Referendum Krimea 2014
Referendum mengenai status Krimea diadakan pada tanggal 16 Maret 2014 oleh parlemen Krimea dan pemerintah Sevastopol, yang merupakan subdivisi Ukraina. Parlemen Krimea dan dewan kota Sevastopol menganggap penjatuhan Presiden Ukraina Viktor Yanukovych selama revolusi Ukraina 2014 sebagai sebuah kudeta dan menganggap pemerintahan baru di Ukraina tidak sah. Krimea sendiri merupakan wilayah dengan sejarah yang panjang dan kompleks dengan demografi yang berubah-ubah. Referendum ini menanyakan apakah penduduk Krimea ingin bergabung dengan Federasi Rusia atau mengembalikan konstitusi Krimea 1992 dan status Krimea sebagai bagian dari Ukraina. Konstitusi 1992 memberikan banyak wewenang, termasuk dalam menjalin hubungan dengan negara lain. Parlemen Krimea sebelumnya telah menyatakan keinginannya untuk bergabung kembali dengan Rusia.[1] Referendum ini tidak memberikan pilihan untuk menetapkan status quo seperti sebelumnya. Referendum ini ditolak oleh negara-negara Barat yang menganggapnya tidak sah. Selain itu, Mejlis Bangsa Tatar Krimea - asosiasi politik bangsa Tatar di Krimea - memboikot referendum ini.[2][3] Rancangan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mendeklarasikan ketidakabsahan referendum ini diveto oleh Rusia, sementara tiga belas anggota dewan keamanan lainnya mendukung dan satu negara (Republik Rakyat Tiongkok) menyatakan abstain.[4][5] PertanyaanTerdapat dua pilihan dalam referendum ini:
Hasil
Aspek hukumMenurut Pasal 3 Undang-Undang Ukraina, perubahan wilayah hanya dapat disetujui melalui referendum yang diikuti oleh semua rakyat Ukraina, termasuk mereka yang tidak tinggal di Krimea.[9] AkibatSehari setelah referendum, parlemen Krimea meminta agar Federasi Rusia menerima Republik Krimea sebagai anggota.[10] Pada hari yang sama, Presiden Rusia Vladimir Putin secara resmi mengakui Krimea sebagai negara.[11] Referensi
Pranala luar |