Prasasti PucanganPrasasti Pucangan atau dikenal juga dengan Calcutta Stone merupakan sebuah prasasti batu berasal dari Jawa Timur, Indonesia ditemukan di sekitar lereng Gunung Penanggungan, yang menggunakan dwibahasa Sanskerta dan Kawi,[1] berasal dari tahun 963 Saka atau 1041 Masehi.[2][3]
Prasasti ini peninggalan zaman pemerintahan Airlangga, yang menjelaskan tentang beberapa peristiwa serta silsilah keluarga raja secara berurutan. Prasasti ini disebut juga dengan nama Calcutta Stone. Saat ini prasasti Pucangan masih tersimpan di Museum India di Kolkata (Calcutta), India. Prasasti Pucangan terdiri dari dua prasasti berbeda yang dipahat pada sebuah batu, di sisi depan menggunakan bahasa Jawa Kuno dan di sisi belakang menggunakan bahasa Sanskerta, tetapi kedua prasasti tersebut ditulis dalam aksara Kawi (Jawa Kuno). Prasasti ini berbentuk blok berpuncak runcing serta pada bagian alas prasasti berbentuk bunga teratai. Penamaan prasasti ini berdasarkan kata "Pucangan" yang ditemukan pada prasasti tersebut, yang menceritakan adanya perintah membangun pertapaan di Pucangan, sebuah tempat di sekitar Gunung Penanggungan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.[4] PenemuanPrasasti ini ditemukan pada masa Thomas Stamford Raffles menjadi Letnan Gubernur pemerintahan kolonial Inggris di Batavia. Pada tahun 1812, Raffles menyerahkan prasasti itu kepada atasannya, Gubernur Jenderal Inggris di India, Lord Minto. Prasasti itu lalu disimpan dan menjadi bagian dari rumah keluarga Minto di Kolkata.[5] Ketika keluarga Lord Minto pulang ke Hawick Skotlandia, prasasti ini tidak turut dibawa, melainkan disimpan di museum di Kolkata, India.[6] Isi PrasastiPrasasti Pucangan ditulis satu sisi bertulis Jawa kuno dan satu sisi berbahasa sansekerta. Berikut isi bagian yang berbahasa Sansekerta. Silsilah Raja Airlangga, dimulai dari Sri Isyana Tunggawikrama (Mpu Sindok) yang mempunyai anak Sri Isyana Tunggawijaya. Dari perkawinan anaknya dengan Sri Lokapala, lahir Sri Makutawangsawardhana. Anak Makutawangsawardhana yang bernama Gunapriyadharmapatni (Mahendradatta) kawin dengan Udayana, dan lahirlah Airlangga. Dalam prasasti juga disampaikan bahwa Airlangga menikah dengan putri raja sebelumnya, tetapi pada pernikahan itu keraton terbakar sehingga Airlangga harus melarikan diri ke hutan ditemani Mpu Narotama. Airlangga kemudian didatangi rakyat yang dipimpin oleh para Brahmana, mereka meminta agar Airlangga bersedia menjadi raja. Kemudian di prasasti juga disampaikan pertempuran-pertempuran yang dimenangkan Airlangga, sehingga semua musuhnya ditaklukan satu persatu dan akhirnya pada tahun 959 saka (1037) Airlangga berhasil duduk di atas takhta dengan meletakkan kakinya di atas kepala semua musuhnya. Selanjutnya disebutkan juga bahwa Airlangga mendirikan sebuah pertapaan di Pugawat sebagai tanda terima kasihnya kepada para dewa. Sedang pada bagian yang berbahasa Jawa Kuna disebutkan pada tanggal 10 paro terang bulan kartika 963 saka (6 November 1041), Airlangga yang bergelar Sri Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawiramottunggadewa memerintahkan agar daerah-daerah Pucangan, Brahem, dan Bapuri dijadikan Sima untuk kepentingan sebuah pertapaan yang telah didirikannya. Hal itu dilakukan untuk memenuhi janjinya ketika Pulau Jawa mengalami pralaya sebagai akibat serangan Raja Wurawari yang menyerbu lawan pada tahun 938 saka (1016) dan mengakibatkan raja yang memerintah sebelumnya (Dharmawangsa Teguh) berikut beberapa pejabat tinggi lainya tewas. Teks prasasti berbahasa SanskertaAlih AksaraTotal terdapat 34 bait dalam teks berbahasa Sanskerta. Sepeeri tertera dalam buku karya H. Kern berjudul Verspreide Geschriften (1917 :96) Alih aksara prasasti bahasa Sanskerta (Witasari, 2009) adalah sbb.:[2][7]
Alih BahasaAlih bahasa prasasti bahasa Sanskerta (Witasari, 2009) adalah sbb.
Usaha pengembalianPeter Brian Ramsey Carey, sejarawan asal Inggris, meminta Pemerintah Indonesia melakukan pendekatan kepada Pemerintah India dan keluarga Lord Minto, untuk dapat memulangkan Prasasti Pucangan dan Prasasti Sangguran.[8][9] Sebab, Prasasti Pucangan dalam kondisi kurang terawat dan tergeletak terkena hujan dan panas di luar gudang Museum Kalkuta, sedangkan Prasasti Sangguran juga kurang terawat dalam taman keluarga Minto di Skotlandia.[8] Namun, kepastian pengembalian kedua prasasti penting tersebut belum jelas hingga kini.[8][9] Rujukan
Bacaan lanjutan
|