SM ArdanSyahmardan, atau SM Ardan (2 Februari 1932 – 26 November 2006) adalah sastrawan dan tokoh Betawi. Dia dikenal sebagai penyair, cerpenis, novelis, esais, dan penulis drama. Kebangkitan lenong, topeng Betawi, dan lain-lain tidak lepas dari tangannya. Meski tidak memiliki darah Betawi dalam tubuhnya, tetapi sejarah mencatat bahwa Ardanlah yang pertama kali menggunakan dialek Betawi dalam karya sastra Indonesia. Barulah disusul Firman Muntaco, yang banyak banyak menulis sketsa-sketsa Betawi. Pendidikan dan KarierPendidikan terakhinya adalah Taman Madya Taman Siswa, Jakarta (1954). Sebagai jurnalis, ia pernah menjadi redaktur Arus tahun 1954, Genta (1955-1956), Trio (1958), Abad Muslimin (1966), dan Citra FIlm (1981-1982). Sejak 1950-an ia menjadi wartawan film. Terakhir ia bekerja pada majalah Violeta.[1] Selain itu, dia juga pernah menjadi wartawan olahraga di Suluh Indonesia. Ia pernah memimpin kelompok drama Kuncup Harapan di Jakarta (1963-1965). Sejak 1970 ia dikenal sebagai sutradara dan penulis cerita lenong dalam pertunjukan-pertunjukan di TIM dan TVRI. Ia pernah bekerja di Sinematek Indonesia, Pusat Perfilman H. Usmar Ismail. Ia juga pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta.[2] Selain itu, ia menulis cerita pendek, novel, dan skenario film. WafatTanggal 19 November 2006 kecelakaan lalu lintas menimpanya sampai akhirnya dia mengalami pendarahan di kepala, sementara kaki kanannya patah. Dia harus dirawat di ruang ICU RS Jakarta selama satu pekan, hingga akhirnya meninggal pada hari Minggu 26 November 2006 pukul 10.18 WIB akibat penyakit yang dideritanya. Besoknya, ia dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta Pusat. KeluargaArdan meninggalkan satu istri, Masfufah dan tiga anak. Karya
Bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-75, Februari 2007, yang rencananya akan berlangsung di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Ardan sebenarnya akan meluncurkan buku kumpulan cerpennya yang disusun JJ Rizal, peneliti sastra dan sejarah di Komunitas Bambu. Buku bertajuk Cerita dari Sekeliling Jakarta itu berisi 22 cerpen karya Ardan. Untuk kumpulan cerpennya itu, Ardan menulis kata pengantar tentang perasaannya setelah meninggalkan sastra 20-30 tahun sebelumnya. Referensi
|