Requiem aeternam deoRequiem aeternam deo adalah idiom rekayasa yang diciptakan oleh Friedrich Nietzsche dari idiom bahasa Latin requiem aeternam. Idiom ini bermakna "semoga Tuhan beristirahat dalam kedamaian abadi", sedangkan idiom asalnya bermakna "semoga engkau beristirahat dalam kedamaian abadi" dan diucapkan untuk menghormati orang yang meninggal dunia. Inilah salah satu ungkapan Nietzsche dalam sebuah aforisme ketika dia berseru “Tuhan sudah mati! Kita telah membunuhnya”. The MàdmanUngkapan Nietzsche tersebut dapat ditemukan dalam bukunya yang mulai ditulis di Genova (1882), yaitu Die Fröhliche Wissenschaft (Ilmu yang Gembira). Dengan gaya bahasa yang penuh metafora, dia memaklumkan bahwa Tuhan sudah dibunuh dan sudah dikuburkan secara beramai-ramai.[1] Rumusan yang dapat ditemukan dalam aforisme yang berjudul Der tolle Mensch atau The Màdman (Orang Gila) dan masih akan diulang berkali-kali dalam karya Nietzsche sesudahnya. Kegilaannya dapat ditemui dari seluruh aforismenya yang berjudul Orang Gila berikut.[2]
Inilah kisah panjang Nietzsche yang harus memaklumkan kematian Tuhan kepada khalayak orang-orang yang masih menggenggam keyakinan mereka akan Tuhan.[4] Tepatlah jika Nietzsche memberi judul aforisme ini dengan Orang Gila. Kegilaan ini tidak hanya terasa dari kontras antara sikapnya dengan khalayak. Kegilaan itu juga tampak dalam kontras antara sikap barunya yang membunuh Tuhan dengan sikap lamanya sebagai sang calon pendeta yang sangat religius. Orang yang membunuh Tuhan ini adalah orang yang masa remajanya pernah berlutut penuh khidmat di depan altar untuk menerima sakramen-sakramen dari gereja. Salah satu perilaku saleh Nietzsche dilukiskan oleh salah seorang sahabatnya sebagai berikut.[5]
Dengan mengidentifikasikan diri sebagai seseorang yang gila, Nietzsche ingin menunjukkan situasi zaman yang sudah kehilangan kemapanan, biasa, dan kewajaran, termasuk yang pernah dialaminya sendiri.[6] Semua makna dan nilai yang mencirikan “kewarasan” kini seluruhnya sudah roboh. Bagi orang-orang yang belum memahami situasi ini, pembawa berita tentang keruntuhan seluruh nilai tidak lebih dari “orang gila”, anak kecil yang tersesat, orang yang ketakutan, atau orang yang mabuk karena baru saja mengadakan pelayaran.[7] Dengan berseru “Tuhan sudah mati”, Nietzsche pertama-tama tidak bermaksud ingin membuktikan bahwa Tuhan tidak ada. Tuhan tidak ada bagi Nietzsche merupakan “kebenaran” yang tidak perlu dipersoalkan lagi.[8] Seruan ini lebih menunjuk kepada Tuhan yang dulu pernah dibiarkan hidup, kini secara beramai-ramai sudah mulai dikuburkan banyak orang, bahkan kini sudah mulai membusuk. Tuhan dulu pernah hidup bisa dimakluminya. Orang-orang sebelum Nietzsche masih membiarkan Tuhan hidup karena mereka memang belum cukup kuat untuk membunuhnya. Pembuktian mengenai “pembuktian”, “Tuhan itu ada” atau “Tuhan itu tidak ada”, bukanlah cara berbicara Nietzsche. Ini adalah cara berbicara para metafisikawan yang hanya bersandar kepada prinsip-prinsip logika saja, sedangkan Nietzsche dalam prinsip nihilismenya juga menolak keabsahan logika itu. Dengan kata lain, dia menolak baik isi maupun cara berbicara kaum metafisikawan.[2] Dengan matinya Tuhan, kini orang seolah der leere raum (merasa menghirup udara kosong) dan seluruh cakrawala dihapuskan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran Tuhan dalam perjalanan sejarah sebelum Nietzsche. Sejak zaman Yunani sampai Renaisans, manusia dibayang-bayangi oleh jaminan absolut (Tuhan) untuk memberikan makna dan nilai bagi dunia dan hidupnya. Orang mengira bahwa jaminan absolut itu memang benar-benar ada. Pudarnya Tuhan selalu diikuti reformasi supaya Tuhan tetap hidup. Menurut Nietzsche, para tokoh reformasi ini meliputi Pythagoras, Plato, Empedokles, dan Martin Luther. Namun, semua reformasi yang mereka lakukan semua gagal. Proses kematian Tuhan tidak dapat dielakkan. Dikarenakan jaminan absolut sudah kehabisan darah, nilai-nilai yang diturunkan darinya pun runtuh. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya proses nihilisme.[5] NihilismeNihilisme sebagai runtuhnya nilai-nilai merupakan keadaan yang normal dan memang harus terjadi. Nihilisme adalah hasil yang tidak terelakkan dari seluruh gerak sejarah sebelumnya yang diresapi gagasan-gagasan ketuhanan. Dalam gerak sejarah ini, roh manusia semakin kuat. Bersamaan dengan itu, Tuhan yang pernah diakui sebagi tujuan dan dasar bagi dunia dan hidup manusia semakin pudar. Sia-sialah setiap usaha untuk menghidupkannya kembali. Usaha-usaha itu justru menimbulkan berbagai konflik dan situasi yang menyulitkan, hingga akhirnya mempercepat proses nihilisme. Situasi ini dilukiskan Nietzsche sebagai bumi yang kehilangan matahari: bumi kehilangan orientasi, tidak tahu lagi yang harus dikelilingi, serta tidak ada lagi atas dan bawah. Dikarenakan keadaan ini berada di luar kekuasaan manusia perorangan, dapat dikatakan bahwa nihilisme lebih merupakan semangat zaman daripada sebuah doktrin atau sikap para filsuf secara individual.[9] Sepintas, gagasan Nietzsche mengenai pudarnya Tuhan ini mirip dengan pemikiran Auguste Comte (1798–1857). Tokoh positivistik asal Prancis ini membagi perkembangan sejarah menjadi tiga tingkatan atau zaman, yaitu teologi atau mitologi, metafisika, dan positivistik. Dalam teologi atau mitologi, seseorang masih percaya kepada kekuatan adikodrati (Tuhan) sebagai penyebab segala peristiwa fenomenal yang dihadapi. Pada tahap kedua, peran Tuhan diganti dengan metafisika yang bersifat abstrak; misalnya substansi dan kodrat. Pada tahap positivistik, seseorang meninggalkan kekuatan-kekuatan adikodrati maupun konsep-konsep metafisik, kemudian membatasi diri hanya kepada fakta yang disuguhkan dan dihadapinya. Namun, Nietzsche masih menolak gagasan Comte yang seolah-olah berhasil memudarkan Tuhan. “Comte ingin mengantar orang-orang Prancis ke Roma melalui jalan ilmu pengetahuan!” Dengan kata lain, Comte secara tidak sadar telah menciptakan agama baru bagi dirinya dan bangsanya dengan jalan memutlakkan ilmu pengetahuan.[3] Secara singkat, dapat dikatakan bahwa dalam arti sempit, matinya Tuhan menunjuk kepada runtuhnya jaminan absolut, yaitu Tuhan yang merupakan sumber pemaknaan dunia dan hidup manusia. Nietzsche menyebut situasi ini sebagai nihilisme. Namun, lebih dari itu, dia sebenarnya mengartikan kata “Tuhan” lebih luas daripada pengertian sebagaimana dipahami orang-orang yang termasuk zaman teologisnya Comte. Bagi Nietzsche, “Tuhan” hanyalah suatu model untuk menunjuksetiap bentuk jaminan kepastian untuk hidup dan manusia. Oleh karena itu, sekalipun seseorang sudah membunuh Tuhan, dia belum tentu tidak menghidupkan tuhan-tuhan lainnya.[3] Lihat pula
Rujukan
Pranala luarWikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
Wikiquote memiliki koleksi kutipan yang berkaitan dengan: Friedrich Nietzsche. |