Protein C-reaktifProtein C-reaktif (bahasa Inggris: C-reactive protein, CRP) adalah suatu protein yang dihasilkan oleh hati, terutama saat terjadi infeksi atau inflamasi di dalam tubuh. Namun, berhubung protein ini tidak bersifat spesifik, maka lokasi atau letak organ yang mengalami infeksi atau inflamasi tidak dapat diketahui.[1] Pemeriksaan CRP juga telah dikembangkan menjadi high-sensitivity CRP sehingga dapat digunakan untuk memprediksi terjadinya penyakit jantung pada masa depan.[2][3] Pada pasien penderita penyakit autoimunitas, CRP juga dapat dihasilkan tubuh dalam jumlah besar, contohnya pada penderita rheumatoid arthritis, lupus, atau vasculitis.[1] SejarahCRP ditemukan oleh William S. Tillett (1892-1974) dan Thomas Francis, Jr. (1900-1969) pada tahun 1930 di laboratorium milik Oswald T. Avery (1877-1955). Ketika itu, kedua peneliti tersebut sedang mengadakan studi klinis dan laboratorium untuk mengembangkan terapi bagi infeksi pneumococcal pneumonia. Mereka menemukan suatu antigen baru yang disebut Fraksi C dan melanjutkannya dengan pemeriksaan imunologi terhadap pasien penderita infeksi pneumonia. Tilett dan Francis membuktikan bahwa Fraksi C dapat bereaksi kuat terhadap pasien yang berada dalam tahap awal infeksi dan infeksi akut, tetapi setelah pasien sembuh maka reaksi dengan Fraksi C menghilang. Dalam percobaan lanjutan, ternyata Fraksi C tersebut juga dapat bereaksi dengan pasien penderita penyakit atau inflamasi lainnya, seperti endocarditis dan demam reumatik akut.[4] Beberapa tahun kemudian, Avery, Theodore J. Abernethy, dan Colin MacLeod (1909-1972) mempublikasikan senyawa yang disebut C-reactive protein dan menjelaskan sifat dari protein tersebut. Maclyn McCarty (1911-2005) berhasil mengkristalisasi CRP pada tahun 1947 dan bersama dengan rekannya mulai menggunakan pengukuran CRP untuk mempelajari tahapan perkembangan penyakit demam reumatik. Saat penelitian mengenai CRP makin berkembang, Schieffelin & Co, suatu perusahaan di New York mulai memproduksi CRP secara komersial untuk keperluan pemeriksaan medis.[4] Pada tahun 1990, para peneliti membuktikan bahwa inflamasi berperan terhadap perkembangan aterosklerosis sehingga CRP dapat digunakan untuk penilaian risiko (prediksi) penyakit jantung atau kardiovaskular. Penelitian juga menunjukkan adanya kemungkinan CRP berperan di dalam perkembangan penyakit tersebut sehingga saat ini mulai dikembangkan obat yang dapat menurunkan kadar CRP di dalam tubuh.[4] ManfaatPengukuran kadar CRP sering digunakan untuk memantau keadaan pasien setelah operasi. Pada umumnya, konsentrasi CRP akan mulai meningkat pada 4-6 jam setelah operasi dan mencapai kadar tertinggi pada 48-72 jam setelah operasi. Kadar CRP akan kembali normal setelah 7 hari pasca-operasi. Namun, bila setelah operasi terjadi inflamasi atau sepsis maka kadar CRP di dalam darah akan terus menerus meningkat.[5] Pada kondisi terinfeksi aktif, kadar CRP di dalam tubuh dapat meningkat hingga 100x kadar CRP pada orang normal sehingga pengukuran CRP sering digunakan untuk mengetahui apakah pasien dalam kondisi terinfeksi atau mengalami inflamasi tertentu. Pada saat terjadi infeksi bakteri atau inflamasi, leukosit akan teraktivasi kemudian melepaskan sitokin ke aliran darah. Sitokin akan merangsang sel-sel hati (hepatosit) untuk memproduksi CRP.[5] Pada tahun 2003, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dan the American Heart Association (AHA) merekomendasi penggunaan hsCRP untuk memprediksi risiko penyakit kardiovaskular terutama untuk pasien penderita sindrom koroner akut dan penyakit koroner stabil. Nilai yang dijadikan acuan untuk penilaian risiko penyakit kardiovaskular tersebut adalah:
Referensi
|