Rd IsmailRaden Dadang Ismail atau Rd Ismail (10 April 1904 - 11 Juli 1969) adalah seorang pemeran film indonesia yang mulai terjun ke dunia film pada tahun 1931.[1]
BiografiRaden Dadang Ismail dilahirkan di Cianjur pada tanggal 10 April 1904. Semenjak kecil ia tinggal bersama keluarga Raden Ajeng Wiarsih, Putra RAA Prawiradirdja, bupati Cianjur. Setelah tamat dengan Sekolah Rakyat I di Cianjur, ia lalu meneruskan pelajarannya di sekolah Indische Bond di Sukabumi. Tahun 1921 ia tamat juga pada sekolahan ini dan terus bekerja di penggilingan padi kepunyaan orang tuanya sendiri. Semenak kecil ia suka kepada sport dan musik, maka tidak heran bahwa gaji-gaji yang didapatnya pada waktu itu, dan sudah boleh dianggap lebih dari cukup, masih kurang memuaskan karena dipergunakan untuk membeli barang-barang musik dan sport. Sedemikian besar minatnya kepada sport sehingga ia mulai tahun 1925 sudah mulai naik panggung untuk bergulat (worstelen). Semenjak itu boleh dipukul rata bahwa ia seringkali mengadakan pertandingan di muka umum setiap bulan satu kali, bahkan pernah sampai seminggu dua kali. Sudah tentu pertandingan-pertandingan tidak saja membawa harum namanya ke seluruh pelosok dunia sport, akan tetapi di samping itu ia juga mendapat uang karena pertandingan-pertandingan itu . Maka tidak herankalau ia lebih-lebih tergila-gila keada adu gulat itu, dan menjauhi pekerjaan sebagai buruh di kantor, pertama karena adu gulat itu ia mendapat nama, kedua ia mendapat uang, belum lagi kesenangan yang ia dapatkan, oleh karena semua itu adalah kesukaannya sendiri. Sedemikian tergila-gilanya kepada gulat, sehingga ayahnya yang mengharap-harap bahwa sekali ia akan menggantikan pimpinan penggilangannya, melarang dia untuk memakai nama Raden Dadang Ismail di gelanggang adu gulat. Itulah sebabnya maka di bawah program dan dunia gulat pada waktu itu kita tidak mengenal nama Raden Ismail, melainkan R Milides, yang diambil dari huruf-huruf Rd Ismail. Rupa-rupanya dengan nama ini nasibnya lebih mujur. Dan ia mendapat panggilan dari mana-mana antara dari Palembang di mana ia tinggal kira-kira tiga bulan untuk diadu. Pada tahun 1922 sudah terjun ke dunia sandiwara yang ketika itu masih disebut bersifat Opera. Dirinya sudah melewati ke berbagai daerah di Indonesia sampai Singapura, Malaysia, dan Muangtbai melalui rombongan - rombongan sandiwara, diantaranya Dahlia Opera. Pada waktu itu sport boksen (tinju) sudah mulai terkenal di kalangan jago-jago gulat kita, dan Rd Ismail pun turut serta mempelajari sport baru ini. Tahun 1928 hasilnya ialah bahwa ia tidak saja terkenal sebagai seorang jago gulat, melainkan juga seorang jago boksen. pernah menjadi guru taman kanak-kanak pada tahun 1931. Sekembalinya dari perjalanan ini, ia lalu mengaso dan setelah merasa bahwa tenaganya semakin lama semakin berkurang karena sudah menjadi tua, maka pada tahun 1936 ia mulai memberikan pelajaran boksen dan gulat kepada beberapa murid-murid di Jakarta. Perlu diketahui di sini bahwa dia pernah menjadi Ketua Umum dari bagian Boksen dan Gulet Ikatan Sport Indonesia, bersama-sama dengan Zonder, Primo Usman, dll jago-jago Indonesia lagi. Diantara murid-muridnya yang ikut pada waktu itu adalah Raden Kosasih dan Raden Mochtar. Kedua murid ini sudah menjadi bintang film pada Tan & Wong Bross Film co. Oleh karena Tan & Wong pada waktu itu sungguh-sungguh membutuhkan seorang tenaga yang pandai mendidik orang berkelahi, maka RD Ismail ditetapkan sebagai boksleraar pada perusahaan film tersebut. ini mulai main film pada tahun 1941. Dari pelatih menjadi bintang film pada waktu itu walaupun agak susah, akan tetapi bagi bung kita rupanya tidak, dan waktu ia dibutuhkan untuk ikut bermain maka dengan senang hati ia ikut pertama dalam film Siti Akbari kemudian dalam Sorga Ketujuh, Rukihati, Pusaka Terpendam, Kuda Sembrani, dan banyak film lain lagi, dalam mana ia selalu diberikan rol sebagai seorang jahat, yang pada zaman sekarang lajimnya disebut pengacau. Semasa kependudukan Jepang, iapun telah ikut bermain dalam beberapa film, antaranya Kesebrang. Kalau revolusi sedang meluap di Jakarta, pada waktu tiap malam kamp-kamp Nica digempur di sana-sini, maka bung Ismail kita terdengar pernah ikut menggempur Kamp jaga Monyet bersama beberapa jago tinju Jakarta juga. Setelah itu, karena merasa kurang aman, katanya ia pulang ke Cianjur. Dari Rd Ismail sendiri kita mendengar bahwa Ia pernah ditawan Belanda 3 kali. Mungkin karena ini, maka merasa ia lebih aman kalau kembali lagi ke Jakarta untuk mengerjakan lagi pekerjaannya sebagai boksleraar pada perusahaan film Tan & Wong. Tahun 1948 kita lihat ia muncul kembali di Air Mata Mengalir di Citarum, masih juga sebagai seorang jahat, dan kali ini mengejar-ngejar Sofia, akan tetapi dalam Bengawan Solo kita lihat ia menjadi serang hartawan tua, dermawan dan seorang yang bijaksana. Di Bantam kembali lagi ia memegang peran buruk, begitu juga di Terang Bulan, dan waktu itu kelihatan seperti ia tidak akan dapat melepaskan dirinya dari peran-peran jahat. Dengan Remong Batik (di sini ia bermain sebagai dokter) dan Kembang Katjang (disini ia bermain sebagai Komik) ia dapat membuktikan bahwa sebetulnya dia pandai juga bermain rol-rol lain. ia sedang siapkan permainannya dalam Pantai Bahagia, Siti Aminah, dan Fadjar Menjingsing, tiga produksi kepunyaan Tan & Wong sedangkan di samping itu, filmnya sebagai Minakjinggo di Damarwulan pada Bintang Film Coy sudah selesai. Dimulai dengan Noesa Penida, lalu menyusul Air Mata Iboe (1941). Dimasa Pendudukan Jepang dan di jaman revolusi fisik dia aktif bermain sandiwara. Terkenal sebagai Bang Samiun dengan pasangannya Fifi Young (sebagai Hayati) dalam lakon Nyai Dasima pada masa penjajahan Belanda. Dalam film baru diikutinya lagi mulai 1949, dimulai dengan Harta Karun, kemudian Tjitra. Kemudian tampil dalam permainannya terbaik lewat Dosa Tak Berampun (1951). Permainan menarik lainnya diperlihatkan dalam film - film Harimau Tjampa (1953), Lewat Djam Malam (1954), Sedetik Lagi (1957), Bintang Ketjil (1963), Matjan Kemajoran (1965) dan Sembilan (1967). Rd Ismail beristri S Sadiah, juga seorang pemain tetap pada Tan & Wong Bross. Istri pertamanya S Hadidjah. ia kawin pada tahun 1926, dan dia telah meninggal pada 1942. Dengan S Sadiah ia mendapat 2 anak perempuan.[2][3] Film Tantangan (1969) ternyata merupakan tantangan terakhir bagi anak Betawi keturunan ningrat ini, Rd.Ismail telah meninggal dunia dalam usia 65 tahun pada 11 Juli 1969 setelah menyelesaikan lebih dari 62 judul film. Kepergiannya mendapat kehormatan tulisan / tajuk rencana dari harian-harian ibukota terkemuka, Indonesia Raja, Pedoman dan Sinar Harapan. Mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan resmi mengganti 22 nama ruas jalan di DKI Jakarta. Anies Baswedan menilai mengganti nama jalan dengan tokoh Betawi merupakan hal menjunjung kearifan lokal dan meningkatkan jiwa nasionalisme. Menurut Anies Baswedan, mengganti nama jalan dengan nama tokoh betawi adalah hal yang seharusnya dilakukan karena banyak tokoh-tokoh Betawi yang berperan besar terhadap persatuan dan kesatuan bangsa. Salah satu ruas jalan yang diganti adalah Jalan Buntu menjadi Jalan Raden Ismail.[4] Filmografi
Referensi
|