Psikologi agama
Psikologi agama merupakan cabang ilmu psikologi yang meneliti dan mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan pengaruh keyakinan terhadap agama yang dianutnya serta dalam kaitannya dengan pengaruh usia masing-masing.[1][2] Upaya untuk mempelajari tingkah laku keagamaan tersebut dilakukan melalui pendekatan Psikologi.[1][2] Tegasnya psikologi agama mempelajari dan meneliti fungsi-fungsi jiwa yang memantul dan memperlihatkan diri dalam prilaku dan kaitannya dengan kesadaran dan pengalaman agama manusia.[1] Psikologi agama berbeda dari cabang-cabang psikologi yang lainya, karena dihubungkan dengan dua bidang pengetahuan yang berlainan.[3] Sebagian harus tunduk kepada agama dan sebagian lainnya tunduk kepada ilmu jiwa (psikologi).[3] Sebagaimana telah diketahui bahwa psikologi agama sebagai salah-satu cabang dari psikologi, merupakan ilmu terapan.[2] DefinisiPsikologi Agama menggunakan dua kata yaitu "psikologi" dan "agama".[1][2][3] Kedua kata tersebut memiliki pengertian dan pengunan yang berbeda, meskipun keduanya memiliki aspek kajian yang sama yaitu aspek batin manusia.[2] Kata Psikologi (ilmu jiwa) dipergunakan secara umum untuk ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku manusia.[3] Psikologi secara umum diartikan sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa manusia yang normal, dewasa dan beradab.[1][2] Menurut Robert H. Thouless, mendefinisikan psikologi sebagai ilmu tentang tingkah laku dan pengalaman manusia.[1][2] Menurut Plato dan Aristoteles psikologi adalah ilmu yang mempelajari hakikat manusia.[3] Secara umum psikologi adalah sebuah ilmu yang meneliti dan mempelajari sikap dan tingkah laku manusia sebagai gambaran dari gejala-gejala kejiwaan yang berada dibelakangnya.[1][2] Berikutnya kata agama juga menyangkut masalah yang berhubungan dengan kehidupan batiniah manusia.[1][2] Agama sebagai bentuk keyakinan, memang sulit diukur secara tepat dan terperinci.[1][2] Hal ini pula yang menyulitkan para ahli untuk mendefinisikan yang tepat tentang agama.[1][2] J.H. Leube dalam bukunya A Psychological Study of Religion telah memasukkan lampiran yang berisi 48 definisi agama, tampaknya juga belum memuaskan.[1][2] Max Muller berpendapat bahwa definisi agama secara lengkap belum tercapai kerena penelitian terhadap agama terus dilakukan dan para ahli masih menyelidiki asal usul agama.[4] Edward Burnett Tylor berpendapat bahwa definisi minimal agama adalah "kepercayaan kepada wujud spiritual" (the belief in spiritual beings).[5][6] Agama berasal dari bahasa Sanskirit.[4] Harun Nasution merunut pengertian agama berdasarkan asal kata, yaitu al-Din, religi (relegere, religare) dan agama.[1][2] Al-Din (Semit) berarti undang-undang atau hukum.[1][2] Kemudian dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan.[1][2] Sedangkan dari kata religi atau relegere berarti mengumpulkan dan membaca.[1][2] Emile Durkheim berpendapat agama adalah alam gaib yang tidak dapat diketahui dan tidak dapat dipikirkan oleh akal manusia sendiri.[4][7] Menurut Sutan Takdir Alisjahbana agama adalah suatu sistem kelakuan dan perhubungan manusia yang berpokok pada perhubungan manusia dengan rahasia kekuatan dan kegaiban yang tidak berhingga luas, mendalam dan mesrahnya, sehingga memberi arti kepada hidupnya dan kepada alam semesta yang mengelilinginya.[4][8] Agama adalah wahyu yang diturunkan Tuhan untuk manusia.[9] Fungsi dasar agama adalah memberikan orietasi, motivasi dan membantu manusia untuk mengenal dan menghayati sesuatu yang sakral.[9][10] Psikologi Agama menurut Prof. Dr. Hj Zakiah Daradjat ialah meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku orang atau mekanisme yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi, dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan masuk kedalam konstribusi kepribadiannya.[2][3] Dr. Nico Syukur Dister berpendapat psikologi agama adalah ilmu yang menyelidiki pendorong tindakan-tindakan manusia, baik yng sadar maupun yang tidak sadar, yang berhubungan dengan dengan kepercayaan terhadap ajaran/wahyu "Nan Illahi" (segala sesuatu yang bersifat Dewa-dewa) yang juga tidak terlepas dari pembahasan hubungan manusia dengan lingkungannya.[3] Dari pendapat para ahli tersebut tentang psikologi agama dapat diambil pengertian secara umum, psikologi agama yaitu ilmu pengetahuan yang membahas pengaruh agama dalam diri (kognitif=pengetahuan, afektif= perasaan/sikap, behavior= prilaku atau tindakan) seseorang dalam kehidupannya yaitu dalam berinteraksi dengan Tuhan/Pencipta, sesama manusia dan lingkungannya.[3] Ruang LingkupSebagai disiplin ilmu yang otonom, psikologi agama memiliki ruang lingkup pemabahasannya tersendiri.[1][3] Adapun ruang lingkup psikologi agama menurut Prof. Dr. H. Rusmin Tumanggor adalah:[3]
Lebih lanjut, Prof. Dr. Zakiah Darajat menyatakan lapangan penelitian psikologi agama mencakup proses beragama, perasaan dan kesadaran beragama dengan pengaruh dan akibat-akibat yang dirasakan sebagai hasil dari keyakinan.[1] Oleh karena itu menurut Zakiah Darajat ruang lingkup yang menjadi lapangan kajian psikologi agama meliputi kajian mengenai:[1]
Metode PenelitianMetode yang digunakan dalam penelitian-penelitian psikologi agama adalah metode ilmiah, yakni mempelajari fakta-fakta yang berada dalam lingkungannya, dengan cara yang obyektif.[1][11] Dalam meneliti ilmu jiwa agama sejumlah metode dapat digunakan antara lain:[1][2]
Metode ini digunakan untuk mempelajari bagaimana pengalaman dan kehidupan batin seseorang dalam keberagamaannya.[1][2] Cara yang dapat ditempuh oleh peneliti adalah mengumpulkan dokumen pribadi orang per orang, baik dalam bentuk otobiografi, biografi, tulisan, ataupun catatan-catatan yang dibuatnya.[2] Dalam Penerapanya, metode dokumen pribadi ini dilakukan dengan berbagai cara atau teknik-teknik tertentu, di antaranya teknik nomotatik, teknik analisis nilai, teknik idiografi, teknik penilaian terhadap sikap.[1][2]
Metode kuesioner maupun wawancara digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi yang lebih banyak dan mendalam secara langsung kepada responden.[1][2] Dalam penerapannya, metode kuesioner dan wawancara dilakukan dalam berbagai bentuk, di antaranya adalah teknik pengumpulan data melalui pengumpulan pendapat masyarakat (Public Opinion Polls) dan skala penilaian (Rating Scale).[2]
Tes digunakan untuk mempelajari tingkah laku keagamaan seseorang dalam kondisi tertentu.[2]
Teknik ekperimen digunakan untuk mempelajari sikap dan tingkah laku keagamaan seseorang melalui perlakuan khusus yang sengaja dibuat.[2]
Penelitian ini dilakukan dengan mengunakan data sosiologi dengan mempelajari sifat-sifat manusiawi orang per orang atau kelompok.[1][2]
Teknik ini digunakan untuk meneliti mengenai asal usul dan perkembangan aspek psikologi manusia dalam hubungannya dengan agama yang dianutnya.[1][2]
Dalam pelaksanannya, metode ini memanfaatkan cara kerja klinis.[1][2] Penyembuhan dilakukan dengan cara menyelaraskan hubungan antara jiwa dan agama.[1][2]
Metode ini berupa penelitian dengan cara menyadarkan sejumlah masalah yang mengandung makna tertentu.[2]
Caranya dengan mengunakan gambar-gambar yang samar.[1][2]
Studi Kasus dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen, catatan, hasil wawancara atau lainnya untuk kasus-kasus tertentu.[1][2]
Metode ini biasanya digunakan dalam penelitian sosial dan dapat digunakan untuk tujuan penggolongan manusia dalam hubungannya dengan pembentukan organisasi dalam masyarakat.[2] Sejarah PerkembanganTahun 1500-500 SM, di Yunani Mesir, Mesopotamia Purba, lahirlah berbagai agama .[3] Agama Brahma menyuruh pengikutnya menyembah Dewa Tunggal, Agama Budha (400-750 M) menyembah Naga dan Raksasa, Agama Hindu di India (1500) SM menyembah banyak Dewa.[3] Di Tiongkok (551-479 SM) lahir pula agama Khonghucu dikembangkan oleh Confusius.[3] Pada tahun 560 SM, berkembang pula agama Budha di Kapilawastu, oleh Budha Guatama.[3] Sekitar tahun 660-583 SM, lahir agama Majusi dibawa oleh Zarathustra keturunan Iran suku Spitama.[3] Selanjutnya di Jepang pada abad ke-6, muncul agama Shinto.[3] Pada tahun 1570-1450 SM muncul agama Yahudi ditanah Arab wilayah Palestina, Mesir.[3] Kurang lebih 21 abad yang lalu lahirlah agama Nasrani.[3] Nama ini berasal dari kota Nazareth, yaitu kota kecil yang terletak kaki sebuah bukit.[3] Agama ini dinamakan juga dinamakan agama Kristen (Chistten) yaitu diambil dari nama Nabinya Jesus Kristus, gelar kehormatan keagamaan buat Juses dari Nazareth pembawa agama ini.[3] Kristus adalah bahasa Yunani.[3] Rasul yang membawa agama Kristen ini adalah Isa Almasih atau Jesus Kristus.[3] Pada abad ke 6 M, lahirlah agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.[3] Agama ini mengajarkan agar penganutnya menyembah Allah SWT.[3] Agama Islam beraliran monoteisme,.[3] Kitab Pegangannya adalah Al-Quran dan Hadist Rasulullah.[3] Penelitian agama secara ilmu jiwa (psikologi modern) relatif masih muda.[3] Para ahli psikologi agama menilai bahwa kajian mengenai psikolgi agama mulai popular sekitar abat ke-19.[2] Ketika itu psikologi yang semakin berkembang digunakan sebagai alat untuk kajian agama.[3] Kajian semacam itu dapat membantu pemahaman terhadap cara bertingkah laku, berpikir, dan mengemukakan perasaan keagamaan.[2] Perkembangan di Barat Perkembangan psikologi agama di barat mengalami pasang surut.[3] Bersamaan dengan perkembangan psikologi modern, pada tahun 1890-an, psikologi berkemang pesat.[3] Tetapi pada tahun 1930-1950 psikologi agama mengalami penurunan.[3] Setelah itu meningkat lagi, bahkan berkembang pesat pada tahun 1970 sampai sekarang.[3] Menurut Thouless, sejak terbitnya buku The Varietes of Religion Experience tahun 1903, sebagai kumpulan kuliah William James di empat Universitas di Skotlandia, maka langkah awal kajian psikologi agama mulai diakui oleh para ahli psikologi dan dalam jangka waktu tiga puluh tahun kemudian, banyak buku-buku lain diterbitkan dengan konsep-konsep yang serupa.[1][2] Di antarabuku-buku tersebut adalah The Psychology of Religion karangan Edwind Diller Starbuck, yang mendahului karangan Wlilliam James.[1][2] Buku E.D. Starbuck yang terbit tahun 1899 ini kemudia disusul sejumlah buku lainnya seperti The Spiritual Life oleh George Albert Coe, tahun 1900, kemudian The Belief in God and Immortality (1921) oleh H.J. Leuba dan oleh Robert H. Thouless dengan judul An Introduction on thr Psycology of Religion tahun 1923 serta R.A. Nicholson yang khususnya mempelajari mengenai aliran Sufisme dalam Islam dengan bukunya Studies in Islamic mysticism, tahun 1921.[1] Sejak itu, kajian-kajian tentang psikologi agama tampaknya tidak hanya terbatas pada masalah-masalah yang menyangkut kehidupan keagamaan secara umum, melainkan juga masalah khusus.[1] J.B. Pratt misalnya, mengkaji mengenai kesadaran beragama melalui bukunya the Religius Conciusness (1920), Dame Julian yang mengkaji tentang wahyu dengan bukunya Revelation of Devine Love tahun 1901.[1][2] Selanjutnya, kajian-kajian psikologi agama juga tidak terbatas pada agama-agama yang ada di Barat (Kristen) saja melainkan juga agama-agama yang ada di Timur.[1][2] A.J. Appasmyy dan B.H. Steeter menulis tentang masalah yang menyangkut kehidupan penganut agama Hindu dengan bukunya The Sadhu (1921).[1][2] Sejalan dengan perkembangan itu, para penulis non-Barat pun mulai menerbitkan buku-buku mereka.[1][2] Tahun 1947 terbit buku The Song of God Baghavad Gita, terjemahan Isherwood dan Prabhavanada, kemudian tahun 1952 Swami Madhavananda menulis buku Viveka-Chumadami of Sankaracharya yang disusul penulis India lainnya, Thera Nyonoponika dengan judul The Life of Sariptta (1966).[1][2] Demikian pula, Swami Ghananda menulis tentang Sri Rama dengan judul Ramakrisna, His Unique Massage (1946).[1][2] Perkembangan di Timur Didunia Timur, khususnya diwilayah-wilayah kekuasaan Islam, tulisan-tulisan yang memuat kajian tentang hal serupa belum sempat dimasukkan.[1][2] Padahal, tulisan Muhammad Ishaq ibn Yasar diabat ke-7 masehi berjudul Al-Siyar wa al- Maghazi memuat berbagai fragmen dari biografi Nabi Muhammad SAW, ataupun Risalah Hayy Ibn Yaqzan fi Asrar al-Hikmat al-Masyriqiyyat yang juga ditulis oleh Abu Bark Muhammad ibn Abd-Al-Malin ibn Tufai (1106-1185 M) juga memuat masalah yang erat kaitannya dengan materi psikologi agama.[1] Demikian pula karya besar Abu Hamid Muhammad al-ghazali (1059-1111 M) berjudul Ihya' 'Ulum al-Din, dan juga bukunya Al-Munqidz min al-Dhalal (Penyelamat dari Kesesatan) yang sebenarnya, kaya akan muatan permasalahan yang berkaitan dengan materi kajian psikologi agama.[1][2] Diperkirakan masih banyak tulisan-tulisan ilmuwan Muslim yang berisi kajian mengenai permasalah serupa, namun sayangnya karya-karya tersebut tidak dapat dikembangkan menjadi disiplin ilmu tersendiri, yaitu psikologi agama seperti halnya yang dilakukan oleh kalangan ilmuwan Barat.[1][2] Karya penulis Musli pada zaman modern, seperti bukunya Al-Maghary yang berjudul Tatawwur al-Syu'ur al-Diny 'Inda Tifl wa al-Murahid (Perkembangan Rasa Keagamaan pada Anak dan Remaja), bagaimanapun dapat disejajarkan dengan karya-karya yang dihasilkan oleh ahli-ahli psikologi agama lainnya.[1][2] Karya lain yang lebih khusus mengenai psikologi agama adalah Ruh al-Din al-Islamy (Jiwa Agama Islam) karangan Alif Abd Al-Fatah, tahun 1956.[1] Perkembangan di Indonesia Adapun ditanah air perkembangan psikologi agama dipelopori oleh tokoh-tokoh yang memiliki latar belakang profesi ilmuwan, agamawan, dan bidang kedokteran.[3] di antara karya-karya awal yang berkaitan dengan psikologi agama adalah buku Agama dan Kesehatan Badan/Jiwa (1965), tulisan Prof. dr. H. Aulia.[1] Kemudian Tahun 1975, K.H. S.S. Djam’an menulis buku Islam dan Psikosomatik.[1] Dr. Nici Syukur Lister, menulis buku Pengalaman dan Motivasi Beragama: Pengantar Psikologi Agama.[1] Adapun pengenalan psikologi agama di lingkungan perguruan tinggi dilakukan oleh Prof. Dr. H. A Mukti Ali dan Prof. Dr. Hj. Zakiah Darajat.[1] Buku-buku yang khusus mengenai psikologi agama banyak dihasilkan oleh Prof. Dr. Zakiah Darajat, antara lain: Ilmu Jiwa Agama (1970), Peranan Agama dalam Kesehatan Mental (1970), dan Kesehatan Mental.[1][2] Prof. Dr. Hasan Langgulung juga menulis buku Teori-teori Kesehatan Mental yang juga ikut memperkaya khazanah bagi perkembangan psikologi agama di Indonesia.[1] Sejak menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri, perkembangan psikologi agama dinilai cukup pesat, dibandingkan usianya yang masih tergolong muda.[1] Perkembangan psikologi agama yang cukup pesat ini antara lain ditandai dengan diterbitnya berbagai karya tulis, baik buku maupun artikel dan jurnal yang memuat kajian tentang bagaimana agama dalam kehidupan manusia.[1] Teori Ilmu Jiwa AgamaTeori Monistik (Mono = Satu) Teori ini berpendapat bahwa sumber kejiwaan agama yang paling dominan adalah satu.[2] Akan tetapi, sumber tunggal manakah yang paling dominan.[2] Timbul beberapa pendapat dari para ahli:[1]
Thomas mengemukakan bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama itu ialah pikiran.[1] manusia ber-Tuhan karena manusia menggunkan kemampuan pikirannya.[1]
Filosof Jerman ini berpendapat agama adalah suatu pengetahuan yang sungguh-sungguh benar dan tempat kebenaran abadi.[1] berdasarkan hal itu, agama semata-mata merupakan hal-hal atau persolan yang berhubungan dengan pikiran.[1]
Pendapat S. Freud unsur kejiwaan yang menjadi sumber kejiwaan agama ialah libido sexuil (naluri seks).[1]
Menurut pendapatnya sumber kejiwaan agama adalah rasa kagum yang berasal dari the wholly other (yang sama sekali lain).[1] Teori Fakulti (Faculty Theory) Teori ini berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu tidak bersumber pada suatu faktor yang tunggal tetapi terdiri dari beberapa unsur, antara lain yang dianggap memang berperan penting adalah:[1]
Merupakan fungsi intelektual jiwa manusia.[1] Ilmu Kalam (Teologi) adalah cerminan adanya pengaruh fungsi intelektual ini.[1] Melalui cipta, orang dapat menilai, membandingkan, dan memutuskan sesuatu tindakan terhadap stimulus tertentu.[1][2]
Yang menjadi objek penyelidikan sekarang pada dasarnya adalah bukan anggapan bahwa pengalaman keagamaan seseorang itu dipengaruhi oleh emosi, melainkan sampai berapa jauhkah peran emosi itu dalam agama.[1][2]
Will berfungsi mendorong timbulnya pelaksanaan doktrin serta ajaran agama berdasarkan fungsi kejiwaan.[1][2] Pemuka teori fakulti adalah:[2] 1. G. M. Straton 2. Prof. Dr. Zakiah Darajat 3. W.H Thomas Pertumbuhan Agama pada Masa Anak-AnakPada umumnya agama seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman dan latihan-latihan yang dilalui pada masa kecilnya dulu.[11] Perkembangan Individu terhadap agama menurut Zakiah Darajat:
Anak-anak mengenal Tuhan, melalui bahasa.[11] Dari kata-kata orang yang ada pada lingkungannyam yang pada permulaan diterimanya secara acuh tak acuh saja.[11] Menurut penelitian Ernest Harms perkembangan agama anak-anak melalui beberapa fase (tingkatan).[1] Dalam bukunya yang berjudul The Development of Religion on Childern, ia mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak itu melaui tiga tingkatan, yaitu:[1]
Tingkat ini dimulai pada anak berusia 3-6 tahun.[1] Pada tingkat ini konsep mengenal Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi.[1] Pada tingkat perkembangan ini anak menghayati konsep ke-Tuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya.[1]
Tingkat ini dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar.[1] Pada masa ini, ide ke-Tuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang mendasar kepada kenyataan (realita).[1]
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosional yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka.[1] Agama dan Kesehatan MentalDalam perkembangan ilmu jiwa agama (psikologi agama) akhir-akhir ini terasa sekali betapa eratnya hubungan antara agama dan kesehatan, terutama kesehatan mental.[11] Pada diri orang yang hidup beragama terlihat ketentraman batin, sikapnya selalu tenang.[3] Mereka tidak merasa gelisah atau cemas, perbuatannya tidak ada yang menyengsarakan atau menyusahkan orang.[3] Berbeda dengan orang yang hidupnya terlepas dari kehidupan agama, biasanya mudah terganggu oleh goncangan suasana.[3] Begitu ampuh dan besar arti agama dalam kehidupan manusia, karena agama mempunyai fungsi yaitu;:[3] 1. Memberi bimbingan dalam hidup.[3] 2. Menolong dalam menghadapi kesyukaran.[3] 3. Penawar bagi tekanan jiwa.[3] 4. Menentramkan batin.[3] 5. Menciptakan kebahagian dan kemaslahatan.[3] Referensi
|