Referendum otonomi Greenland 2008
Referendum otonomi Greenland 2008 adalah sebuah referendum yang diadakan untuk menentukan sikap terhadap Undang-Undang Otonomi Greenland. Penyelenggaraan referendum ini pada tanggal 25 November 2008 dan tidak mengikat secara hukum. Referendum ini diikuti oleh 72% pemegang hak suara dan 75% pemilih di antaranya memilih setuju (63% di Nuuk).[1] Isu yang diangkat adalah perluasan pemerintahan mandiri di 30 sektor, termasuk kepolisian, pengadilan, dan penjaga pantai; melibatkan Greenland dalam kebijakan luar negeri; menetapkan bagi hasil pendapatan minyak masa depan; dan menetapkan bahasa Greenland sebagai satu-satunya bahasa resmi. Referendum ini diumumkan oleh Perdana Menteri Hans Enoksen pada 2 Januari 2008.[2] Enoksen juga memulai sosialisasi dan diskusi otonomi daerah lewat serangkaian rapat umum di seluruh Greenland.[3] Latar belakangGreenland menjadi koloni Denmark–Norwegia pada tahun 1775, lalu provinsi Denmark pada tahun 1953. Tahun 1979, Greenland ditetapkan sebagai negara otonom di dalam Kerajaan Denmark dengan parlemen sendiri dan hak mengatur kesehatan, pendidikan, dan urusan sosial. Tahun 1985, Greenland keluar dari Masyarakat Ekonomi Eropa (sekarang Uni Eropa) untuk mempertahankan kedaulatan atas sumber daya alam (perikanan) di perairannya. Ada desakan untuk merdeka yang didukung oleh Denmark, tetapi ditunda karena Greenland lebih membutuhkan subsidi ekonomi. Laporan Komisi Otonomi tahun 2003 menentukan enam peluang Greenland di masa depan:[4]
Perluasan kewenanganMeski tidak mengikat, Parlemen Denmark mendukung referendum ini dan berjanji akan menghormati hasilnya. Perluasan pemerintahan mandiri Greenland berlaku pada 21 Juni 2009, bertepatan dengan 30 tahun berlakunya Undang-Undang Otonomi Greenland. Greenland memiliki kewenangan yang lebih besar atas kepolisian, penjaga pantai, dan sistem pengadilan.[5] Selain itu, bahasa Greenland menjadi satu-satunya bahasa resmi.[5] Pendapatan minyak akan dibagi dengan skema yang berbeda. 75 juta kronor Denmark (US$13,1 juta) pertama diserahkan ke Greenland, lalu sisanya dibagi dua dengan Denmark.[5] Subsidi dari pemerintah pusat berjumlah 3,5 miliar kroner ($588 juta) per tahun akan dikurangi secara perlahan.[6] Subsidi ini setara dengan sepertiga produk domestik bruto Greenland (10,5 miliar kroner)[7] dan hampir dua per tiga total pendapatan pemerintah daerah (6,1 miliar kroner).[8] Penduduk Greenland juga diakui sebagai bangsa sendiri menurut hukum internasional.[9] Sejumlah politikus Denmark skeptis dengan perubahan ini. Per Ørum Jørgensen, salah satu negosiator perjanjian ini, mengatakan bahwa Greenland butuh "30–40 tahun" agar siap mengurus dirinya sendiri. Anggota Parlemen Søren Espersen dari Partai Rakyat Denmark mengklaim warga Greenland "dicuci otak oleh propaganda" dan ia yakin "masalah besar akan menanti".[10] HasilMayoritas pemilih menyetujui Undang-Undang Otonomi.[11] Pemerintah Greenland mengupayakan kemerdekaan penuh di masa depan.[12] Sejumlah pengamat menganggap hasil referendum ini "langkah yang besar" menuju kemerdekaan penuh.[13]
Lihat pulaReferensi
Pranala luar
|