Rancangan Malaysia KeduaRancangan Malaysia Kedua (dalam bahasa Indonesia dapat pula disebut sebagai Rencana Malaysia Tahap Kedua) adalah rencana pengembangan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah Malaysia dengan tujuan menjalankan Kebijakan Ekonomi Baru Malaysia. Rencana ini diterapkan tahun 1971 hingga 1975, bertujuan "merestrukturisasi" masyarakat Malaysia dan mengurangi dominasi orang Tionghoa-Malaysia dan asing dalam ekonomi Malaysia sehingga dapat meningkatkan posisi ekonomi orang Melayu.[1] Rencana ini merupakan kelanjutan rencana pertama yang bertujuan mengatasi masalah kemiskinan di antara orang Melayu namun kemudian kurang berhasil, yang merupakan faktor penyebab meletusnya kerusuhan rasial pada tahun 1969 di Kuala Lumpur. Rancangan Malaysia Kedua dianggap berlebihan dalam usaha meningkatkan partisipasi orang Melayu dalam ekonomi. Pemerintah kemudian menurunkan penekanan terhadap restrukturisasi ekonomi ketika rencana ini berakhir. Latar belakangMayoritas penduduk Malaysia merupakan orang Melayu, namun kekuatan ekonomi mereka tidak setara dengan kedudukan tersebut. Pada tahun 1970, Bumiputra hanya memegang 1,9% ekonomi Malaysia, sementara non-Melayu (terutama Tionghoa) memegang 37,4%, dan sisanya berada di tangan orang asing.[2] Akibat dari jurang lebar ini, Pasal 153 dalam Konstitusi Malaysia mengharuskan pemerintah mengatur batasan dalam beasiswa, pekerjaan sebagai pegawai negeri, dll, yang bertujuan meningkatkan ekonomi orang Melayu. Rancangan Malaysia Pertama diterapkan, namun gagal menyeimbangkan ekonomi.[3] Kebijakan dalam rencana tersebut juga menimbulkan ketidakpuasan di antara orang non-Melayu. Dalam pemilihan umum tahun 1969, mereka lebih mendukung partai oposisi yang menolak aksi afirmatif terhadap Bumiputra. Parade kemenangan diadakan pada 12 Mei oleh pendukung oposisi, yang mengakibatkan dikobarkannya reli balasan pada 13 Mei oleh Organisasi Nasional Melayu Bersatu (partai yang sedang berkuasa dalam koalisi Barisan Nasional). Reli tersebut berubah menjadi kerusuhan yang berlangsung selama dua hari. Sekitar 200 orang tewas, dan ribuan orang menjadi tuna wisma. Keadaan darurat dinyatakan, dan sidang Parlemen ditunda. Majelis Gerakan Negara (Mageran) memerintah hingga tahun 1971, ketika Parlemen bersidang kembali.[4] Ketika memegang kekuasaan, Mageran menerapkan Kebijakan Ekonomi Baru yang bertujuan menghapuskan kemiskinan dan menghilangkan "identifikasi ras pada fungsi ekonomi" melalui "ekonomi yang berkembang pesat"; Kebijakan Ekonomi Baru menargetkan Bumiputra memegang 30% ekonomi dalam 20 tahun ke depan.[5] Outline Perspective Plan juga diterima, yang memiliki tujuan yang mirip dengan Kebijakan Ekonomi Baru. Baik NEP dan Outline Perspective Plan berakhir pada 1990, dan Rencana Malaysia Kedua disetujui oleh Parlemen untuk mencapai tujuan dalam kebijakan-kebijakan tersebut.[6] Restrukturisasi ekonomiPada masa rancangan diumumkan, menurut seorang komentator, orang non-Melayu memegang "monopoli terhadap sektor industri dan komersial", dan bertumpu di kawasan perkotaan. Investasi asing memegang kebanyakan industri modern, seperti manufaktur, perbankan, karet, dan timah. Orang Melayu terlibat dalam pekerjaan seperti pertanian dan perikanan. Mereka jarang terlihat sebagai pekerja kerah putih, dan hanya terlihat sebagai pegawai negeri (80% dari kepegawaian negeri telah disediakan untuk orang Melayu). Profesi seperti dokter dan pengacara kebanyakan dipegang oleh orang non-Melayu. Kebijakan pemerintah seperti dalam Pasal 153 terlihat menghalangi keterlibatan orang Melayu dalam sektor swasta dengan memberikan mereka pekerjaan di sektor publik. Pengangguran juga merajalela, terutama diakibatkan oleh kurangnya pendidikan. Sekitar 70% dari 275.000 pengangguran pada tahun 1970 berusia 15 hingga 25 tahun. Hal-hal inilah yang berusaha diubah oleh Kebijakan Ekonomi Baru dan Rancangan Malaysia Kedua.[7] Tujuan utama Rancangan Malaysia Kedua adalah meningkatkan kepentingan ekonomi Melayu, terutama dalam bidang manufaktur dan penambangan.[8] Agar tidak melukai kepentingan ekonomi orang Tionghoa secara langsung, rancangan ini bertumpu pada pertumbuhan ekonomi yang besar.[9] Dana sebesar M$7,25 miliar dialokasikan untuk Rancangan Malaysia Kedua. Meskipun dana yang dialokasikan lebih sedikit dibanding dana Rancangan Malaysia Pertama (M$10,5 miliar), rancangan ini diharapkan mencapai tujuannya.[10] Badan-badan pemerintahan berikut telah didirikan untuk mencapai tujuan Rancangan Malaysia Kedua:
Badan pemerintah lain seperti FELDA meneruskan usaha pembukaan tanah dan permukiman baru di Kedah, Terengganu, Johor, dan Sabah. Proyek-proyek pengairan juga dilaksanakan seperti di Sungai Muda (Kedah), Sungai Kemubu (Kelantan), dan Sungai Kinabatangan (Sabah). IndustrialisasiBeberapa lembaga pemerintah yang didirikan sebelum peluncuran Rancangan Malaysia Kedua telah meningkatkan keterlibatan mereka di dalam ekonomi negara sepanjang pelaksanaan rencana ini. Lembaga tersebut meliputi Lembaga Kemajuan Perindustrian Malaysia (MIDA) dan Majlis Amanah Rakyat (MARA). Beberapa lembaga juga didirikan saat Rancangan Malaysia Kedua seperti Perbadanan Nasional (PERNAS), Perusahaan-perusahaan Kemajuan Ekonomi Negeri (PKEN) dan juga Perbadanan Pembangunan Bandar (UDA).[11] PERNAS didirikan untuk membeli bisnis-bisnis dan bergabung dalam perusahaan patungan bersama dengan sektor swasta, dan juga mengembangkan industri-industri perintis yang akan dipegang hingga kaum Melayu memiliki modal yang cukup untuk mengambil alihnya kelak. Maka pada akhir pelaksanaan RMK2, PERNAS memiliki delapan perusahaan yang terlibat di dalam bidang asuransi, perdagangan, konstruksi, properti, teknik, keamanan dan pertambangan. Joint venture juga didirikan dengan pihak swasta untuk membangun perusahaan pertambangan, kontainer, pariwisata, dan konsultan.[11] Parlemen juga menyetujui Akta Koordinasi Perindustrian 1975 (Akta 156) selama Rancangan Malaysia Kedua, yang mengharuskan semua perusahaan produksi baru dengan M$100.000 atau dengan 25 atau lebih karyawan, diberi lisensi oleh Menteri Perdagangan dan Industri. Untuk mendapatkan lisensi tersebut setiap perusahaan harus memenuhi beberapa syarat yang ditetapkan oleh kementerian itu, yang mungkin berbeda satu sama lain. Produsen-produsen keturunan Tionghoa sangat tidak senang dengan identifikasi akta baru ini karena mereka telah beroperasi sebelumnya dengan sedikit kontrol dari pemerintah. Akan tetapi, pemerintah menyatakan bahwa akta tersebut tidak dirancang untuk mendatangkan masalah antar kelompok. Menurut akta ini, perusahaan-perusahaan swasta terdiri dari tiga kelompok, yaitu perusahaan-perusahaan yang disetujui setelah 1 Januari 1972, perusahaan-perusahaan yang disetujui sebelumnya, dan perusahaan-perusahaan yang beroperasi tanpa lisensi. Semua perusahaan yang diatur di bawah undang-undang tersebut diharuskan mengirim proposal ke kementerian untuk mencapai sasaran jangka panjang kepemilikan perusahaan sebesar 30% untuk orang-orang Melayu dan selebihya untuk bukan Melayu. Proposal yang diterima kemudian dipilih menjadi pedoman untuk menjalankan kegiatan perusahaan.[12] Hingga Rancangan Malaysia Kedua, sektor perusahaan hanya bertumpu di pantai barat Semenanjung Malaysia. Rancangan baru ini berikutnya membentuk kawasan industri di pantai timur untuk menahan perpindahan penduduk dari desa ke kota. Pantai timur sebenarnya kurang dibangun jika dibandingkan dengan pantai barat. Menjelang tahun 1975, kegiatan produksi membentuk sebanyak 16% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Malaysia, yaitu kurang satu persen dari target Rancangan Malaysia Kedua. Sektor ini berkembang dengan perlahan pada tahun 1975 akibat resesi global pada tahun itu. Hal ini berbeda dengan pertumbuhan 15% yang dicapai pada tahun 1974 yang melebihi target sebanyak 12.5% setahun seperti yang diusulkan oleh Rancangan Malaysia Kedua. Makanan, produk perkayuan, dan produk kimia merupakan mayoritas pada sektor produksi. Pertumbuhan signifikan pada sektor produksi selama periode tersebut telah dikaitkan dengan usaha-usaha pemerintah mendirikan kawasan perdagangan bebas. Pada tahun 1974, Penang, Selangor, dan Malaka dinyatakan sebagai kawasan perdagangan bebas. Perusahaan yang ada di wilayah tersebut kebanyakan merupakan perusahaan elektronik, produk karet, dan tekstil.[13] PertambanganHingga akhir tahun 1970-an, Malaysia merupakan produsen utama timah, dan memasok sekitar 40% timah negara-negara non-komunis di dunia. Akan tetapi, persediaan timah semakin berkurang. Kontribusi sektor pertambangan ke PDB negara ini pula diramalkan jatuh hingga 13% sepanjang Rancangan Malaysia Kedua karena berkurangnya persediaan timah dan besi. Akan tetapi, bauksit dan tembaga terus memberikan sumbangannya ke sektor ini pada awal tahun 1970-an. Keterlibatan orang Melayu dalam aktivitas pertambangan sangat kurang, dan sekitar 70% dari sektor ini masih dikendalikan oleh orang-orang asing.[14] Fakta tersebut merupakan warisan dari penjajahan Britania; Banyak perusahaan Britania, yang datang pada abad ke-19 untuk mengeksploitasi sumber dan hasil tambang, belum pergi dari Malaysia. Keterlibatan masyarakat Melayu di sektor ini terhambat dengan kecenderungan orang Inggris pada abad ke-19 membawa masuk buruh Tionghoa yang murah dan hampir semua karyawan di tambang hingga akhir tahun 1970-an adalah orang-orang Tionghoa.[15] Minyak bumi mulai memberikan kontribusi nyata dalam ekonomi Malaysia pada dasawarsa 1970 ketika platform dan penyulingan minyak yang baru mulai dibangun. Menjelang tahun 1975, jumlah produksi minyak mentah tercatat sebesar 90.000 barrel sehari (14.000 m³/d), dan kebanyakan diproduksi oleh perusahaan minyak Shell. Pada tahun 1974, hak eksklusif untuk memiliki, mengeksplorasi, dan mengeksploitasi minyak bumi di Malaysia diberikan pada perusahaan milik pemerintah yaitu Petronas. Tahun berikutnya, Petronas diberi hak tunggal atas pemasaran dan distribusi semua produk minyak, dan ketentuan untuk mengontrol perusahaan-perusahaan lain tanpa memiliki kepemilikan di dalamnya, melalui pengeluaran saham-saham manajemen kepada Petronas.[16] Jumlah orang-orang Melayu yang terlibat di dalam sektor pertambangan meningkat dimulai pada tahun 1970 ketika pemerintah menerapkan kebijakan-kebijakan perombakan sistem ekonomi negara. Saat Rancangan Malaysia Kedua dimulai, kurang dari 200.000 orang-orang Melayu bekerja dalam industri pertambangan. Menjelang tahun 1990, jumlah itu mencapai hingga sejuta orang, melebihi jumlah yang ditargetkan pada awalnya.[17] Lisensi-lisensi menambang diberikan khusus kepada orang-orang Melayu sebagai usaha untuk meningkatkan partisipasi mereka dalam industri ini.[18] emerintah tampak berusaha keras meningkatkan kepemilikan Bumiputera dengan menasionalisasikan beberapa perusahaan pertambangan yang pernah dimiliki orang-orang asing. Menjelang tahun 1989, perusahaan milik pemerintah mengontrol sekitar 60% industri pertambangan.[19] Pemerintah juga dibantu oleh faktor produksi minyak yang kemudian melebihi tambang lainnya. Karena Petronas merupakan perusahaan milik pemerintah, perusahaan tersebut dianggap sebagai perusahaan Bumiputera. Namun, praktik pemerintah ini telah dikritik dengan argumen bahwa perusahaan-perusahaan milik pemerintah adalah milik semua orang dan bukan hanya Bumiputera. PertanianRancangan Malaysia Kedua melanjutkan usaha-usaha rencana lima tahun sebelumnya, seperti Rancangan Malaya Pertama. Meskipun biaya untuk pembangunan lainnya telah meningkat mencapai M$1 juta, dana untuk pengembangan pedesaan juga ditambahkan. Rancangan Malaysia Kedua bertumpu pada usaha meragamkan tanaman di Malaysia. Rancangan Buku Hijau diluncurkan pada tahun 1974 dengan tujuan mengurangi ketergantungan Malaysia terhadap impor makanan dengan mendorong petani-petani menanam sayuran sepeti kacang panjang, cabai dll., dan menernak hewan. Pupuk, kecambah, insektisida, dan herbisida disubsidi. Tumpang sari padi dianjurkan, sehingga petani dapat memanen dua kali dalam setahun.[20][21][22] Lembaga Pertubuhan Peladang didirikan pada tahun 1973 untuk mengkoordinasikan kerjasama dalam sektor pertanian antara asosiasi petani dan badan pemerintah.[23] Pertumbuhan sektor petani-petani kecil dipandang penting dalam membuka peluang pekerjaan dan mengurangi tingkat kemiskinan di pedesaan. Maka beberapa lembaga pemerintah seperti Lembaga Pembangunan Tanah Federal (FELDA) telah memperluas ukuran program pembangunan mereka. Pihak Berkuasa Kemajuan Pekebun Kecil Perusahaan Getah (RISDA) telah ditugaskan meragamkan ladang petani kecil. Bahkan RISDA sendiri telah menetapkan satu target untuk mengembangkan tanah seluas 150.000 are (610 km²) sewaktu Rancangan Malaysia Kedua. Kebijakan utama berikutnya adalah rencana meragamkan sektor pertanian dengan penanaman kelapa sawit. Ekonomi Malaysia sebelumnya terlalu bergantung pada karet. Pada puncaknya, Malaya (Semenanjung Malaysia) menghasilkan hampir separuh dari kebutuhan karet dunia. Akan tetapi, Depresi Besar sekitar tahun 1930-an telah menyebabkan harga karet jatuh, dan secara langsung memengaruhi ekonomi negara ini. Maka, pemerintah ingin agar kejadian yang sama tidak terulang kembali dengan meragamkan sektor perkebunan. Akan tetapi, RISDA dianggap telah melampaui batas kemampuannya dalam percobaan mengambil tanah secara terburu-buru dan kemudian dikembangkan sebagai ladang kelapa sawit. Menjelang akhir Rancangan Malaysia Kedua, hanya 40.000 are (160 km²) saja yang telah dikembangkan, dengan separuh di antaranya adalah ladang kelapa sawit.[24][25] Kebijakan pengembangan tanah dan relokasi dilakukan oleh pemerintah, namun gagal memberi memberi pengaruh positif terhadap masalah kemiskinan di pedesaan. Pemerintah hanya berhasil menempatkan kembali sejumlah 40.000 orang meskipun diperkirakan sejumlah 535.000 keluarga yang bekerja dalam sektor pertanian hidup di bawah tingkat kemiskinan. Akibat kelemahan program itu, orang yang mendapat manfaat dari rencana ini tidak selalu datang dari kaum yang benar-benar membutuhkannya. Beberapa pihak juga mengatakan bahwa proses relokasi dan pembangunan wilayah baru diberi penekanan lebih dibandingkan meningkatkan daya produksi ladang-ladang dan kebun-kebun yang ada. Hal ini seterusnya dirumitkan oleh Konstitusi Malaysia yang menempatkan kontrol atas urusan tanah ke pemerintah negeri sekaligus mengharuskan pemerintah federal berkonsultasi dengan setiap pemerintah negeri satu per satu. Keluarga bukan Melayu di pedesaan juga tidak menerima tunjangan ini karena Konstitusi Persekutuan menyediakan sebagian wilayah untuk orang-orang Melayu, dan pemerintah negeri tidak ingin menerima golongan non-Melayu yang miskin.[26] Meskipun Rancangan Malaysia Kedua telah memodernisasi negeri-negeri "swasembada beras" seperti Kedah dan Perlis (seperti mengganti kerbau dengan mesin membajak), tidak semua pengusaha kecil menerima manfaat teknologi ini. Di bidang perusahaan pertanian, orang-orang Melayu hanya memegang sekitar 0,3% dibandingkan 70,8% yang dimiliki oleh orang asing. Berbeda pula kondisinya di dalam sektor bukan perusahaan yang menyaksikan orang-orang Melayu mengontrol sekitar 47,1%. Akibat kekurangan modal, kebanyakan pengusaha-pengusaha Melayu masih terlibat di dalam "aktivitas berproduktivitas rendah" saat Rancangan Malaysia Kedua berakhir.[27] KesehatanRancangan Malaysia Kedua melanjutkan sebelumnya dalam meningkatkan gizi dalam beberapa program. Program tersebut meliputi dorongan mengembangkan makanan bernutrisi, panduan makanan dan perencanaan hidangan, serta penyediaan makanan untuk kelompok-kelompok yang kekurangan gizi. Akan tetapi, rencana ini terhambat oleh kurangnya petugas medis. Meskipun keluarga berencana ditetapkan sebagai sasaran negara pada tahun 1964, usaha-usaha menggalakkannya dihambat oleh pengabaian pemerintah. Kebanyakan berita keberhasilan yang dicapai oleh Lembaga Perancang Keluarga Negara terjadi sewaktu Rencana Malaysia Pertama (RMP) dari tahun 1966 hingga 1970. Rancangan Malaysia Kedua ingin menambahkan 600.000 pengguna baru metode keluarga berencana, tetapi fasilitas dan petugas tidak cukup.[28] Ironisnya, pada tahun 1984, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad secara efektif meninggalkan kebijakan keluarga berencana dengan meluncurkan Kebijakan Kependudukan Negara yang menargetkan jumlah penduduk Malaysia pada tahun 2100 mencapai 70 juta orang.[29] PendidikanMeskipun pendidikan di Malaysia hampir dipinggirkan pada masa Rancangan Malaysia Kedua, beberapa usaha penting dilakukan selama ini.[30] Pada tahun 1970, bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, dijadikan bahasa perantara dalam proses pengajaran dan pembelajaran dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, menggantikan bahasa Inggris. Ujian nasional yang sebelumnya berstandar Inggris diganti dengan ujian lokal, dan banyak buku teks dalam bahasa Melayu diterbitkan. Menjelang berakhirnya periode rencana ini, hampir semua sekolah yang berbahasa Inggris telah dimodifikasi untuk mengajar kurikulum berbasis bahasa Melayu.[31] Pada tahun 1973, Pusat Perkembangan Kurikulum didirikan. Misi utamanya adalah mengkoordinasikan proyek perombakan kurikulum yang sebelumnya dikelola oleh beberapa departemen pemerintah. Pusat ini juga bertindak merombak kurikulum sains dan matematika selain memulai usaha baru meneliti kurikulum sains-sains kemasyarakatan.[32] Rancangan Malaysia Kedua juga diharapkan mampu meningkatkan peluang pendidikan dan pelatihan dalam bidang kejuruan dan teknik. Meskipun dilakukan beberapa percobaan, kemajuan dalam usaha memperbaiki kurikulum hanyalah sedikit saja. Hal ini terjadi karena konsentrasi lebih diberikan terhadap usaha memberikan peluang pendidikan umum. Akan tetapi, beberapa sekolah teknik dan kejuruan telah didirikan selama Rancangan Malaysia Kedua. Diharapkan usaha ini dapat mengurangi masalah pengangguran, terutama di kalangan remaja.[33] TransportasiRancangan Malaysia Kedua bercita-cita modernisasi jaringan kereta api di Malaysia yang dianggap oleh pemerintah penting bagi pembangunan dan industri. Semua kereta api dimodifikasi untuk menggunakan bahan bakar yang lebih efisien, yaitu diesel, dan pemerintah menaikan ketentuan untuk perawatan dan modernisasi prasarana kereta api ini. Penekanan diberikan khususnya terhadap usaha-usaha meningkatkan kereta api penumpang, kereta api barang, penambat rel, bantalan rel, dan fasilitas perbaikan.[34] Layanan udara juga dikembangkan. Di bawah Rancangan Malaysia Kedua, pembelian semua peralatan cuaca dan lalu lintas malam dibayarkan. Selain itu, pelatihan petugas untuk menggunakan peralatan tersebut juga dilakukan. Pada masa RMK2 pula, Malaysia-Singapore Airlines dipisah menjadi Malaysia Airline System (MAS) dan Singapore Airlines (SIA).[35] Pada masa RMK2 pula, kontainerisasi diperkenalkan di Malaysia untuk meningkatkan layanan transportasi. Rancangan ini menyerukan pendirian perusahaan pengangkutan nasional untuk menangani transportasi darat. Maka, pada Agustus 1971, Kontena Nasional Berhad didirikan oleh pemerintah. Pada bulan Desember, M. V. Benavon menjadi kapal kontainer pertama yang berlabuh di Malaysia, yaitu di Terminal Utara Port Klang di Selangor.[36] Pada masa Rancangan Malaysia Kedua, terdapat dua pelabuhan di Malaysia: satu di Penang, dan satu lagi di Klang. Rancangan ini menggariskan usaha mendirikan dua buah pelabuhan baru di Semenanjung Malaysia. Tempat yang dipilih adalah Johor Bahru di Johor dan Kuantan di Pahang. Dua tujuan utama proyek pembangunan ini adalah untuk memenuhi peningkatan permintaan terhadap transportasi laut dan membawa pembangunan ke negeri-negeri yang kurang berkembang. Pelabuhan Johor selesai dibangun pada tahun 1977, sedangkan Pelabuhan Kuantan mulai beroperasi pada tahun 1984.[37] WarisanPada akhir Rancangan Malaysia Kedua, tingkat kemiskinan berkurang dari 49% ke 43%. Tingkat pengangguran juga berkurang dari 7,5% ke 7,4%. Partisipasi kaum Bumiputera ke dalam sektor swasta juga meningkat. Persentase Bumiputera yang dipekerjakan dalam sektor produksi bertambah dari 29% hingga 33%. Pada sektor perdagangan, tercatat peningkatan dari 24% ke 34%. Kepemilikan modal Bumiputera meningkat dari 3% hingga 7,8%. Akan tetapi, rekor ini masih belum dianggap membanggakan oleh banyak pihak, terlebih lagi kemajuan itu terjadi karena perusahaan-perusahaan pemerintah memegang kepemilikan.[38] Meskipun rancangan ini pada awalnya menargetkan pertumbuhan PDB sebesar 12,5% setahun, hanya rata-rata 11% yang berhasil dicatat. Pertumbuhan itu sangat tidak merata. Pada tahun 1973, PDB tumbuh sebesar 27%, sedangkan pada tahun 1975 PDB hanya tumbuh 3% akibat resesi ekonomi dunia pada masa itu.[39] Meskipun pemerintah berusaha menangani pengangguran dengan menciptakan 600.000 pekerjaan baru sewaktu RMK2, jumlah penganggur sebenarnya semakin meningkat antara tahun 1970 dan 1975. Pada tahun 1970, terdapat 275.000 penganggur, sedangkan pada tahun 1975 tercatat sebesar 324.000 orang.[40] Rancangan Malaysia Kedua juga harus menghadapi masalah yang tidak diperkirakan, yaitu inflasi. Antara tahun 1972 hingga 1975, indeks harga konsumen (IHP) meningkat di luar perkiraan sebesar 40%. Tingkat inflasi tercatat sekitar 18% pada tahun 1974, tetapi turun hingga 7% pada tahun 1975.[41] Permasalahan baru seperti ini dipikirkan oleh pemerintah saat merencanakan Rancangan Malaysia Ketiga (RMK3). Satu lagi efek RMK2 adalah usaha-usaha meragamkan tanaman. Di balik kegagalan RISDA memenuhi sasarannya, industri kelapa sawit di Malaysia terus berkembang. Menjelang tahun 1998, kelapa sawit merupakan penyumbang terbesar PDB Malaysia setelah produk elektronik.[42] Secara keseluruhan, Rancangan Malaysia Kedua lebih berhasil dibandingkan dengan program sebelumya dalam menangani ketidakadilan ekonomi. Akan tetapi, penekanan untuk meningkatkan posisi orang-orang Melayu telah mengkhawatirkan kaum non-Melayu. Ketika Rancangan Malaysia Ketiga ditetapkan, pemerintah telah mengurangi penekanan ini dan sebaliknya memusatkan perhatian terhadap pertumbuhan ekonomi yang akan memberi manfaat kepada semua pihak.[9] Lihat pulaCatatan kaki
Referensi
|