Psikologi hukum
Psikologi hukum adalah teori, penelitian, dan praktik psikologi yang berkaitan dengan hukum dan permasalahan hukum.[1] Psikologi hukum harus dibedakan cakupannya dari psikologi forensik. Psikologi hukum mengkaji pola pikir dan perilaku aparat penegak hukum seperti hakim dan jaksa, hukum acara, dan sistem peradilan sementara psikologi forensik terfokus pada kasus tindak pidana dan hal-hal terkaitnya seperti tersangka, terdakwa, dan pengacara.[2] PerkembanganKajian sosiologi terhadap hukum acara berpengaruh dalam perkembangan psikologi hukum. Dalam bukunya yang berjudul On the Witness Stand, Hugo Münsterberg mengkritisi sistem hukum Amerika Serikat yang mengesampingkan aspek psikologis dalam hukum acara.[3] Namun karena Münsterberg terkesan melebih-lebihkan penerapan psikologi dalam bidang hukum, praktisi-praktisi hukum tidak begitu terpengaruh oleh tulisannya.[4] Hukum dan psikologi tidak hanya memiliki banyak kesamaan tetapi juga perbedaan. Haney melihat ada delapan hal yang memungkinkan terjadinya konflik antara hukum dan psikologi yaitu:[5]
Selain itu, hasil penelitian psikologi bersifat statistik manakala tugas hukum bersifat klinis dan diagnostis.[4] Dapat dikatakan dengan demikian bahwa kedua disiplin tersebut memiliki perbedaan nilai, asumsi dasar, model, pendekatan, kriteria, dan metode.[6] Profesi Psikolog HukumDi Amerika Serikat, psikolog hukum biasanya bekerja dengan praktisi hukum (seperti hakim dan jaksa) dan penyelidik maupun penyidik. Mereka mengkaji pola-pola dalam hukum acara dan sistem peradilan dengan tujuan memperbaiki sistem hukum. Tugas mereka di antaranya menentukan bagaimana juri dipilih dan mengambil kesimpulan dan mengkaji kredibilitas saksi. Baik psikolog forensik maupun psikolog hukum harus memiliki kualifikasi pendidikan doktor (S3) serta sertifikasi sebagai psikolog.[2][7] Dalam konteks Amerika Serikat, ada pula psikolog hukum yang dipekerjakan di pusat kajian kebijakan publik dan bertugas mengupayakan kebijakan legislatif, baik di tingkat daerah maupun federal, atau evaluasi terhadap hukum acara berdasarkan kajian empiris.[8] Ballew v. GeorgiaDi Amerika Serikat psikolog dapat memberikan amicus curiae kepada pengadilan yang dapat digunakan untuk menjadi bahan pertimbangan hakim dalam memvonis terdakwa terkait gangguan mental dan/atau faktor lain yang mungkin memengaruhi kondisi terdakwa. Namun dampak dari pemberian amicus curiae tersebut masih perlu dipertanyakan. Dalam kasus Ballew v. Georgia, misalnya, hakim yang tidak memiliki latar belakang ilmu empiris bisa saja malah menyepelekan atau melebih-lebihkan informasi yang diberikan dan menggunakan informasi yang tersedia tersebut berdasarkan bias pribadinya.[9] Referensi
|