Pura Kebo Edan
Pura Kebo Edan adalah tempat peribadatan Hindu yang terletak di Desa Pejeng, Tampaksiring, Gianyar, Bali. Tempat ini kaya akan benda-benda arkeologi yang merupakan mata rantai sejarah perkembangan Kerajaan Hindu di Indonesia. Meskipun bukan tujuan wisata yang populer di Bali, Pura Kebo Edan sejak lama menjadi daya tarik turis lokal maupun mancanegara. Setiap hari, ada saja wisatawan yang datang berkunjung, baik untuk meneliti, sekadar penasaran, atau bahkan bermeditasi. Ikon penting pura ini adalah arca Bhairawa, yang mencirikan aliran Siwa-Tantrayana, yang kini telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya. Kompleks PuraSebagaimana pura di Bali umumnya, Kebo Edan juga memiliki tiga bagian, yaitu Nista Mandala atau Jaba Pisan (bagian terluar yang dinilai profan), Madya Mandala atau Jaba Tengah (bagian yang sakral), dan Utama Mandala atau Jeroan (bagian terdalam dan tersuci dari Pura Kebo Edan). Di ujung barat, persis di depan pohon kamboja tua, terdapat pelinggih Bhatara Kebo Edan atau Ratu Kebo. Arcanya berupa seekor kerbau, lengkap dengan genta yang menggantung di lehernya. Di sampingnya, masih di pelinggih yang sama, duduk arca raksasa menopang semangkuk darah dengan berbagai aksesori di kepala dan kakinya berupa tengkorak. Di sebelah kanannya, terdapat pelinggih Arca Bhatara Siwa Bhairawa (Arca Ratu Sakti, Ratu Balian, atau Bhairawa Bima Sakti). Lebih jauh ke sebelah kanan, terdapat pelinggih lain dengan arca mirip kerbau. Pemangku pura setempat menyebutnya Pelinggih Ratu Bawi. Juga terdapat Pelinggih Ratu Pinatih, Pelinggih Ratu Glebeg (tempat memuja Dewi Sri), Ratu Mas, Padmasana, Ratu Bayu, Ratu Pulu, Ratu Gana, Pengaruman, Piyasan, Bale Pawedan, dan lain-lain.[1] Arca BhairawaPatung setinggi 3,6 meter inilah daya tarik utama Pura Kebo Edan. Arca ini diperkirakan berasal dari pertengahan abad XIV M, yaitu pada masa kekuasaan Raja Śri Astasura Ratna Bumi Banten, raja terakhir Kerajaan Bedahulu; bahkan kemungkinan menggambarkan perwujudan raja itu sendiri.[2] Akan tetapi, pakar yang lain berpendapat bahwa arca ini kemungkinan peninggalan Raja Kertanegara tatkala menaklukkan Bali pada abad XIII.[3][4] Patung tersebut tampak sedang berkacak pinggang dengan kaki mengangkang, rambut gimbalnya tergerai, wajahnya kurang jelas karena konon ia mengenakan topeng dengan pita pengikat di belakang kepala. Kakinya kanan dan kiri masing-masing dibelit oleh seekor ular. Ular adalah salah satu ciri bhairawa (dewa yang sedang menunjukkan kehebatan, kekuatan, dan sisi seramnya). Ciri lainnya, adalah upacara pengorbanan manusia. Posisi arca Siwa Bhairawa ini seolah sedang menari di atas mayat manusia.[2][5] Sementara itu, setelah mengamati posisi dan bentuk kelamin arca, serta ciri-ciri yang lain (ular, tubuh yang gemuk tegap, sikap kaki), Bernet Kempers berpendapat bahwa arca ini merupakan perwujudan Siwa sebagai Bima; mirip dengan perwujudan Bima pada relief-relief candi Jawa Timur.[5] Lebih jauh, perwujudan arca Bhairawa ini beserta segenap kelengkapannya, mengisyaratkan kepada adanya kultus Tantrayana—khususnya aliran kiri—di wilayah Bedahulu sekurangnya semenjak abad XIV.[2][6] KonservasiMenteri Pendidikan dan Kebudayaan RI melalui SK Mendikbud No PM.85/PW.007/MKP/2011 telah menetapkan Pura Kebo Edan sebagai Cagar Budaya dengan nomor registrasi nasional no. RNCB.20160712.02.001060.[7] Pada 30 September 2019, Bupati Gianyar Made Mahayastra telah menetapkan Arca Bhairawa Pura Kebo Edan sebagai Benda Cagar Budaya. Ketetapan ini dituangkan dalam Surat Keputusan Bupati Gianyar nomor 1345/E-01/HK/2019 tertanggal 13 November 2019, yang melindungi empat objek cagar budaya, yakni Nekara Pejeng Pura Penataran Sasih, Arca Bhairawa Pura Kebo Edan, serta Pura Pegulingan dan Pura Mengening sebagai Struktur Cagar Budaya. Penetapan ini dilakukan setelah melewati beberapa tahapan kajian sejak bulan Juni s/d September 2019 oleh Tim Registrasi Cagar Budaya Kabupaten Gianyar bersama Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali-NTB-NTT.[8] TransportasiPura Kebo Edan berada di jalur wisata Tampaksiring. Pengunjung tinggal melanjutkan ke arah barat, melewati jalan kecil di sebelah selatan pura. Di sepanjang perjalanan, akan tampak hamparan sawah yang di tengahnya terletak sebuah peninggalan arkeologi: Pelinggih Arjuna Metapa. Masuk melalui candi bentar pura, pengunjung menuju Jaba Tengah pura. Pada bagian barat Madya Mandala ini, terdapat wantilan, sedangkan bale panetegan di bagian utara dan perantenan di bagian selatan. Pelinggih Apit Lawang berada di kiri-kanan Candi Bentar menuju area Utama Mandala.[9] Referensi
|