Pululera, Wulanggitang, Flores Timur
SejarahSebelumnya, Desa Pululera terdiri atas beberapa kampung, yaitu Sukutukan, Hokeng, Wolorona dan Padang Pasir. Beberapa tahun yang lalu, Hokeng, Wolorona dan Padang Pasir telah memisahkan diri dari Sukutukan dan membentuk sebuah desa yakni Hokeng Jaya. Kini Desa Pululera hanya terdiri atas Kampung Sukutukan. Nama Sukutukan tidak terlepas dari sejarah keberadaan kampung itu sendiri. Suku merujuk pada marga, dan tukan mengandung arti tengah. Secara harafiah, Sukutukan berarti Marga Tengah. Marga yang menempati daerah yang di sekelilingnya sudah di tempati oleh marga-marga lain. Dari situlah nama itu muncul. Desa Pululera memiliki jumlah penduduknya sebagian besar bersuku daerah Flores. Ada beberapa marga yang menempati desa Pululera, antara lain: Marga Tukan (Tukan Dungan, Tukan Eko), Marga Seda, Marga Soge, Marga Werang, Marga Danga, Odung, Wawin, Wato dan lain-lain. Adat dan BudayaSebagian besar penduduknya bermatapencaharian petani. Hasil pertanian utama di desa ini ialah kemiri, kopi dan kelapa, padi, jagung, pisang, dan akhir-akhir ini sejak thn 2000-an mulai dikembangkan tanaman kakao. Ternak yang cukup banyak dipelihara adalah sapi, kambing, kuda, anjing & ayam. Hingga saat ini masyarakat Desa Pululera masih menjalankan sistem gotong royong (julung) dalam mengerjakan ladang mereka. Pengerjaan ladang dilakukan dengan menebang hutan, membersihkannya dan menanami padi, jagung dan tanaman umur panjang lainnya seperti kemiri, kelapa, dan lain-lain. Setelah tanaman tersebut cukup besar dan tidak membutuhkan banyak perawatan lagi, para petani akan berpindah lagi dan membuat ladang yang baru lagi. Mereka harus melakukan perpindahan karena setelah tiga atau empat tahun tingkat kesuburan tanah sudah mulai berkurang dan karena ketika tanaman umur panjang beranjak dewasa, tanaman padi dan jagung tidak bisa ditanami lagi. Pembuatan ladang secara besar-besaran yang melibatkan banyak orang disebut dengan ola etang. Ola berarti kerja atau membuat, etang berarti ladang yang besar. Etang yang terkenal adalah etang tuleng atau tale onong, etang lewo gei, etang ruka belek, balung namang, dan lain-lain. Ketika modernisasi dan efek globalisasi mulai merambah ke kampung ini, ada hal menarik yang timbul dalam pengerjaan kebun/ladang. Masyarakat Sukutukan mulai menggunakan traktor khususnya di daerah yang bisa dijangkau, seperti di dataran rendah Kowo, Bajak, Tiga Belas, Au Kehang, Saneren dll. Dan ketika selesai memanen padi, ada suatu kegiatan yang sangat terkenal yaitu rik. Rik adalah suatu pengerjaan atau proses memisahkan padi dari bulir-bulirnya. Uniknya, di Sukutukan biasanya dilakukan dengan berdansa atau menari di atas bulir-bulir padi yang diletakan dalam terpal atau wadah lainnya yang terbuat dari anyaman daun lontar. Ini adalah acara yang ditunggu-tunggu para petani. Mereka berdansa ria dengan musik-musik yang menawan seperti reggae, pop, dj disco remix dan lain-lain sambil meneguk arak atau tuak juga makan sirih pinang. Ini sekaligus merupakan ucapan syukur kepada Semesta, Lera Wulan Tanah Ekan atas hasil yang diberikan. Semua lapisan masyarakat turut terlibat di dalam upacara ini, baik pria, wanita, tua, muda, anak-anak maupun remaja. Mereka sangat menikmati upacara syukuran ini. Sistem perkawinan masyarakat adat sukutukan adalah patriarkat. Mas kawinnya berupa gading, binatang (kuda, kambing), dan uang. Semua masyarakatnya beragama Katolik Roma. Namun mereka juga masih sangat menjaga tata krama adat dan tradisi warisan leluhur mereka. Ketika meminta hujan, mereka akan naik ke gunung (Ile Wengot) dan mengadakan upacara permohonan di sana. Upacara ini dikenal dengan upacara long nirat. Secara harafiah, turun nirat artinya turunkan kipas. Hal ini melambangkan turunnya hujan. Pranala luar |