Raden Alit PrawatasariKyai Haji Raden Alit Prawatasari (1679 - 1707) adalah seorang menak dan ulama pejuang anti VOC (Kompeni), yang berasal dari daerah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Kehidupan awalPrawatasari merupakan putra tunggal dari Wira Tanu I dan istri keduanya Dewi Amriti, putri dari seorang patih di Kerajaan Jampang Manggung yang masih keturunan bangsawan dari daerah Panjalu, Kabupaten Ciamis. Masa kecilnya banyak dihabiskan di Kedaleman Cikundul (sekarang Cikalongkulon), dimana ia mendapat julukan dari masyarakat sekitar sebagai Raden Alit (Alit berarti "kecil" atau "mungil" dalam Bahasa Sunda).[1] Perlawanan Terhadap VOCPrawatasari memulai perlawanan di Cianjur tahun 1703 dikarenakan setoran paksa belerang dari Gunung Gede dan buah kopi serta hasil pertanian lainnya yang diharuskan dikirim ke Batavia dianggap semakin memberatkan para petani di Cianjur. Hubungannya dengan bupati Cianjur yang juga merupakan kakak seayahnya Wira Tanu II semakin memburuk, dimana Wira Tanu II dengan dukungan VOC memburu Prawatasari yang dianggap sebagai pembawa masalah. Perburuan VOC atas Prawatasari dipimpin oleh Sersan Pieter Scipio dengan pasukan Letnan Ki Mas Tanuwijaya, seorang letnan VOC pribumi sebagai bagian penerapan taktik adu domba, beserta para bupati yang tunduk kepada VOC, dimana Prawatasari dinyatakan sebagai Karaman Van Java (Penjahat besar dari Jawa).[2] Dikarenakan perburuan yang dilakukan VOC terhadapnya, Prawatasari berperang tidak secara frontal namun dengan cara bergerliya di daerah Jampang Mande, yang terletak di perbatasan Cianjur-Bogor. Wilayah operasi gerilya Prawatasari selanjutnya menyebar ke Sumedang, seluruh Parahyangan Timur, Cirebon dan Banyumas, untuk menghindari perburuan VOC antara tahun 1703-1707.[3] Selama melakukan perlawanan, Prawatasari mampu menghimpun kekuatan sampai 3000 orang pasukan (suatu jumlah yang besar mengingat jumlah penduduk waktu itu untuk satu kabupaten hanya sekitar 1000 keluarga) untuk melakukan perlawanan terhadap VOC.[1][4] Pada Maret 1704, pasukan Prawatasari berhasil mengepung serta nyaris menghancurkan Regol Wetan, ibu kota baru Sumedang. Pasukan Prawatasari tercatat 3 kali berhasil mengalahkan pasukan VOC sampai Agustus 1705.[5] Kisah perburuan Prawatasari oleh Letnan Ki Mas Tanuwijaya tersirat dalam sebuah lagu Sunda yang masih dinyanyikan sampai sekarang, berjudul Ayang Ayang Gung yang menceritakan bagaimana Ki Mas Tanuwijaya bekerjasama dengan Kompeni untuk menangkap seorang penjahat (Prawatasari) dengan cara menipu agar bisa naik pangkat menjadi seorang wedana.[6] Catatan SejarahSalah satu bukti otentik catatan sejarah mengenai keberadaan Prawatasari adalah surat perintah dari Gubernur Jenderal VOC Joan van Hoorn, bertanggal 22 Maret 1704, kepada seluruh bupati di Parahyangan dengan ancaman pemecatan, untuk segera menangkap Paap Prawatasari (Kyai Prawatasari) yang dijuluki Karaman van Java atau Penjahat Besar dari Jawa, baik hidup atau mati dangan hadiah 300 Ringgit.[7] KematianMenurut sumber dari Belanda, Prawatasari meninggal di tahun 1707 setelah tertangkap dalam pertempuran di Bagelen. Ia lalu menjalani hukuman mati di benteng Kartasura, dimana jasadnya lalu dikebumikan di daerah Dayeuhluhur, Cilacap di tepi Sungai Cibeet. Masyarakat setempat menyebut kuburannya sebagai Keramat Turunan Panjalu yang keberadaannya saat ini terancam tenggelam dikarenakan adanya pembangunan Bendungan Dayeuhluhur mulai dari tahun 2020.[8] Kontroversi Tentang Kuburan Raden PrawatasariAhli sejarah dan ahli waris dari Raden Alit Prawatasari terkadang salah dalam menentukan letak kuburan yang benar dari Raden Alit Prawatasari dengan kuburan dari Raden Arya Salingsingan atau Arya Sacanata yang juga keturunan menak Panjalu dan sama-sama dikuburkan di tepi Sungai Cibeet di Dayeuhluhur. Letak kuburan sejati Raden Alit Prawatasari yang benar agak di sebelah hulu yang dikenali sebagai Kuburan Raja Karaman di Keramat Raja Kembang yang dipelihara oleh masyarakat adat Tejakembang yang merupakan penduduk dari Desa Cijeruk. WarisanNama Raden Alit Prawatasari saat ini diabadikan menjadi nama sebuah stadion (Lapang Prawatasari) dan taman kota (Taman Prawatasari) di Kel. Sawah Gede, Kec. Cianjur.[9] Rujukan
|