Ratu Zaleha
Putri Jeleha (Djaleha) bergelar Ratu Zaleha atau Ratu Zulaiha[1] (lahir: Muara Lawung, 1880;[2] wafat: Banjarmasin, 24 September 1953[3]) adalah puteri dari Sultan Muhammad Seman dengan Nyai Salmah. Ia gigih berjuang mengusir Belanda dalam Perang Banjar melanjutkan perjuangan Pangeran Antasari.[4] Ratu Zaleha berjuang bersama wanita-wanita suku Dayak yang sudah memeluk Islam seperti Bulan Jihad[5] atau Wulan Djihad,[6] Illen Masidah dan lain-lain. Ratu Zaleha (nama lahir Gusti Zaleha) merupakan tokoh emansipasi wanita di Kalimantan. PerjuanganGugurnya Sultan Muhammad Seman dan jatuhnya benteng pertahanan Manawing, tertangkapnya Panglima Batur pada tahun 1905, maka Perang Banjar yang dimulai dengan penyerangan terhadap benteng dan Tambang Batu Bara Oranje Nassau di Pengaron, Banjar tahun 1859, dinyatakan berakhir pada tahun 1905. Tokoh-tokoh pejuang yang tetap bertahan tidak mau menyerah akhirnya terpaksa menyerah, mereka dibuang keluar dari bumi bekas Kesultanan Banjar sebagai tawanan perang hidup dalam pengasingan sampai hayat mereka berakhir. Salah satu diantaranya adalah Gusti Muhammad Arsyad, menantu Sultan Muhammad Seman. Gusti Muhammad Arsyad dibuang ke Buitenzorg (sekarang Kota Bogor) pada tanggal 1 Agustus 1904. Gusti Muhammad Arsyad dan isterinya Ratu Zaleha, puteri dari Sultan Muhammad Seman berjuang bersama ayahnya dengan penuh keberanian. Setelah benteng Manawing jatuh ia bersembunyi ke Lahei dan selanjutnya ke Mia di tepi Sungai Teweh yang dianggap mereka aman dari pengejaran Belanda. Suaminya Gusti Muhammad Arsyad setahun sebelum benteng Manawing jatuh telah menyerah kepada Belanda karena pengepungan yang menyebabkan ia tidak dapat melarikan diri lagi. Karena selalu dikejar-kejar oleh serdadu Belanda. Gusti Zaleha atau Ratu Zaleha merasa sangat letih disamping fisiknya juga tidak mengizinkannya lagi, akhirnya dia pada awal tahun 1906 menyerahkan diri kepada Belanda. Atas permintaannya Ratu Zaleha mengikuti suaminya dalam pengasingan di Bogor (di kawasan Keramat Empang Bogor) untuk berkumpul dengan suaminya Gusti Muhammad Arsyad untuk menghabiskan sisa-sisa usianya. Ratu Zaleha diikuti oleh ibunya Nyai Salamah. Keluarga Ratu Zaleha sebagai kelompok Pagustian dianggap berbahaya untuk wilayah Kalimantan Selatan dan Tengah. Sebagai orang tawanan Gusti Muhammad Arsyad mendapat tunjangan sebesar f300, perbulan terhitung sejak 1 Mei 1906 sedangkan isterinya Ratu Zaleha mendapat f125, sebagai tambahan untuk memelihara 7 orang anggota keluarganya. Tunjangan ini berdasarkan surat Sekretaris Goebernemen 25 Juli 1906 no. 1198 yang ditujukan kepada Ekslensi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dan Asisten Residen Bogor.[7][8]
Perang Montalat tahun 1861 menyebabkan gugurnya 2 (dua) putera Ratu Zaleha dan Gusti Muhammad Arsyad yang dimakamkan di desa Majangkan. KematianDimasa tuanya sang Ratu kembali ke kampung halamannya setelah sekian tahun berada di pembuangan dan meninggal pada tanggal 23 September 1953 dan kemudian dimakamkan di Kompleks Makam Pangeran Antasari di Kuburan Muslimin Malkon Temon, Surgi Mufti, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.[9] Nama Ratu Zaleha diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Umum Daerah di kota Martapura, Kabupaten Banjar, yaitu RSUD Ratu Zalecha Martapura Leluhur Ratu Zaleha
Referensi
Pranala luar
|