Ratjih Natawidjaja
Ratjih Natawidjaja (19 November 1917 – 9 Juli 2014) merupakan seorang tokoh aktivis perempuan dan politikus dari Indonesia. Ia menjabat sebagai anggota DPRD Jakarta dari tahun 1956 hingga tahun 1957 dan dari tahun 1959 hingga tahun 1971. Selain itu, ia dikenal aktif dalam mendirikan dan membina berbagai macam organisasi, seperti organisasi pendidikan, sosial, dan koperasi. Ia merupakan ibunda dari mantan menteri Ginandjar Kartasasmita. Riwayat HidupMasa kecilRatjih dilahirkan pada tanggal 19 November 1917 di Sumedang, Jawa Barat. Ia merupakan anak pertama dari pasangan Rasid Natawidjaja, seorang guru sekaligus kepala sekolah di Sekolah Rakyat Tegal Kalong, Sumedang, dengan Raden Siti Soehanah. Ratjih memulai pendidikannya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) pada awal tahun 1920an.[1] Pada tahun 1929, beberapa saat sebelum Ratjih menjalani ujian kenaikan kelas ke kelas enam di HIS, ayahnya dipindahkan ke Serang untuk mengajar di Normal School, yakni sekolah kegurunan setingkat jabatan pengawas sekolah dasar. Ratjih mengikuti ayahnya ke Serang setelah menyelesaikan ujian kenaikan kelasnya dan melanjutkan pendidikan HISnya di HIS Serang. Selama bersekolah di Serang, Ratjih mulai mengenal pergerakan pemuda yang semakin besar setelah Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Ratjih akhirnya berhasil menamatkan pendidikan HISnya di Serang pada tahun 1932 dengan nilai tertinggi dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya.[1] Setelah lulus dari HIS, Ratjih ingin melanjutkan pendidikannya ke Hoogere Burgerschool, sebuah institusi pendidikan sekolah menengah dengan jangka waktu pendidikan selama 5 tahun yang hanya terletak di Batavia, Surabaya, dan Semarang. Namun, ayahnya menolak keinginan Ratjih dan menyekolahkannya ke Hollandsch Inlandsche Kweekschool (HIK) untuk mempersiapkan dirinya menjadi guru. Ratjih akhirnya mengenyam pendidikan di HIK Gunung Sari, Lembang, Bandung.[2] Tiga tahun berselang, Rasid ditahan oleh polisi Hindia Belanda dengan tuduhan mengindoktrinasi calon-calon guru di sekolahnya dengan ideologi nasionalisme. Akibatnya, keluarga Rasid tidak memiliki sumber penghasilan tetap. Ratjih yang saat itu masih bersekolah di HIK yang didanai oleh pemerintah Belanda harus pindah ke HIK Muhammadiyah di Jalan Kramat, Jakarta, pada bulan Januari 1936. Biaya pembelajarannya selama bersekolah di tempat tersebut ditanggung oleh salah seorang pamannya. Selama menempuh pendidikan di HIK Muhammadiyah, Ratjih bertemu dengan sejumlah aktivis politik dan mengikuti diskusi-diskusi politik.[2] Karier sebagai guru dan masa penjajahan JepangSetelah menamatkan pendidikannya di HIK Muhammadiyah, Ratjih kembali ke kampung halamannya di Sumedang. Ia segera ditawari jabatan sebagai kepala sekolah HIK Tanjungsari yang terletak di antara Sumedang dan Bandung. Ratjih, yang pada saat itu masih berusia 19 tahun, menerima tawaran tersebut dan menjabat sebagai kepala sekolah HIK Tanjung Sari. Namun, ia hanya menjabat selama satu tahun karena ayahnya memintanya untuk menggantikannya sebagai kepala Sekolah Rakyat Tegal Kalong. Ratjih menikah beberapa saat setelah pindah ke Sekolah Rakyat Tegal Kalong sehingga ia harus mengikuti suaminya ke Bandung.[3] Pada saat ia tiba di Bandung, Jepang sudah menguasai wilayah Hindia Belanda dan mendirikan organisasi wanita bernama Fujinkai. Namun, Ratjih menolak untuk bergabung ke dalamnya karena ia menolak kekejaman yang dilakukan oleh tentara Jepang. Suaminya kemudian ditahan atas tuduhan berkhianat terhadap Jepang. Ayahnya juga ditahan oleh pihak Jepang atas tuduhan yang sama dan wafat ketika masih dalam tahanan.[4] Akibat penahanan suaminya, Ratjih harus pindah dari rumah dinas yang diberikan kepada suaminya dan menjual seluruh barang-barang berharga yang dimilikinya. Ratjih mencari penghasilan dengan membuka toko kelontong yang dipasok oleh pamannya, yang saat itu bekerja sebagai staf bagian gudang sitaan Jepang.[4] Pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya setelah dijajah oleh Jepang. Suaminya kemudian dibebaskan oleh pemerintah yang baru berdiri setelah tiga tahun dipenjara oleh Jepang. Proklamasi kemerdekaan dibarengi dengan kedatangan tentara Belanda yang berupaya untuk menjajah Indonesia kembali, sehingga keluarga Ratjih ikut dalam perjuangan bersenjata untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.[5] Selama Revolusi Nasional Indonesia, Ratjih tinggal di Bandung dan terlibat aktif dalam dapur umum, Palang Merah Indonesia (PMI), dan laskar wanita yang dipimpin oleh Suyatin Arudji Kartawinata. Ratjih membantu memberikan dukungan logistik bagi para pejuang yang berperang melawan tentara Belanda dan mengurus akomodasi keluarga yang sedang mengikuti long march dari Jawa Barat. Bandung kemudian dibumihanguskan oleh pejuang Indonesia, sehingga Ratjih harus pindah ke Tasikmalaya. Dari Tasikmalaya, Ratjih mengikuti suaminya, Husein Kartasasmita, yang saat itu bekerja di Kementerian Pertahanan dan ditugaskan untuk mempersiapkan pemindahan kantor Kementerian Pertahanan ke Yogyakarta. Yogyakarta kemudian diduduki oleh tentara Belanda dalam Agresi Militer Belanda II sehingga Ratjih dan suaminya kembali ke kampung halamannya di Sumedang.[6] Revolusi Nasional Indonesia berlangsung hingga pengakuan kedaulatan melalui Konferensi Meja Bundar pada akhir tahun 1949. Setelah pengakuan kedaulatan, Husein memutuskan untuk pindah ke Jakarta dan memulai bisnis wiraswasta. Husein kemudian membawa Ratjih beserta dengan anak-anaknya untuk tinggal di kawasan Tanah Tinggi.[6] Karier politikPartai Nasional Indonesia dan Wanita Demokrat IndonesiaRatjih dan suaminya memutuskan untuk berkiprah dalam dunia politik pada awal tahun 1950an. Ratih bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) dan terpilih menjadi anggota Dewan Pimpinan PNI Jakarta dan anggota departemen di PNI dalam kongres yang diadakan pada tahun 1951. Setelah terpilih, Ratjih terlibat dalam pembentukan cabang-cabang PNI di Jakarta. Ratjih kemudian duduk sebagai ketua PNI cabang Senen. Rumah tempat tinggalnya kemudian menjadi kantor cabang PNI untuk wilayah Senen dan kantor Dewan Pimpinan Daerah Jakarta.[7] Selain dalam kepartaian, Ratjih juga terlibat dalam organisasi pergerakan wanita. Ratjih, bersama dengan Burdah Yuspadi Hadiningrat, membentuk organisasi Wanita Demokrat Indonesia pada tanggal 14 Januari 1951. Organisasi ini secara resmi bukan merupakan bagian dari PNI, namun mengadopsi dasar politik PNI karena pendirinya merupakan anggota PNI. Setelah beberapa waktu, organisasi ini akhirnya secara resmi masuk ke dalam struktur PNI sebagai onderbouw PNI. Ratjih menjadi semakin aktif dalam pengembangan organisasi pasca masuknya Wanita Demokrat Indonesia ke dalam PNI.[7] Ratjih kemudian mendirikan .[8] Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah JakartaDalam persiapan pemilihan umum legislatif Indonesia pertama yang diadakan pada 1955, Ratjih sempat dicalonkan sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ia juga terlibat sebagai juru kampanye dan penggalang massa dalam kampanye-kampanye PNI. Namun, konflik internal kemudian melanda PNI akibat perbedaan visi politik nasionalisme. Ratjih yang memilih untuk bersikap netral dan tidak memihak dalam konflik tersebut dicoret dari daftar calon DPR PNI.[8] Ratjih kemudian ditunjuk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Peralihan Jakarta yang bertugas dari tanggal 31 Agustus 1956 hingga DPRD Jakarta baru dibentuk pada tanggal 16 Agustus 1957.[9] Setelah DPRD hasil pemilihan daerah dibubarkan, Ratjih ditunjuk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta yang baru pada tahun 1959, yang dibentuk melalui penunjukan alih-alih pemilihan. Ratjih tetap mempertahankan keanggotannya di dalam DPRD setelah DPRD bertransformasi menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong Jakarta (DPRD-GR Jakarta).[10] Ketika peristiwa Gerakan 30 September terjadi, Presiden Soekarno yang kala itu berkuasa disangkutpautkan dan diduga terlibat dalam peristiwa tersebut. Hal ini berdampak negatif pada PNI karena asosiasi partai tersebut dengan sosok Soekarno sebagai pendiri. Akibatnya, aktivitas PNI menjadi terhambat dan organisasi Wanita Demokrat Indonesia (yang kemudian berubah menjadi Wanita Marhaen) mengalami kelumpuhan. Organisasi ini kemudian didirikan kembali pada tahun 1973 dengan nama baru, Pergerakan Wanita Nasional (Perwanas). Ratjih memiliki andil yang sangat besar dalam upaya pendirian kembali organisasi ini.[11] Ratjih kembali menjabat sebagai anggota DPRD-GR ditengah pemecatan massal terhadap anggota DPRD-GR yang terlibat G30S/PKI. Ratjih duduk sebagai ketua Komisi A dalam DPRD-GR yang bertugas mengurusi bidang sosial dan kemasyakaratan. Selain itu, ia juga memegang jabatan-jabatan lainnya dalam DPRD-GR, seperti anggota panitia anggaran dan anggota Badan Perencanaan Pembangunan (sekarang dikenal dengan nama Badan Pembangunan Daerah). Ratjih mengemukakan berbagai pendapat terkait dengan permasalahan sosial di Jakarta, seperti perbaikan Kantor Urusan Agama (KUA) di Jakarta, perbaikan mutu pendidikan bagi sekolah-sekolah berbasis agama Islam, dan pembentukan lembaga pendidikan Islam modern yang didasarkan pada model sekolah Kristen dan Katolik. Dalam rapat-rapat yang membahas mengenai permasalahan-permasalahan sosial dengan pihak eksekutif, Ratjih dijuluki sebagai "singa podium" karena ia dikenal oleh sesama anggota dewan sebagai anggota DPRD yang kritis dan serius.[10] Atas jasa-jasanya sebagai anggota DPRD-GR, Ratjih menerima penghargaan dari Gubernur DKI Jakarta pada tahun 1968.[12] Riwayat organisasiOrganisasi koperasiSelama tahun 1950an, Ratjih mendirikan sejumlah koperasi di lingkungannya, seperti Koperasi Konsumsi Gotong Royong yang didirikan pada tahun 1956 sebagai kooperasi bagi anggota dan keluarga Wanita Demokrat Indonesia,[8] Pusat Koperasi Konsumsi. Ia juga sempat menjabat sebagai pengurus Gabungan Koperasi Konsumsi DKI Jakarta.[13] Organisasi-organisasi ini kemudian digabungkan ke dalam wadah Induk Koperasi Konsumsi (IKK) dan Ratjih duduk sebagai Ketua II dalam struktur organisasi yang ditetapkan pada tahun 1962.[14] Beberapa tahun berselang, Ratjih dipercaya untuk mewakili IKK di dalam organisasi Gerakan Koperasi Nasional Pusat (kemudian berubah menjadi Dewan Koperasi Nasional Pusat). Satu tahun setelah penunjukannya, Ratjih ditunjuk sebagai Ketua Umum IKK, menggantikan Suhardiman yang sudah tidak aktif mengurus IKK. Dalam kapasitasnya sebagai ketua umum IKK, Presiden Soekarno menunjuknya sebagai anggota Dewan Nasional Koperasi, suatu dewan yang berisi tokoh-tokoh nasional yang terlibat dalam kegiatan koperasi.[15] Pada tahun 1970an, Ratjih bersama dengan sejumlah tokoh wanita mempersiapkan pendirian organisasi Koperasi Wanita Indonesia (Kopwani). Kopwani berdiri pada tahun 1975 dan Ratjih menjabat sebagai ketua umum selama dua periode, yakni dari tahun 1975 hingga 1979 dan dari tahun 1979 hingga 1981. Ratjih berpendapat bahwa Kopwani berdiri sebagai sarana pendidikan dan keterlibatan kaum wanita dalam perkooperasian.[15] Organisasi lainnyaSelain organisasi perkooperasian, Ratjih juga mengembangkan sejumlah organisasi lainnya, seperti menghidupkan kembali Yayasan Kemajuan Wanita "Seri Dharma" yang didirikan pada tahun 1928 dan Yayasan Perguruan Kartini yang didirikan pada tahun 1928.[16]. Organisasi-organisasi sosial yang didirikannya yakni Yayasan Dharma Bhakti pada tahun 1957 dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia yang didirikan bersama dengan sejumlah tokoh wanita seperti Nani Sadikin, Lasmidjah Hardi, Yetty Noor, dan lainnya, pada bulan Mei 1973.[17] Dalam bidang pendidikan, Ratjih mengembangkan sejumlah yayasan, seperti Yayasan Pendidikan Cikin dan Yayasan Pendidikan Islam Al-Azhar.[17] Yayasan Al-Azhar kemudian menaungi sejumlah institusi pendidikan Islam: SD, SMP, dan SMA Islam Al-Azhar.[18] Dalam perjalanan selanjutnya, Ratjih bersama dengan sejumlah rekan juga mendirikan Ikatan Alumni Studi Islam yang bertujuan untuk mengadakan tinjauan akademis terhadap Islam dan bantuan studi Islam, serta Yayasan Baitul Ikhsan yang bertujuan untuk membantu pemerintah dalam mengembangkan peranan umat Islam dalam bidang pendidikan. Kedua organisasi ini, yakni Ikatan Alumni Studi Islam dan Yayasan Baitul Ikhsan, memiliki hubungan kerjasama yang erat berkat peranan Ratjih.[17] Menjelang ajalnya, Ratjih masih sempat terlibat dalam sejumlah organisasi, kendati tidak seaktif dulu karena keadaan fisik yang kurang memadai. Ia dipercaya menjadi penasihat Forum Komunikasi Yayasan Sekolah Swasta, penasihat Asosiasi Penyelengara Pendidikan Indonesia, Ketua Paguyuban Wanita Pejuang periode 2000-2003, anggota Badan Penggerak Pembina Potensi Angkatan 45, Penasihat Pusat Koperasi Wanita DKI, dan Penasihat Induk Koperasi Wanita dari tahun 1999 hingga 2004.[12] KeluargaRatjih bertemu dengan calon suaminya, Husein Kartasasmita, ketika sedang berkunjung ke rumah pamannya. Hubungan antara keduanya semakin akrab dari waktu ke waktu, namun tidak direstui oleh keluarga Ratjih. Keluarga Ratjih mengetahui bahwa Husein merupakan duda beranak tiga dan berjarak 11 tahun dari Ratjih. Ayah Ratjih juga sudah menyiapkan calon suami bagi Ratjih. Namun, Ratjih tetap bersikukuh untuk menikahinya. Keduanya akhirnya menikah beberapa saat kemudian.[3] Setelah menikah, Husein yang mengajar di Handelsschool (Sekolah Dagang) Sekolah Pasundan Bandung memboyong Ratjih ke kota tersebut dan meninggalkan pekerjaan lamanya sebagai guru. Meskipun awalnya Ratjih menolak ajakan Husein, namun Ratjih akhirnya mengikutinya.[3] Pasangan tersebut memiliki sepuluh anak. Salah satu anak mereka, Ginandjar Kartasasmita, menjadi menteri di sejumlah kabinet Soeharto dan sempat menjabat sebagai Ketua DPD.[19] Husein wafat pada tanggal 17 Desember 1990 di Jakarta.[20] WafatRatjih wafat pada pukul 11.50 tanggal 9 Juli 2014 di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan.[21][22] Penghargaan dan tanda jasaRatjih memperoleh sejumlah penghargaan dan tanda jasa selama berkiprah dalam dunia politik dan organisasi. Penghargaan dan tanda jasa yang diperolehnya adalah sebagai berikut:[12]
Referensi
Daftar pustaka
|