau yawa berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata “jabad” atau “aibad”, yang berarti sejenis rerumputan atau jelai yang biasa digunakan untuk menggemukan ternak.[5] Samuel Bochart juga memiliki pandangan yang sama, bahwa istilah Ἰαβαδίοeυ dalam tulisan Ptolemeus merupakan frase iaba-diu yang artinya "pulai jelai", namun dia juga menambahkan bahwa istilah Iabadiu merujuk kepada kepulauan (nesos; banyak pulau) bukan satu pulau (nísou).[7] Sumber sejarahSumber utama keberadaan kerajaan Sabak diungkap oleh pelaut Persia bernama Sulaiman al-Tajir al-Sirafi, yang dikenal sebagai Sulaiman sang Saudagar, dalam bukunya "Rihlah As-Sirafiy" (Perjalanan As-Sirafi), yang berisi catatan perjalannya ke India, Tiongkok, dan wilayah kepulauan Zabaj pada kurun 851 Masehi. Berikut petikan perjalanan Sulaiman al-Tajir al-Sirafi:[8][4]
Legenda Maharaja ZabajSyahdan lantaran iri hati, pada suatu hari, di hadapan majelis istana, Raja Khmer bersabda, "Sesungguhnya ada hasrat di hati beta yang hendak beta turutkan," tutur sang raja teruna. "Apa gerangan hasrat Baginda itu," sembah sang patih yang setia berbakti. "Adalah kehendak beta supaya dipersembahkan ke hadapan beta, sebuah pinggan berisi kepala Raja Zabaj," jawab sang raja. "Ampun Baginda, tidaklah sekali-kali sahaya berharap baginda mengungkap hasrat yang demikian,” sembah sang patih. “Khmer dan Zabaj tidak pernah saling unjuk permusuhan, baik lewat perkataan maupun dalam perbuatan. Zabaj tidak pernah mencelakakan kita, maka janganlah kiranya Baginda ulangi tutur kata yang demikian." Serta-merta bangkitlah murka Raja Khmer mendengar nasihat patihnya, dan malah mengulangi perkataannya dengan suara lantang, sehingga jelas didengar sekalian panglima dan orang-orang berbangsa yang duduk dalam majelis istana. Maka tersiarlah kata-kata gegabah sang raja teruna, dari satu mulut ke lain mulut, sehingga sampai jua ke hadapan majelis istana Maharaja Zabaj. Hatta mahfumlah Sri Maharaja akan perkataan Raja Khmer itu, lalu disuruhnya patih menyiapkan seribu kapal untuk dibawa berlayar. Sesudah kapal-kapal siap sedia, Sri Maharaja sendiri naik ke atas geladak, lalu memaklumkan kepada khalayak ramai yang berhimpun di pantai bahwa ia hendak bertamasya melawat pulau-pulau miliknya. Akan tetapi sesudah jauh bertolak dari dermaga, kapal-kapal diperintahkan mengarahkan haluan ke Kotaraja Khmer. Tanpa diduga-duga, bala tentara Sri Maharaja berhambur turun menyerbu negeri Khmer, merebut ibu negerinya, dan mengepung istana rajanya. Maka ditangkaplah Raja Khmer dan dihadapkan kepada Maharaja Zabaj. "Apa gerangan yang membuat engkau berani menghasratkan sesuatu yang tidak sanggup engkau turutkan, yang tidak bakal membuat engkau senang andaikata terlaksana, bahkan tidak patut dibenarkan andaikata senang terlaksana?" tanya Sri Maharaja Zabaj. Raja Khmer termangu-mangu, tidak mampu menjawab sepatah kata pun, maka Sri Maharaja Zabaj pun bersabda, "Sungguh lancang engkau menghasratkan kepala beta dipersembahkan ke hadapanmu bertadahkan pinggan. Andaikata engkau juga berhasrat merampas negeri dan kerajaan beta, bahkan sekalipun hanya mengusik sebagian dari padanya, niscaya akan serupalah balasan beta terhadap engkau. Akan tetapi engkau hanya berani mengungkap hasrat yang pertama, sehingga beta pun akan memperlakukan diri engkau sebagaimana engkau hendak memperlakukan diri beta, lalu beta akan pulang ke negeri beta tanpa membawa apa-apa yang menjadi kepunyaan Khmer, entah besar entah kecil nilainya." Hatta pulanglah Sri Maharaja ke negeri sendiri, lalu naik ke istana dan bersemayam di atas singgasana. Maka dipersembahkanlah ke hadapan baginda sebuah pinggan, dan di atas pinggan itu terhantar kepala mendiang Raja Khmer.[9] SayabigaBanyak sumber Arab mencatat keberadaan bangsa yang disebut Sayabiga, yang sudah menetap di tepi Teluk Persia sebelum kebangkitan Islam. Suku atau kelompok ini tampaknya berasal dari koloni orang Sumatra atau Jawa, awalnya menetap di Sind, tetapi akhirnya dijadikan tawanan selama invasi Persia dan secara paksa terdaftar dalam pasukan militer Persia. Sayabiga adalah tentara bayaran dengan kualitas prajurit yang tinggi, disiplin, terbiasa dengan laut, dan menjadi pelayan yang setia; dan sebagai akibatnya, mereka dianggap sangat cocok untuk bekerja sebagai penjaga dan tentara, penjaga penjara, dan sipir perbendaharaan. Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar (632–634) mereka membentuk garnisun di At-Khatt, di Al-Bahrain, dan pada tahun 656 mereka tercatat telah dipercaya untuk menjaga perbendaharaan di Al-Basra.[10] Ferrand (1926) menunjukkan bahwa nama Sayabiga diturunkan langsung dari kata Sabag, yang merupakan variasi dari Zabag.[11] LokasiJawaSulayman sekitar tahun 851 masehi mencatat bahwa Sribuza (Sriwijaya) dan Kalah (sebuah tempat di semenanjung Melayu, kemungkinan Kedah) merupakan wilayah Zabag.[12] Karena itu, Zabag yang dimaksudkan bukanlah Sriwijaya. Ibn Khordazbeh pada tahun 844, Ibn Al-Fakih pada 902, Abu Zayd Hasan pada 943, dan Sulayman pada 851 mencatat Zabag menyatukan Sribuza dan Kalah.[13][12] Dari informasi arab lain, kerajaan Zabag sejauh 20 hari pelayaran dari Kalah. Menurut informasi Abu'lfida', jarak antara Kalah dan negara pusat Jawa adalah 20 hari perjalanan.[13] Jarak tempuh tersebut sama dengan jarak tempuh Malaka ke Majapahit sebagaimana dicatat Hikayat Hang Tuah.[14] Menurut Nugroho, informasi-informasi tersebut menunjukkan bahwa Zabag adalah Jawa, bukan Sumatra atau semenanjung Malaya. Dia juga mencatat beberapa poin penting: Sulayman menyebutkan bahwa panjang pulau Zabaj hanya setengah dari pulau Al-Rami, yang menunjukkan bahwa Zabaj adalah Jawa sedangkan Al-Rami adalah Sumatra. Pulau tempat tinggal Maharaja, dikatakan sangat subur dan padat penduduk, ini sesuai dengan pulau Jawa.[4] Ada kemungkinan juga She-pó atau She-bó dalam catatan China, yang merupakan nama asli pulau Jawa (Jawadwipa adalah kata Sansekerta untuk pulau itu), merupakan Zabag.[15] Saat John dari Marignolli (1338–1353) pulang dari China ke Avignon, ia singgah di Kerajaan Saba, yang ia bilang memiliki banyak gajah dan dipimpin oleh ratu; nama Saba ini bisa jadi adalah interpretasinya untuk She-bó.[16] Afanasij Nikitin, seorang pedagang dari Tver (di Rusia), melakukan perjalanan ke India pada tahun 1466 dan mendeskripsikan tanah Jawa di buku hariannya, yang ia sebut шабайте (shabait/šabajte).[17][18] Kata "Saba" sendiri berasal dari kata bahasa Jawa kuno yaitu sabhā atau saba yang berarti "pertemuan" atau "rapat". Dengan demikian kata itu dapat diartikan sebagai "tempat bertemu".[19][20] Menurut Fahmi Basya, kata tersebut berarti "tempat bertemu", "tempat berkumpul", atau "tempat berkumpulnya bangsa-bangsa".[21] SriwijayaTerdapat beberapa sejarawan terutama Coedes yang mengidentifikasi Zabag dengan Sriwijaya, kerajaan maritim yang berpusat di Sumatra. Zabag adalah kata Arab untuk Sumatra dan Jawa, kira-kira sesuai dengan Kekaisaran Sriwijaya.[2] Seorang sarjana Perancis George Coedès menerbitkan penemuan dan interpretasinya di surat kabar berbahasa Belanda dan Indonesia.[22] Coedès mencatat bahwa referensi Cina untuk "Sanfoqi" atau "Sanfotsi", sebelumnya dibaca sebagai "Sribhoja", dan tulisan dalam Bahasa Melayu Kuno merujuk pada kerajaan yang sama.[23] Ini berlawanan dengan pendapat Mulyana dan Lombard, yang mengidentifikasi Sanfotsi dan Sanfoqi sebagai Sriwijaya/Sumatra, berlainan dengan Jawa.[13][15] Sriwijaya dan ekstensi Sumatera telah dikenal dengan nama yang berbeda untuk orang yang berbeda. Orang Cina menyebutnya Sanfotsi, dan pada suatu waktu ada kerajaan Kantoli yang bahkan lebih tua yang dapat dianggap sebagai pendahulu Sriwijaya.[24][25] Orang-orang Arab menyebutnya Zabag dan orang Khmer menyebutnya Melayu.[24] Ini adalah alasan lain mengapa penemuan Sriwijaya sangat sulit.[24] Sementara beberapa dari nama-nama ini sangat mengingatkan pada nama Jawa, ada kemungkinan yang berbeda bahwa mereka mungkin merujuk ke Sumatra sebagai gantinya.[26] Pendapat yang menyatakan Zabag sebagai Sriwijaya memiliki bukti yang kurang lengkap. Karena Zabag memiliki nama lain yaitu Javaka dan Yavadesh. Hal tersebut secara linguistik sangat tidak mungkin jika kerajaan besar seperti Sriwijaya disebut dengan kata lain yang merujuk pada negeri di seberangnya. Selain itu, catatan tentang Zabag juga menyebutkan kata Sribuja dan Ramni. Istilah Sribuja lebih mendekati daripada Sriwijaya yang menjadi salah satu dari wilayah kekuasaan Zabag. Jika dikaitkan dengan prasasti Ligor B di Thailand Selatan sudah sangat kuat menegaskan periode penguasaan Jawa atas Sriwijaya. Hal tersebut terjadi saat Kerajaan Medang yang dipimpin oleh Rakai Panangkaran. Selain itu, bukti lain sebutan Zabag adalah Jawa dan Sribuja adalah Sumatera bagian selatan adalah bergantinya dinasti yang menguasai Sriwijaya. Kerajaan Sriwijaya yang dibina oleh Dapunta Hyang diganti dengan kepemimpinan Wangsa Syailendra yang berasal dari Jawa. Bahkan jika dikaitkan dengan Prasasti Nalada sangat jelas disebutkan Balaputradewa sebagai Raja Suwarnadwipa yang merupakan cucu dari Raja Yawabhumi. Hal tersebut menguatkan bahwa Zabag mengacu pada Jawa pada saat ini. Selain itu Zabag dikonotasikan sebagai tanah yang subur juga sangat berkaitan dengan tanah vulkanik di wilayah kerajaan Medang. Istilah Zabag juga dikonotasikan pada pulau yang berbeda dengan salah satu wilayahnya yang bernama Ramni. Kerajaan Ramni sendiri berada di Pulau Sumatera bagian Utara (Lamuri). Hal tersebut menegaskan bahwa Zabag bukanlah Sriwijaya dan berada di Pulau Jawa saat ini. Lihat jugaCatatan
Rujukan
|