Rangga Gempol I
Rangga Gempol I (1586-1625 M), terlahir dengan nama Suriadiwangsa, adalah prabu (raja) terakhir dari Kerajaan Sumedang Larang di yang terletak Jawa Barat dengan gelar Kusumadinata III dan bupati pertama dari Kabupaten Sumedang dibawah Kesultanan Mataram. Tokoh ini dikenal akan upayanya menggabungkan daerah Parahyangan di Jawa Barat dengan Mataram dan keterlibatannya sebagai panglima Mataram dalam penaklukan Surabaya khususnya daerah Madura. Kelahiran dan kehidupan awalSuriadiwangsa lahir di Dayeuh Luhur (sekarang masuk Kec. Ganeas, Sumedang) sekitar tahun 1586. Ia sebenarnya merupakan anak kandung dari Panembahan Ratu I atau Pangeran Mas Zainul Arifin, penguasa Kesultanan Cirebon cicit dari Sunan Gunung Jati. Ibunya, Harisbaya dari Madura, awalnya merupakan istri dari Panembahan Ratu I. Namun dikarenakan adanya Peristiwa Harisbaya yang terjadi pada tahun 1585, Harisbaya melarikan diri dari Cirebon dan menetap di Dayeuh Luhur.[1][2] Peristiwa ini terjadi dikarenakan adanya hubungan terlarang antara Prabu Geusan Ulun dan Harisbaya. Keduanya sudah saling mengenal di waktu muda di keraton Pajang, dan kembali bertemu saat Geusan Ulun mengunjungi Cirebon. Harisbaya ingin meninggalkan Cirebon dikarenakan adanya ketidakcocokan dirinya dengan Panembahan Ratu I yang berusia jauh lebih tua. Pelarian Harisbaya ke Dayeuh Luhur mengakibatkan terjadinya konflik antara Cirebon dan Sumedang, yang berakhir dengan kesediaan Panembahan Ratu I untuk menceraikan Harisbaya, dengan pemberian daerah Sindangkasih (kemungkinan Majalengka) kepada Cirebon sebagai ganti rugi.[2][3] Ketika Harisbaya melarikan diri dari Cirebon menuju Dayeuh Luhur, ia sudah mengandung Suriadiwangsa 2 bulan. Geusan Ulun lalu menjadikan Harisbaya sebagai istri sahnya setelah Suriadiwangsa lahir, kemudian membesarkan putranya seperti anak sendiri.[1][4] Jika dirunut dari garis ayah, Suriadiwangsa merupakan keturunan generasi ke-5 dari Syarif Abdullah Umdatuddin, penguasa dari Kerajaan Champa berdarah Azmatkhan (Hadramaut). Syarif Abdullah Umdatuddin menikah dengan Nyi Rara Santang, putri dari Sri Baduga Maharaja, penguasa Kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran.[5][6] Keturunan dari keduanya menjadi para penguasa di Kesultanan Banten, Cirebon, dan wilayah Jawa yang lain. Sementara ibunya Harisbaya adalah anak angkat dari Arya Pangiri. Ia berasal dari Arosbaya (Kab. Bangkalan), Madura, tetapi menghabiskan masa kecilnya di Pajang sebelum menikah dengan Panembahan Ratu I.[7][8] Sebagai rajaSuriadiwangsa naik takhta pada tahun 1608 M dengan gelar Kusumadinata III,[9][10] dimana ia memindahkan pusat pemerintahan dari Dayeuh Luhur menuju Tegal Kalong (sekarang Kec. Sumedang Utara).[11][12][13] Sebelum wafat, Geusan Ulun membagi wilayah Sumedang Larang menjadi dua untuk Suriadiwangsa dan saudara tirinya Rangga Gede, yang merupakan anak kandung Geusan Ulun dari pernikahannya dengan permaisuri Nyi Mas Cukang Gedeng Waru. Rangga Gede memimpin daerah nagara agung Sumedang dengan pusatnya antara Tegal Kalong dan Canukur (Kec. Situraja).[1][14] Keadaan Sumedang Larang setelah Geusan Ulun wafat menjadi tidak menentu dikarenakan banyak daerahnya yang menyatakan memisahkan diri, seperti Ciasem, Karawang, Indramayu, dan Pamanukan. Suriadiwangsa hanya memiliki kendali atas daerah Sukapura (Tasikmalaya), Parakanmuncang (Cicalengka) dan Ukur (Bandung Raya).[2][15] Hubungan Suriadiwangsa dengan ayahnya di Cirebon tidak banyak tercatat dalam sejarah, namun Cirebon sendiri menjadi bagian Mataram sejak tahun 1619.[16][17] Di barat, Kesultanan Banten masih berambisi untuk menaklukan Sumedang Larang, karena penguasanya Sultan Abul Mafakhir masih keturunan dari Sri Baduga Maharaja serta merasa berhak atas seluruh wilayah Kerajaan Sunda. Sementara itu, daerah Ciamis yang merupakan sisa Kerajaan Galuh telah ditaklukan oleh Kesultanan Mataram pada tahun 1595.[2][18] Keadaan di Tatar Sunda semakin diperumit ketika VOC alias Kompeni yang baru mendatangi kepulauan Nusantara, pada tahun 1614 mengirim utusan ke keraton Mataram di Kerto. Mataram yang waktu itu dipimpin Sultan Agung menyatakan pretensi klaim, bahwa wilayah Jawa bagian barat yang tidak dikuasai Banten dan Cirebon merupakan bagian dari Mataram.[1][14] Hal ini menandakan adanya keinginan Sultan Agung untuk menyerbu Sumedang, yang sampai di telinga Suriadiwangsa.[14] VOC sendiri kemudian berhasil menaklukan kota Jayakarta pada tahun 1619 dan mendirikan Batavia dibawah kepemimpinan Jan Pieterszoon Coen.[19][20] Bergabung dengan MataramKeadaan Sumedang Larang di masa pemerintahan Suriadiwangsa tidak menguntungkan, dikarenakan letak geografis kerajaan ini yang terjepit antara kekuatan besar seperti Banten dan VOC di barat serta Mataram di timur. Menurut analisis Suriadiwangsa dan para pembesarnya, Sumedang Larang saat itu tidak memiliki angkatan pertahanan yang cukup untuk menahan serbuan dari arah barat dan timur.[1][21] Dengan menimbang beberapa pertimbangan, Suriadiwangsa akhirnya pada tahun 1620 memutuskan untuk menghadap Sultan Agung di Kerto, dimana ia menyatakan Sumedang Larang sebagai bagian dari Mataram, sedangkan Status Sumedang Larang turun dari negara berdaulat menjadi kabupaten di bawah Mataram.[2][22] Keputusan ini dipilih karena pertimbangan ibu Suriadiwangsa, Harisbaya dibesarkan di Pajang dan berkerabat dengan Sutawijaya, kakek dari Sultan Agung. Mataram juga dianggap memiliki angkatan pertahanan yang mampu melindungi daerah Parahyangan, terutama dari kemungkinan serbuan Banten yang ingin menguasai seluruh bekas wilayah Kerajaan Sunda.[1][23] Sultan Agung menyambut baik kedatangan Suriadiwangsa, dimana ia menganugerahkan Suriadiwangsa gelar Rangga Gempol Kusumadinata[2][24] dan mengangkat Suriadiwangsa untuk menduduki dua jabatan rangkap, yaitu Bupati Sumedang dan Bupati Wedana (setingkat Gubernur) Parahyangan.[25][26] Sebagai Bupati Sumedang, ia dibantu oleh Rangga Gede sebagai wakil Bupati.[1] Sementara sebagai Bupati Wedana ia berperan mengepalai serta mengatur bupati-bupati wilayah Parahyangan yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Sumedang Larang.[18][27] Bergabungnya Sumedang Larang menjadi suatu keuntungan sendiri bagi Mataram, dimana wilayah Parahyangan menjadi benteng alam dari kemungkinan serbuan Banten ke timur, juga sebagai pemasok perbekalan tentara apabila Mataram berencana untuk menyerbu Banten.[28][29] Bergabungnya Sumedang Larang juga membantu Sultan Agung lebih memfokuskan upaya Mataram untuk menaklukan wilayah timur Jawa, khususnya Kadipaten Surabaya yang menguasai rute perdagangan laut dengan wilayah timur seperti Kepulauan Maluku.[30][31] Penyerbuan ke MaduraPada tahun 1620, Mataram memulai penyerbuan ke Surabaya, dimana penyerbuan ini berlangsung lama dan banyak mengorbankan tentara dalam jumlah besar. Antara tahun 1620-1623, Mataram sudah mengirim tiga pasukan ekspedisi untuk menaklukan Surabaya, tetapi ketiganya mengalami kegagalan dikarenakan kurangnya persediaan pangan tentara Mataram serta kokohnya pertahanan alam di sekitar Surabaya.[1][32] Dikarenakan sudah banyak korban jiwa yang jatuh di pihak Mataram serta adanya pemberian bantuan dari VOC kepada Surabaya, Sultan Agung meminta kesediaan para penguasa daerah Mataram untuk membawa dan memimpin pasukan dari daerah asal mereka, untuk membantunya menaklukan Surabaya.[2][33] Sultan Agung meminta Rangga Gempol untuk menaklukan daerah Madura, dengan pertimbangan bahwa ia masih berdarah Madura, sedangkan Madura sendiri merupakan pemasok utama persediaan pangan untuk tentara Surabaya selama dikepung oleh Mataram.[14][25] Pada tahun 1624, Rangga Gempol lalu berangkat membawa tentara Sumedang ke timur, sementara saudara tirinya Rangga Gede menjadi pelaksana tugas Bupati Wedana Parahyangan di Tegal Kalong selama ia berperang.[22][34] Terdapat lima kadipaten di Madura saat Mataram menyerbu Surabaya, yaitu Arosbaya, Balega, Pamekasan, Sampang, dan Sumenep, dimana kelimanya merupakan sekutu Surabaya, dengan Arosbaya sebagai kekuatan terkuat.[35][36] Rangga Gempol membawa tentaranya untuk membantu pasukan Ki Juru Kiting, panglima Mataram berusia lanjut yang saat itu ditugaskan untuk menaklukan Madura.[37] Dalam menaklukan Madura, Rangga Gempol tidak hanya menempuh jalan perang namun juga diplomasi. Daerah Sampang yang ketika itu dipertahankan oleh Raden Prasena, pewaris sah Arosbaya yang masih berusia muda, berhasil dibujuk untuk menyerah ke Mataram.[14][38] Kelak Raden Prasena diangkat oleh Sultan Agung sebagai bupati wedana Madura dengan gelar Cakraningrat I.[39] Daerah-daerah lainnya ditaklukan melalui pertempuran yang banyak menimbulkan korban jiwa, tetapi akhirnya seluruh daerah Madura dapat ditaklukan oleh Mataram.[2][40] Atas jasa-jasanya dalam menaklukan Madura, Rangga Gempol diperintahkan untuk tidak pulang ke Tegal Kalong namun menetap di Kerto sebagai pembesar di keraton Mataram. Para tentaranya yang ikut menetap dengannya lalu membangun kampung Kasumedangan di sekitar Kerto.[41][42] Rangga Gede pun menjadi Bupati Wedana tetap di daerah Parahyangan, dengan wakilnya Wangsanata atau lebih dikenal sebagai Dipati Ukur.[43] Penaklukan Madura oleh Rangga Gempol pada tahun 1624 mengakibatkan Surabaya tidak bisa lagi bertahan dengan mengandalkan pasokan pangan dari sekutunya tersebut.[44][45] Pertahanan Surabaya semakin melemah setelah Sungai Brantas dibendung oleh tentara Mataram, dimana tidak ada pasokan air menuju Surabaya, sehingga penduduknya dilanda kelaparan yang parah. Di tahun 1625, akhirnya Surabaya yang dipimpin oleh Adipati Jayalengkara memutuskan untuk menyerah kepada Mataram.[1][45] KematianKehidupan Rangga Gempol sebagai pembesar Mataram tidak banyak tercatat dalam sejarah. Namun diceritakan bahwa Rangga Gede pernah berkunjung ke Kerto untuk mengunjungi saudaranya, dimana mereka berdua berbincang terkait keberhasilan atas penaklukan Madura. Rangga Gempol berkelakar dengannya kalau ia bisa saja menaklukan Mataram hanya dalam waktu setengah hari.[7][46] Perkataan Rangga Gempol yang bersifat candaan ini lalu sampai ke telinga Dipati Ukur di Parahyangan, yang lalu melaporkan hal kembali ini ke keraton Kerto. Sontak Sultan Agung berang setelah mendengar kabar tersebut, dimana ia menganggap Rangga Gempol memiliki sikap yang sangat jemawa dan meremehkan Mataram.[47][48] Pada tahun 1625, Sultan Agung menjatuhkan hukuman mati terhadap Rangga Gempol dengan cara dipancung. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Lempuyanganwangi, yang saat ini terletak di selatan Stasiun Lempuyangan, Kota Yogyakarta.[24][41] Rangga Gempol menikah dengan Nyi Mas Sulhalimah, salah-satu cucu Maulana Yusuf yang bergelar Ratu Widari selama menjadi permaisuri Sumedang Larang dan dikaruniai 5 anak, yaitu Kartajiwa atau Suriadiwangsa II, Mangunrana, Nyi Sumalintang (Sudarsah), Nyi Nustawijah, dan Tampangkil. Kartajiwa kelak pada tahun 1627 berkomplot dengan Sultan Abul Mafakhir untuk menyerbu Sumedang, dengan tujuan merebut kepemimpinan Parahyangan dari Rangga Gede dan bergabung sebagai wilayah Banten, meski serbuan ini akhirnya berhasil digagalkan oleh Dipati Ukur.[14][34][49] WarisanKeputusan Suriadiwangsa atau Rangga Gempol untuk bergabung dengan Mataram memiliki dampak yang besar dan mendalam untuk penduduk Tatar Sunda kecuali di Banten dan Cirebon. Struktur administrasi di tatar Sunda mengalami perombakan, dimana Sultan Agung membagi-bagi wilayah Parahyangan yang dipimpin oleh para bupati (kaum ménak), yang diangkat langsung olehnya dan sultan-sultan penerusnya. Kaum ménak ini lalu menjadi kelas elit baru dalam masyarakat Sunda, dimana mereka dihormati masyarakat layaknya raja-raja Sunda terdahulu.[9][50][51] Bahasa Sunda di wilayah Parahyangan dan sekitarnya mulai mengenal tingkatan penggunaan bahasa (undak usuk), yaitu penggunaan bahasa halus (lemes) dan bahasa hormat (luluhur/pangagung) yang diperkenalkan di masa pemerintahan Mataram. Tingkatan ini tidak ditemukan dalam Bahasa Sunda Banten dikarenakan Banten tidak pernah berada di bawah kendali Mataram.[52][53][54] Budaya masyarakat sawah di Tatar Sunda juga mulai diperkenalkan oleh Mataram. Sejak era Kerajaan Tarumanegara, masyarakat Sunda merupakan masyarakat dengan budaya berladang (ngahuma) dimana mereka lazim berpindah-pindah lahan untuk membuka ladang di tempat yang dianggap subur.[52][55] Setelah wilayah Parahyangan menjadi bagian dari Mataram, budaya masyarakat sawah yang berasal dari timur mulai diterapkan oleh masyarakat Sunda, terutama penduduk Karawang yang pernah memasok pasukan Sultan Agung ketika menyerbu Batavia.[56][57] Keponakannya, Rangga Gempol II juga berperan langsung dalam memperkenalkan kesenian tembang Sunda (Mamaos) yang merupakan adaptasi dari kesenian tembang yang terdapat di Mataram di abad ke-17.[58][59] Kelak kesenian tembang Sunda hasil pengenalan dari timur ini berkembang menjadi bentuk kesenian Sunda yang dikenal saat ini seperti Tembang Cianjuran.[60][61][62] Wilayah Parahyangan sendiri baru terlepas sepenuhnya dari Mataram setelah adanya Perjanjian pada tahun 1705, dimana Mataram mengakui kedaulatan VOC atas seluruh wilayah Parahyangan.[63][64] Penguasaan VOC atas Parahyangan ini memberikan banyak keuntungan kepada para bupati melalui pembukaan berbagai perkebunan kopi dan teh di Parahyangan.[21][65] Namun dalam perkembangannya VOC semakin sering mencampuri urusan para bupati, seperti dalam urusan pengangkatan pejabat-pejabat kabupaten.[66][67] Provinsi Jawa Barat di era Hindia Belanda sendiri baru terbentuk setelah Perang Diponegoro berakhir pada tahun 1830, dimana wilayah Parahyangan, bersama dengan Banten, Batavia, dan Cirebon merupakan bagian dari provinsi ini.[34][68] Nama Rangga Gempol diabadikan sebagai salah-satu nama jalan di Kec. Bandung Wetan, Kota Bandung.[69] Rujukan
|