Peter ForsythPeter Taylor Forsyth (1848-1921) lahir di Aberdeen sebagai putra pengantar pos.[1][2] Setelah belajar kesusastraan klasik pada Universitas Aberdeen, ia berangkat ke Gottingen untuk belajar pada Ritschl.[1][2] Setelah studi lanjutan di Hackney College di London, ia menjadi gembala Kongregasionalis dan melayani lima jemaat yang berlainan.[1] Di akhir jabatan kependetaannya, ia mengalami perubahan dan pindah ke kelompok Evangelikal.[1] Pada tahun 1901, ia menjadi pimpinan di Hackney College.[1] Jabatan ini diembannya hingga ia meninggal pada tahun 1921.[1] Teologinya didasarkan atas Alkitab khususnya menyangkut metode dan hasil penelitian Alkitab.[1] Forsyth berpegang pada sikap penelitian kritis yang percaya, yaitu kombinasi dari penelitian Alkitab dan penerimaan ajaran Injil.[1] Baginya, penyataan Allah yang tertinggi adalah dalam Yesus Kristus dan khususnya dalam salib.[1] Para rasul memberitakan hal ini dan pemberitaannya terdapat dalam Perjanjian Baru.[1] Jadi, kewibawaan teologi Kristen terletak pada berita Injil yang dicatat dalam Alkitab, dan bukan pada Alkitab sebagai kitab.[1] Alkitab berwibawa sebagai kesaksian utama tentang Yesus.[1] Pandangannya inilah yang kemudian membuatnya untuk memilih Evangelikal.[1] Forsyth melihat salib sebagai inti iman Kristen.[1] Ia menemukan kembali kekudusan dan murka Allah dalam dosa.[1] Ia berkeyakinan bahwa kasih Allah tidak lebih nyata daripada murka-Nya, sebab Ia dapat saja sangat marah tetapi hanya dengan mereka yang Ia kasihi..[1] Semua orang menurut hasratnya, memberontak terhadap Allah dan mengasingkan diri dari-Nya.[1] Salib Allah dalam Kristus mendamaikan kita dengan-Nya.[1] Forsyth juga memiliki pandangan mengenai tafsirannya terhadap inkarnasi Yesus Kristus.[1] Ia menunjukkan bahwa kelemahan-kelemahan manusiawi Yesus tercatat dalam Injil.[1] Menurutnya, kelemahan Yesus memberikan dua pilihan: apakah ia menyembunyikan keallahan-Nya atau ia mengosongkan diri-Nya.[1] Bagi Forsyth, pilihan pertama tidak dapat diterima dari segi moral, karena dengan demikian, inkarnasi dikurangi maknanya menjadi penipuan belaka.[1] Forsyth meyakini pilhan kedua sekaligus ia mengakui bahwa Allah tidak dapat melepaskan sifat-sifat-Nya.[1] Ia katakan bahwa dalam inkarnasi, Yesus Kristus secara sukarela membatasi diri, mengurangi dan menarik sifat keallahan-Nya, sehingga menjadi potensial dan tidak aktual, yang dapat hadir namun tidak hadir secara nyata.[1] Pranala luar
Referensi |