Ranavalona III
Ranavalona III (22 November 1861 – 23 Mei 1917) adalah penguasa terakhir Kerajaan Madagaskar. Ia bertakhta dari 30 Juli 1883 hingga 28 Februari 1897, meskipun perannya hanya bersifat seremonial. Ia berasal dari golongan Andriana (bangsawan), dan saat masih muda ia dipilih untuk menggantikan Ratu Ranavalona II seusai kematiannya. Seperti dua ratu sebelumnya, Ranavalona melakukan perkawinan politik dengan seorang anggota golongan Hova (orang merdeka) yang bernama Rainilaiarivony. Rainilaiarivony lalu mengemban amanat sebagai Perdana Menteri Madagaskar dan bertanggung jawab mengawasi jalannya pemerintahan sehari-hari serta mengatur hubungan luar negeri kerajaan. Masa pemerintahan Ranavalona diwarnai dengan upayanya membendung ambisi kolonialisme pemerintah Prancis dengan cara memperkuat hubungan dagang dan diplomatik dengan Amerika Serikat dan Britania Raya. Namun, segala usahanya pada akhirnya sia-sia. Serangan Prancis terhadap kota-kota pelabuhan di pesisir dan terhadap ibu kota Madagaskar di Antananarivo mengakibatkan jatuhnya istana kerajaan pada tahun 1895, sehingga mengakhiri kedaulatan dan otonomi politik kerajaan ini yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya. Pemerintah kolonial Prancis yang baru dibentuk segera mengasingkan Rainilaiarivony ke Aljir, sementara Ranavalona dan dewan menterinya pada awalnya diizinkan untuk tetap tinggal di istana sebagai pemimpin simbolis belaka. Namun, berkembangnya gerakan perlawanan rakyat, yang disebut pemberontakan menalamba ("selendang merah"), serta tersibaknya intrik-intrik politik anti-Prancis di istana membuat Prancis mengasingkan ratu ke pulau Réunion pada tahun 1897. Rainilaiarivony menjemput ajal pada tahun yang sama dan tidak lama kemudian Ranavalona dipindahkan ke sebuah vila di Aljazair bersama dengan beberapa anggota keluarganya yang tersisa. Ratu, keluarga, dan para pelayan yang menemaninya diberikan tunjangan oleh Prancis dan menikmati gaya hidup yang cukup nyaman, termasuk beberapa perjalanan ke Paris untuk berbelanja dan bertamasya. Ranavalona berulang kali memohon untuk diizinkan pulang ke Madagaskar, tetapi permohonan itu selalu ditolak. Ranavalona meninggal dunia akibat penyakit embolisme di vilanya di Aljir pada tahun 1917 pada usia 55 tahun. Jenazahnya dikuburkan di Aljir, tetapi 21 tahun kemudian digali kembali dan dikirim ke Madagaskar. Jenazah tersebut lalu disemayamkan di dalam makam Ratu Rasoherina yang termasuk dalam kompleks kerajaan di Rovan'i Manjakamiadana. Namun, kebakaran pada tanggal 6 November 1995 merusak kawasan pemakaman istana. Jenazah Ranavalona III paling tidak masih dapat diselamatkan dan lalu dipindahkan ke makam kerajaan di Ambohimanga. Tahun-tahun awalRanavalona III terlahir dengan nama Putri Razafindrahety pada tanggal 22 November 1861 di Amparibe, sebuah desa di distrik Manjakazafy di luar Antananarivo, dari pasangan Andriantsimianatra dan istrinya yang bernama Raketaka.[3] Razafindrahety masuk dalam silsilah keluarga kerajaan sebagai keponakan Ratu Ranavalona II dan cicit Raja Andrianampoinimerina, sehingga ia memenuhi syarat untuk mewarisi takhta Kerajaan Madagaskar.[4] Orang tuanya menugaskan seorang budak yang melayani keluarganya untuk merawat bayi Razafindrahety.[5] Ketika Razafindrahety sudah cukup umur untuk bersekolah, ia diasuh oleh bibinya, Ratu Ranavalona II, yang memastikan agar Razafindrahety dididik secara pribadi oleh seorang guru dari London Missionary Society (LMS).[3] Razafindrahety digambarkan sebagai seorang anak yang rajin dan ingin tahu, dengan kecintaan yang kuat dalam mempelajari Alkitab, belajar, dan membaca; ia juga menjalin hubungan yang penuh kasih sayang dengan para gurunya.[5] Pada masa remajanya, ia melanjutkan pendidikannya di Sekolah Kongregasional Ambatonakanga, Sekolah Tinggi Sahabat untuk Anak-anak Perempuan, dan Sekolah Pusat Anak-anak Perempuan LMS. Ia dibaptis menjadi seorang Protestan di Ambohimanga pada 5 April 1874.[3] Guru-gurunya secara konsisten mengambarkannya sebagai salah seorang murid berprestasi di antara siswa-siswa terpintar mereka.[5] Saat masih muda, Razafindrahety menikah dengan seseorang dari golongan Andriana yang bernama Ratrimo (Ratrimoarivony). Suaminya tutup usia beberapa tahun kemudian pada 8 Mei 1883 pada saat Razafindrahety berusia 22 tahun, sehingga ia menjadi seorang janda muda.[6] Menurut gosip yang beredar, Perdana Menteri Rainilaiarivony mungkin telah memerintahkan agar Ratrimo diracuni. Revolusi Aristokrat pada tahun 1863, yang didalangi oleh kakak laki-laki Rainilaiarivony (yaitu Perdana Menteri Rainivoninahitriniony), telah menyebabkan bergantinya pemerintahan absolut kaum Andriana menjadi monarki terbatas. Dalam sistem tersebut, kekuasaan dibagi oleh seorang penguasa monarki dari golongan Andriana dan seorang perdana menteri dari golongan Hova. Sistem ini dikukuhkan oleh pernikahan politik antara perdana menteri dengan seorang ratu yang bertakhta. Setelah Raja Radama II tewas dicekik selama revolusi tersebut pada tahun 1863, ia digantikan oleh istrinya, Rasoherina, yang kemudian dinikahkan dengan perdana menteri yang berkuasa saat itu, Rainivoninahitriniony. Rainilaiarivony dan Rasoherina lalu bersekongkol untuk menjatuhkan Rainivoninahitriniony, dan setelah berhasil mereka berdua pun menikah. Ratu Rasoherina menjemput ajalnya pada tahun 1868 dan digantikan oleh sepupunya sekaligus istri mendiang Radama II yang lain, Ranavalona II. Rainilaiarivony lalu menikahi Ranavalona II. Saat Ratu Ranavalona II mendekati kematiannya, upaya untuk mencari penerusnya dimulai, dan Rainilaiarivony mungkin saja sengaja meracuni Ratrimo sehingga Razafindrahety, calon penerus yang dianggap paling memenuhi syarat, dapat menikahi sang perdana menteri dan lalu naik takhta.[6] Masa pemerintahanRanavalona III diangkat sebagai ratu setelah kematian Ratu Ranavalona II pada tanggal 13 Juli 1883.[7] Ia lalu pindah ke Tsarahafatra, sebuah rumah kayu di lahan kerajaan di kompleks Rova di Antananarivo.[8] Ketika Ranavalona berulang tahun yang ke-22 pada 22 November 1883, ia dimahkotai di daerah Mahamasina di Antananarivo, dan mendapat gelar "Yang Mulia Ranavalona III atas rahmat Tuhan dan kehendak rakyat, Ratu Madagaskar, dan Pelindung hukum Bangsa".[9] Ia memutuskan untuk melanggar tradisi dengan melengkapi rombongan tentara pada upacara penobatannya dengan sekelompok siswa yang terdiri dari 500 siswa dan 400 siswi dari sekolah-sekolah terbaik di ibu kota. Gadis-gadis tersebut berpakaian putih, sedangkan anak laki-laki mengenakan seragam tentara dan melakukan latihan militer tradisional dengan tombak. Ranavalona dinobatkan dengan mengenakan gaun sutra putih dengan kereta merah yang menampilkan hiasan sulaman dan emas.[10] Pers Amerika Serikat menggambarkan Ranavalona memiliki tinggi tubuh yang sedikit lebih tinggi dan kulit yang sedikit lebih gelap dibanding orang-orang pada umumnya, memiliki wajah yang lembut, sedikit pemalu dan memimpin upacara-upacara resmi istana dengan baik.[11] Seperti dua pendahulunya, Ranavalona melakukan perkawinan politik dengan Perdana Menteri Rainilaiarivony. Peran ratu muda kebanyakan hanya bersifat upacara semata, karena hampir semua keputusan politik yang penting diambil oleh perdana menteri yang jauh lebih tua dan berpengalaman. Ravanalona sering diminta untuk menyampaikan pidato resmi (kabary) kepada masyarakat, dan ia juga muncul di muka umum untuk meresmikan gedung-gedung baru, seperti sebuah rumah sakit di Isoavinandriana dan sekolah putri di Ambodin'Andohalo.[12] Pada masa pemerintahannya, bibi Ranavalona yang bernama Ramisindrazana menjadi penasihatnya dan memiliki pengaruh yang cukup besar di istana. Saudara perempuan Ranavalona yang lebih tua, Rasendranoro (yang tinggal dengan putranya, Rakatomena, dan istrinya, Razafinandriamanitra, di Rova), juga merupakan seorang pendamping dekatnya. Seorang wartawan Amerika Serikat yang mengunjungi istananya melaporkan bahwa Ranavalona menghabiskan banyak waktu luangnya dengan bermain layangan atau loto dengan kerabat dan wanita-wanita lainnya di istana.[11] Ia juga gemar merajut, menjahit, dan merenda, dan sering kali ia membawa proyek kerajinan terbarunya untuk dikerjakan selama pertemuan kabinet.[5] Dia sangat menyukai pakaian mewah, dan merupakan satu-satunya penguasa monarki Madagaskar yang mengimpor sebagian besar pakaiannya dari Paris daripada London.[11] Perang Prancis-HovaSebagai penguasa Madagaskar, Ranavalona III menjadi pion dalam persaingan antara Britania Raya dan Prancis yang telah berlangsung semenjak awal abad ke-19. Ketegangan antara Prancis dengan Madagaskar semakin memanas khususnya dalam rentang waktu tiga tahun sebelum Ranavalona naik takhta, dan serangan-serangan semakin menguat beberapa bulan sebelum Ranavalona dimahkotai. Pada Februari 1883, pesisir barat laut Madagaskar dibombardir, dan lalu Mahajanga diduduki oleh pasukan Prancis pada bulan Mei, sementara Toamasina dibombardir dan direbut pada bulan Juni. Serangan di sepanjang pesisir utara masih berlangsung pada saat Ranavalona III dinobatkan sebagai ratu pada musim panas 1883. Tak lama setelah Prancis memulai penyerangan, Perdana Menteri Rainilaiarivony memutuskan untuk meminta bantuan kepada Letnan Kolonel Willoughby, seorang warga Britania yang telah memperoleh pengalaman dalam Perang Inggris-Zulu (tanpa harus menjadi anggota angkatan bersenjata Britania Raya), dalam mengatur urusan militer negara dan melatih tentara ratu untuk mempertahankan pulau tersebut dari serangan Prancis yang tampaknya sudah tak terelakkan lagi.[4] Pada masa ini, Madagaskar terus mencoba berunding dengan Prancis, tetapi upaya ini gagal karena kedua belah pihak menolak berkompromi dalam hal-hal tertentu. Setelah dua tahun mengalami kebuntuan, sejumlah pasukan Prancis menyampaikan sebuah ultimatum kepada Madagaskar pada Desember 1885, yang menuntut beberapa hal, seperti pengakuan klaim Prancis di Madagaskar timur laut, pendirian protektorat Prancis atas orang-orang Sakalava, serta ganti rugi sebesar 1.500.000 franc. Perjanjian perdamaian yang mengandung butir-butir tersebut diratifikasi oleh Ranavalona dan Rainilaiarivony pada Januari 1886 dan kemudian oleh perwakilan pemerintah Prancis dua bulan sesudahnya.[13] Sebelum diratifikasi, ratu dan perdana menteri sudah meminta klarifikasi tentang pasal di dalam perjanjian utama yang menyatakan bahwa "hubungan luar negeri" akan dikendalikan oleh seorang residen dari Prancis, dan juga pasal yang terkait dengan "pendirian" di Teluk Diego Suarez. Dua perunding utama Prancis, yaitu Menteri Patrimonio dan Laksamana Miot, memberikan penjelasan yang dilampirkan dalam perjanjian yang membuat para penguasa Madagaskar bersedia meratifikasi perjanjian tersebut karena dirasa sudah cukup untuk menjamin kedaulatan Madagaskar. Namun, perjanjian resminya diterbitkan di Paris tanpa adanya lampiran atau penyebutan keberadaan lampiran. Ketika lampiran tersebut kemudian diterbitkan di London, Prancis menganggap lampiran tersebut tidak sah. Prancis lalu menyatakan pendirian sebuah protektorat di Madagaskar meskipun pemerintah Madagaskar menolak hal tersebut.[4] Tanggapan internasional terhadap peristiwa ini bermacam-macam dan sangat dipengaruhi oleh kepentingan nasional. Britania Raya tidak bersedia membela kedaulatan Madagaskar untuk menghindari pembalasan dari Prancis, dan juga untuk memastikan agar Prancis mau mengakui klaim protektorat Britania di kawasan lain. Semua komunikasi resmi Britania Raya dengan Madagaskar selanjutnya dikirimkan melalui residen Prancis, tetapi hal ini tidak diakui secara resmi oleh Ranavalona dan istananya. Di sisi lain, Amerika Serikat dan Jerman masih menjalin hubungan langsung dengan pemerintahan ratu. Akibat munculnya perbedaan ini, salah satu aspek perjanjian harus ditafsirkan ulang, sehingga wewenang ratu di dalam negeri tetap dapat dipertahankan.[4] Pada tahun 1886, sang ratu berusaha mencoba mencari dukungan dari Amerika Serikat dalam upaya mempertahankan kedaulatan Madagaskar dengan mengirimkan hadiah-hadiah kepada Presiden Grover Cleveland, termasuk pakaian akotofahana dari sutra dan keranjang anyaman.[14] Namun, Amerika Serikat tidak mampu dan juga tidak bersedia membela kemerdekaan Madagaskar secara militer maupun diplomatik. Ranavalona lalu menandatangani perjanjian yang memberikan lebih banyak konsesi kepada Prancis pada tanggal 12 Desember 1887.[4] Klaim Prancis atas Madagaskar secara resmi diakui oleh Britania Raya dalam sebuah perjanjian pada tahun 1890.[15] Dari tahun 1890 hingga 1894, Prancis melakukan pendekatan yang lebih agresif dan berupaya mengklaim apa yang mereka yakini sebagai hak wilayah yang telah ditetapkan oleh perjanjian sebelumnya. Namun, klaim Prancis dianggap oleh Ranavalona dan Rainilaiarivony sebagai pelanggaran kedaulatan Madagaskar yang tidak dapat dibenarkan. Akhirnya Charles Le Myre de Vilers diutus untuk membujuk ratu dan perdana menterinya untuk menerima perjanjian yang telah ditandatangani sebagaimana ditafsirkan oleh Prancis. Tawaran itu ditolak mentah-mentah, sehingga hubungan diplomatik antara Prancis dan Madagaskar putus pada November 1894.[4] Setelah mengakhiri hubungan diplomatik, Prancis membombardir dan menduduki pelabuhan Toamasina di pesisir timur pada Desember 1894, kemudian merebut Mahajanga di pesisir barat pada bulan berikutnya dan lalu memasuki wilayah pedalaman secara bertahap sembari membangun jalan melalui rawa-rawa yang dipenuhi nyamuk malaria. Pasukan ekspedisi utama tiba pada bulan Mei.[15] Lebih dari 6.000 orang dari 15.000 pasukan yang dikirim oleh Prancis tewas akibat penyakit saat mereka bergerak ke arah pedalaman,[16] sehingga bala bantuan didatangkan dari jajahan Prancis di Aljazair dan Afrika Sub-Sahara. Pasukan Prancis berhasil mencapai kawasan ibu kota pada September 1895.[15] Pasukan Madagaskar sempat menahan tentara Prancis di pinggiran kota selama tiga hari, tetapi setelah Prancis membombardir kompleks istana Rova dengan artileri berat, Ranavalona bersedia menyerahkan kerajaannya kepada Prancis.[16] Penjajahan PrancisPrancis secara resmi menganeksasi Madagaskar pada tanggal 1 Januari 1896. Pada Agustus 1896, Prancis menyatakan Madagaskar sebagai koloninya dan lalu mengasingkan Perdana Menteri Rainilaiarivony ke Aljir; ia meninggal di kota tersebut setahun kemudian.[1] Sang ratu dan kebanyakan anggota pemerintahannya masih diperbolehkan tinggal di Madagaskar, tetapi tidak memiliki kekuasaan politik apapun. Tak lama setelah Rainilaiarivony diasingkan, Ranavalona didekati oleh seorang pejabat Prancis yang memberitahukan kepadanya bahwa dibutuhkan seorang perdana menteri yang baru. Sang ratu langsung menyimpulkan bahwa Jenderal Jacques Duchesne, jenderal Prancis yang memimpin kampanye militer melawan Kerajaan Merina, mungkin akan dipilih. Dengan asumsi bahwa tradisi politik Madagaskar masih berlaku, Ranavalona mengira bahwa ia akan dipaksa menikahi laki-laki manapun yang akan dijadikan perdana menteri, dan ia dengan cemas bertanya apakah Duchesne akan menjadi suaminya. Si pejabat Prancis terkejut mendengar pertanyaan ini dan lalu memastikan kepada sang ratu bahwa Prancis tidak bermaksud memaksanya untuk menikahi siapapun yang akan menjadi seorang perdana menteri. Sesudah itu, menteri luar negeri sang ratu yang bernama Rainitsimbazafy diangkat sebagai perdana menteri dengan persetujuan dari Ranavalona dan juga dari pihak kolonial Prancis.[17] Pada Desember 1895, dua bulan setelah Prancis merebut Antananarivo, dimulai sebuah pemberontakan gerilya melawan orang asing, agama Kristen, dan korupsi politik, yang dikenal dengan sebutan pemberontakan menalamba. Pemberontakan ini dikobarkan oleh para petani yang mengenakan selendang yang diolesi dengan tanah laterit merah dari dataran tinggi. Gerakan perlawanan pada akhirnya dipadamkan oleh militer Prancis pada akhir 1897.[18] Orang-orang istana Ranavalona dituduh telah mendukung para pemberontak, dan banyak tokoh-tokoh penting yang dihukum mati, termasuk paman sang ratu, Ratsimamanga, dan menteri perangnya, Rainandriamampandry. Bibi sang ratu yang bernama Ramisindrazana diasingkan ke Réunion, karena Prancis enggan menghukum mati seorang wanita.[19] Akibat pemberontakan ini, pemerintah Prancis mengganti gubernur sipil Madagaskar, Hippolyte Laroche, dengan seorang gubernur militer yang bernama Joseph Gallieni. Sehari sebelum Gallieni tiba di Antananarivo, ia mengirim pesan kepada sang ratu yang mengharuskannya untuk hadir bersama dengan rombongannya di markas militer dengan didahului oleh pembawa bendera Prancis. Sang ratu terpaksa menandatangani dokumen penyerahan semua harta kerajaan kepada Prancis sebelum akhirnya ditahan di istananya sendiri. Ranavalona hanya diperbolehkan menerima tamu yang telah mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Gallieni. Saat sedang dipenjara, Ranavalona mencoba menjilat Prancis dengan menawarkan untuk pindah agama menjadi Katolik, tetapi ia diberitahu bahwa tindakan seperti itu sudah tidak lagi diperlukan.[19] PengasinganGallieni mengasingkan Ranavalona dari Madagaskar pada tanggal 27 Februari 1897, dan secara resmi membubarkan monarki pada hari berikutnya. Para pejabat Prancis memerintahkan sang ratu untuk meninggalkan istananya pada pukul 01.30. Ia dibawa dengan menggunakan tandu ketika para penduduk kota masih tidur, dan diiringi oleh 700-800 pendamping dan pembawa barang.[20] Ranavalona dilaporkan banyak minum alkohol selama perjalanan ke pelabuhan Toamasina di timur.[1] Di Toamasina pada 6 Maret, Ranavalona diberitahu bahwa adiknya Rasendranoro dan bibinya Ramasindrazana akan segera tiba, dan begitu pula keponakan sang ratu yang berusia empat belas tahun, Razafinandriamanitra, yang hamil sembilan bulan akibat hubungan badan seorang tentara Prancis.[21] Pulau RéunionRanavalona menaiki kapal La Peyrouse bersama dengan anggota-anggota keluarganya ke pelabuhan Pointe des Galets yang terletak sekitar dua puluh kilometer dari ibu kota Réunion di St Denis, dengan tujuan untuk merahasiakan kedatangannya. Namun, kerumunan orang Prancis mencemooh dan berteriak di tempat perahu berlabuh. Mereka marah kepada sang ratu karena ia dianggap bertanggung jawab atas korban-korban Prancis yang berguguran selama serangan Prancis ke Madagaskar. Setelah menunggu hingga kerumunan bubar, kapten mengawal sang ratu dan rombongannya menuju sebuah kereta kuda, yang merupakan kereta kuda pertama yang pernah dilihat oleh Ranavalona. Mereka lalu dibawa pergi ke Hotel de l'Europe di St Denis. Razafinandriamanitra mengalami tekanan emosional dan fisik selama perjalanan dan mulai menjalani persalinan tak lama setelah sampai ke hotel. Ia melahirkan seorang gadis kecil pada hari kedua di Réunion, tetapi tidak bisa pulih dan meninggal lima hari kemudian. Bayi tersebut diberi nama Marie-Louise dan dibaptis sebagai seorang Katolik agar tidak membuat marah pemerintah Prancis. Marie-Louise, yang dapat menjadi pewaris takhta menurut aturan pewarisan tradisional Madagaskar, diadopsi oleh Ranavalona sebagai anaknya sendiri.[22] Dalam waktu sebulan, rombongan tersebut dipindahkan ke sebuah rumah milik Madame de Villentroy, yang terletak di sudut rue de l'Arsenal dan rue du Rempart di dekat kantor pemerintah Prancis di St Denis. Ranavalona dilaporkan senang dengan rumah dua lantai tersebut, yang memiliki taman bertembok besar, atap yang memiliki bubungan, dan beranda yang mengitari rumah. Rumah tersebut tidak hanya dihuni oleh Ranavalona, bibinya, saudara perempuannya, dan cucu saudaranya, tetapi juga dibantu oleh dua sekretaris, seorang juru masak, seorang pembantu, tiga pelayan untuk Ranavalona, dan beberapa pelayan lainnya untuk bibi dan saudarinya. Pendeta pribadi Ratu juga diperbolehkan berkunjung secara bebas ke rumah Ranavalona.[23] Rombongan ratu menempati rumah di Réunion hanya dalam waktu kurang dari dua tahun. Saat ketegangan antara Inggris dan Prancis kembali menguat (kali ini terkait dengan konflik di Sudan), Prancis merasa khawatir bahwa pemberontakan akan kembali meletus di Madagaskar. Kedekatan lokasi ratu dengan Madagaskar dianggap dapat mendorong para pemberontak untuk bergerak. Aparat Prancis lalu secara mendadak memutuskan untuk memindahkan Ranavalona dan rombongannya ke Aljazair. Pada tanggal 1 Februari 1899, Ranavalona dan keluarganya diperintahkan untuk naik ke atas Yang-Tse disertai dengan penerjemah-sekretaris dan beberapa pembantu rumah tangga.[24] Dalam perjalanan yang berlangsung selama 28 hari ke pelabuhan Marseilles di Prancis, para penumpang sempat singgah di beberapa pelabuhan lainnya seperti Mayotte, Zanzibar, Aden, dan Djibouti.[25] Sepanjang perjalanan, kapten-kapten yang bertanggung jawab diperintahkan untuk memastikan agar Ranavalona tidak berbicara dengan siapa pun yang bukan orang Prancis. Rombongan ini selama beberapa bulan ditahan di Marseilles sebelum dipindahkan ke sebuah vila di daerah Mustapha Superieur di Aljazair.[1] Harapan Ranavalona untuk dibawa ke Paris pupus. Ia sangat kecewa setelah mendengar bahwa ia dikirim ke Aljazair, dan konon ia menangis dan berkata, "Siapa yang tahu apa yang terjadi besok? Baru kemarin saya adalah seorang ratu; hari ini, saya hanyalah seorang wanita yang tidak bahagia dan patah hati".[10] AljazairDi vilanya di Aljir, Ranavalona diberikan beberapa pelayan dan seorang petugas perempuan dari Prancis yang ditugaskan untuk mengawasinya dan hadir setiap kali sang ratu menerima tamu di rumahnya. Selain itu, pemerintah Prancis awalnya memberikan tunjangan tahunan sebesar 25.000 franc kepada Ranavalona, yang dibayarkan dari anggaran untuk koloni Madagaskar dan disahkan oleh Gubernur Jenderal koloni itu.[26] Hampir semua harta benda sang ratu telah disita oleh aparat kolonial, meskipun ia diizinkan menyimpan barang-barang pribadi tertentu, termasuk beberapa perhiasannya. Uang yang diberikan pada awalnya hanya cukup untuk memenuhi tuntutan gaya hidup sederhana, dan upaya pemerintah kolonial Aljazair untuk memperoleh lebih banyak tunjangan berulang kali ditolak. Ranavalona juga menugaskan seorang pelayan untuk menjual beberapa perhiasan miliknya untuk mendapatkan uang, tetapi rencana itu diketahui oleh penguasa kolonial Prancis dan pelayan itu dipecat dan dikirim kembali ke Madagaskar.[1]
— Kings in Exile, Our Paper (1904)[27] Selama tahun-tahun pertama pengasingannya di Aljazair, Ranavalona menemukan kegembiraan baru dari gaya hidup sosialita di kalangan elit Aljir. Ia diundang ke pesta, kegiatan tamasya, dan acara-acara budaya lainnya, dan ia juga sering menyelenggarakan acaranya sendiri.[28] Namun, ia rindu dengan kampung halamannya, dan ia pun merasa sayu dan bosan. Ia sering berjalan-jalan sendirian di pedesaan, di sepanjang pantai, atau berkeliling kota untuk menjernihkan pikirannya dan membangkitkan semangatnya.[29] Sang ratu sangat ingin melihat daratan Prancis dan terutama kota Paris. Ia berkali-kali mengajukan permohonan resmi agar diizinkan pergi ke sana. Permintaan ini berulang kali ditolak sampai Mei 1901, ketika Ranavalona mendapatkan izin pertamanya untuk mengunjungi Prancis. Pada bulan itu juga, ratu pindah ke sebuah apartemen kecil di arondisemen XVI Paris dekat Avenue des Champs-Élysées di tempat yang sekarang dikenal dengan nama Place Charles de Gaulle. Ia mengunjungi tempat-tempat wisata utama di kota tersebut dan diundang ke banyak resepsi, pesta dansa, pertunjukan, dan acara-acara lainnya. Ia diterima oleh kalangan atas Prancis dengan baik, dan ia juga ditawari banyak hadiah, termasuk gaun yang mahal. Selama perjalanan pertamanya ini, Ranavalona mengunjungi Istana Versailles, secara resmi diterima di Balai Kota Paris, dan menghabiskan tiga minggu berlibur di Bordeaux. Akhirnya, Ranavalona mengunjungi pantai Arcachon sebelum akhirnya kehabisan dana. Pada awal bulan Agustus, ia menaiki sebuah kapal dari Marseille untuk kembali ke Aljazair.[30] Rincian kunjungannya menarik banyak perhatian dari pers Paris,[27] yang mengungkapkan rasa simpatinya kepada Ranavalona dan juga kritik kepada pemerintah Prancis karena pemerintah dianggap gagal memberikan sang ratu tunjangan yang lebih besar atau menghormatinya sebagaimana yang sepantasnya diterima oleh pemegang Légion d'honneur.[30] Ranavalona kembali ke Prancis sebanyak enam kali dalam rentang waktu dua belas tahun setelah kunjungan pertamanya. Berkat kunjungan-kunjungannya dan reputasinya yang baik, Ranavalona menjadi cause célèbre (isu yang memicu kontroversi dan perdebatan) bagi banyak warga Prancis yang mengasihani sang ratu dan mengagumi bagaimana ia menerima kehidupan barunya. Kunjungan Ranavalona umumnya diiringi oleh liputan media, dan popularitas sang ratu di kalangan masyarakat Prancis pun meningkat sampai-sampai gambarnya muncul di kotak biskuit Petit Beurre pada tahun 1916.[31] Kunjungan kedua sang ratu ke Prancis dilakukan pada September 1903. Tempat-tempat yang ia datangi adalah Vic-sur-Cere dan Aurillac. Atas desakan dari masyarakat selama kunjungan ini, tunjangan untuk Ranavalona dinaikkan menjadi 37.000 franc. Dua tahun kemudian, ia mengunjungi Marseille dan Saint-Germain dan menghuni sebuah apartemen dengan lima kamar tidur di arondisemen keenam belas kota Paris. Ia lalu mendatangi Opera Paris, menyaksikan sidang Dewan Perwakilan Rakyat Prancis, dan secara resmi diterima oleh Kementerian Koloni. Tunjangan Ranavalona lalu dinaikkan lagi menjadi 50.000 franc per tahun berkat desakan dari warga Prancis yang merasa simpati. Selama kunjungan berikutnya pada tahun 1907, sang ratu menjadikan Dives-sur-Mer sebagai pangkalan untuk mengunjungi daerah Calvados, dan di situ ia difoto untuk pers Prancis. Pada Agustus-September 1910, Ranavalona mengunjungi Paris, Nantes, La Baule, dan Saint-Nazaire, dan berulang kali "diserbu" oleh para fotografer pers yang tidak diinginkan. Perjalanannya pada tahun 1912 ke sebuah desa kecil yang terpencil, Quiberville, bertepatan dengan kenaikan tunjangan tahunannya menjadi 75.000 franc. Perjalanan terakhir sang ratu pada tahun 1913 membawanya ke Marseille, Aix-les-Bains, dan Allevard.[30] Pada tahun 1914, akibat meletusnya Perang Dunia I, Ranavalona tidak dapat lagi mengunjungi Prancis. Selama berada di Aljazair, ia dan keluarganya secara berkala menghadiri misa mingguan di gedung Gereja Reformasi di pusat kota Aljir.[32] Setelah perang dimulai, ia berusaha untuk membantu Prancis dengan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan Palang Merah Aljazair.[30] KematianRanavalona tidak pernah kembali ke tanah airnya hingga ajal menjemput, dan dua permintaan resmi yang ia ajukan sebelumnya pada tahun 1910 dan 1912 ditolak dengan alasan dana yang tidak mencukupi. Sang ratu meninggal dunia secara mendadak di vilanya di Aljazair pada tanggal 23 Mei 1917 akibat penyakit embolisme yang parah. Ranavalona dimakamkan di pemakaman Saint-Eugene di Aljir pada pukul 10.00 tanggal 25 Mei. Pemakamannya dihadiri oleh puluhan teman pribadi, pengagum, rekan-rekannya di Palang Merah, anggota jemaat gerejanya, dan tokoh-tokoh elit politik dan budaya dari Aljir. Pada pukul sembilan pagi, antrean panjang mobil sudah mengular di pintu masuk ke tempat pemakaman.[29] Walaupun Ranavalona dihormati oleh teman-temannya, pemerintah kolonial Prancis di Madagaskar cenderung acuh tak acuh. Pada Juni 1925, delapan tahun setelah kematian sang ratu, Gubernur Jenderal Aljazair memberitahukan kepada Gubernur Jenderal Madagaskar melalui surat bahwa ia membutuhkan dana untuk memelihara makam Ranavalona yang sudah tidak terawat. Permintaan tersebut dua kali ditolak dan makam tersebut tidak pernah dipugar.[1] Pada November 1938, sisa jenazah Ranavalona digali kembali dan disemayamkan di makam Ratu Rasoherina di Rovan'i Manjakamiadana di Madagaskar.[9] Namun, kebakaran pada malam hari tanggal 6 November 1995 merusak kompleks pemakaman kerajaan dan menghancurkan sebagian besar bangunan di tempat tersebut. Sisa jenazah Ranavalona III yang dibungkus di dalam kain lamba adalah satu-satunya yang dapat diselamatkan dari lalapan api. Sisa jenazahnya lalu dimakamkan kembali di kompleks pemakaman kerajaan di Ambohimanga.[2] Setelah kematian Ranavalona, bibinya meninggalkan Aljazair dan pindah ke Alpes-Maritimes di Prancis, dan ia menghabiskan sisa waktunya di tempat itu. Pewaris takhta Ranavalona, yaitu Marie-Louise, telah meninggalkan vila Ranavalona beberapa tahun sebelumnya untuk menuntut ilmu di sebuah sekolah menengah atas di Prancis dan kemudian menikahi seorang insinyur pertanian asal Prancis yang bernama Andre Bosshard pada tanggal 24 Juni 1921. Meskipun ia terus mendapatkan tunjangan kecil dari pemerintah Prancis sepanjang hidupnya, Marie-Louise memilih untuk berkarier sebagai seorang perawat dan dianugerahi Légion d'honneur berkat pengabdiannya selama Perang Dunia II. Setelah Bosshard dan Marie-Louise bercerai tanpa dikaruniai seorang anak, wanita muda ini dilaporkan memanfaatkan kebebasannya sebagai seorang sosialita yang flamboyan dan riang. Marie-Louise tutup usia di Bazoches-sur-le-Betz pada tanggal 18 Januari 1948, tanpa meninggalkan keturunan, dan dimakamkan di Montreuil, Prancis.[33] Catatan kaki
Daftar pustaka
|