Pertempuran Samarinda
Pertempuran Samarinda (29 Januari–8 Maret 1942) adalah sebuah operasi dalam serangkaian serangan Jepang untuk menaklukkan Hindia Belanda. Setelah menaklukkan kilang minyak di Balikpapan, pasukan Jepang maju ke utara untuk menaklukkan tempat pengeboran minyak strategis di dalam dan sekitar Samarinda dan jalur-jalur pipa yang menghubungkan kedua kota tersebut. Latar BelakangSebelum Perang Dunia II, Samarinda memiliki kepentingan strategis karena keberadaan ladang-ladang minyak milik Bataafse Petroleum Maatschappij (BPM; Perusahaan Petroleum Batavia) yang terletak di utara dan selatan Sungai Mahakam. Lokasi pengeboran di Sanga Sanga (bernama "Louise"), khususnya, memasok sejumlah besar minyak untuk kilang di Balikpapan. Minyak dari Sanga Sanga disalurkan melewati pipa sepanjang 70 km melalui Sambodja (Samboja) ke Balikpapan. Selain dari itu, Belanda juga mendirikan tambang batu bara di daerah Loakoeloe (Loa Kulu), yang dimiliki oleh Oost Borneo Maatschappij (OBM; Perusahaan Kalimantan Timur).[3] Jepang juga menyadari pentingnya Samarinda sebagai pusat produksi minyak dan batubara, di samping pelabuhannya dan fasilitas pengisian ulangnya. Maka dari itu, Samarinda menjadi salah satu target penyitaan utama Jepang dalam rencananya untuk mencaplok Hindia Belanda.[4] Susunan PasukanJepangPasukan DaratDetasemen Kume (Komandan: Letnan Kolonel Motozō Kume):[5]
BelandaPasukan DaratDetasemen Samarinda (Komandan: Kapten G.A.C. Monteiro):[6][7]
Rencana BelandaPada bulan Desember 1941, Markas Besar di Bandung memberikan Detasemen Samarinda tugas-tugas berikut:[7]
Karena lokasi pengeboran Sanga Sanga dapat diakses dari laut melalui sejumlah besar saluran delta Mahakam dengan mudah, Belanda telah menempatkan beberapa langkah pertahanan dan detektor dalam pendekatan ke Sungai Mahakam. Untuk memberi sinyal jika ada gerakan kapal yang mencurigakan, Monteiro menyiapkan pos-pos telepon di berbagai mulut delta yang akan memberi tahu dia tentang pergerakan kapal apa pun. Baterai 3x meriam 75 mm juga dipasang di dekat Sungai Mariam untuk mencegah kapal musuh mendekati mulut Sungai Sanga Sanga.[8] Di persimpangan Sungai Sanga Sanga dan Mahakam (Sanga Sanga Moeara (Muara)), Belanda juga mendirikan gardu pertahanan beton sebagai bagian dari posisi defensif untuk memukul mundur pendaratan musuh di dekat mulut sungai. Selain itu, Monteiro juga menempatkan pasukan penjaga di jembatan Kali Dondang di Sungai Tiram, dekat tempat pipa minyak ke Balikpapan berada. Untuk membantu mencegah situs pengeboran minyak ditangkap secara utuh, Belanda telah menyiapkan rencana penghancuran sejak awal Januari 1942 dan telah mengevakuasi keluarga staf BPM di Sanga Sanga dan Anggana ke Samarinda.[9][10] Rencana JepangMeskipun ladang minyaknya bersifat penting bagi rencana mereka, pihak Jepang hanya berencana untuk menangkap Samarinda dengan sumber daya yang lebih kecil. Awalnya, pasukan Jepang berencana memasuki Samarinda melalui pendaratan di Delta Mahakam. Namun, pada akhir Januari, rencana itu diubah menjadi manuver untuk merebut Sanga Sanga dan Samarinda lewat gerakan darat.[11] Untuk operasi ini, bagian dari Detasemen Kume akan bergerak dari Balikpapan melalui Mentawir ke Loa Djanan (Loa Janan) di utara, sementara Kume dan pasukan utamanya akan bergerak di sepanjang jalan Balikpapan - Sambodja (Samboja) - Samarinda dan mengusir pasukan Belanda yang bertahan disana.[5] PertempuranPenghancuran Ladang Minyak Sanga SangaPada 18 Januari, Kolonel C. van den Hoogenband, komandan pasukan Belanda di Balikpapan menelepon Monteiro dan memberitahukan kepadanya bahwa penghancuran ladang minyak di Balikpapan akan dimulai, setelah pesawat pengintai Belanda menemukan armada invasi Jepang di dekat Tanjung Mangkalihat. Berdasarkan perbincangan di telepon ini, Monteiro memutuskan untuk memulai proses pengahncuran ladang minyak Sanga Sanga. Di bawah komando Letnan Naber, dan dibantu oleh karyawan BPM yang telah diwamilkan, proses penghancuran dimulai pukul 09:00 tanggal 20 Januari. Karena rencana pelaksanaannya telah terorganisasi dengan baik dan dilaksanakan dengan tenang, pada pukul 18:00, ladang minyak Sanga Sanga telah dihancurkan secara menyeluruh dan sistematis. Tim zeni yang terlibat kemudian diberangkatkan ke Lapangan Terbang Samarinda II, lalu dievakuasi ke Jawa.[12][13] Penyusunan Ulang Pertahanan BelandaPada 22 Januari, Markas Besar Umum (AHK) di Bandung memerintahkan Monteiro untuk meninggalkan 4 brigade (masing-masing sekitar 15-18 orang) di Sanga Sanga untuk mencegah pendaratan musuh di sepanjang Sungai Mahakam. Monteiro merasa bahwa karena dia tidak memiliki jumlah pasukan yang cukup untuk melaksanakan perintah ini, ia menyarankan agar pasukannya tetap mempertahankan jalan yang membentang dari Sungai Mahakam hingga Samarinda II (panjang 2,5 km). AHK mengabaikan sarannnya, dan menekankan bahwa perintah awal yang mereka berikan harus dilakukan. Tapi kemudian, AHK mengklarifikasi posisi mereka lagi, dan menginstruksikan Monteiro untuk menahan pergerakan pasukan Jepang di sepanjang Sungai Mahakam, menggunakan kapal. Pada saat itu, Monteiro hanya memiliki dua kapal yang tersedia untuk tugas ini: Triton (kapal Gouvernementsmarine) dan kapal patroli P-1 yang melarikan diri dari Tarakan dan tiba pada 19 Januari.[14] Monteiro memerintahkan Sersan. Mayor J. Schrander untuk tinggal bersama 80 serdadu dan beberapa zeni yang tersisa di Sanga Sanga. Setelah melakukan penghancuran ladang minyak terakhir, Detasemen Schrander harus menahan serangan Jepang yang menimbulkan korban sebanyak mungkin. Sementara itu, Monteiro menyita semua kapal layar yang ia bisa temukan- sekitar empat puluh kapal, mulai dari kapal motor kecil hingga kapal pantai 100 ton - dan membaginya menjadi empat kelompok, masing-masing kelompok beranggotakan sekitar 250 orang di bawah satu komandan. Monteiro juga memindahkan markas besarnya dari Sanga Sanga ke Samarinda dan menugaskan Letnan Hoogendorn untuk menghancurkan pipa minyak di sepanjang aliran Dondang. Pasukan tersisa yang tidak cocok untuk melakukan pertempuran disepanjang Sungai Mahakam ditarik ke Samarinda II.[14] Tanggal 24 Januari, Hoogenband mengevakuasi pasukannya dari Balikpapan, mengakibatkan Monteiro harus mengandalkan laporan warga sipil untuk sumber informasi. Meskipun laporan mereka memberikan gambaran yang tidak jelas tentang situasi di Balikpapan, mereka masih menunjukkan bahwa pasukan Jepang berniat untuk bergerak melalui jalur pipa dari Balikpapan ke Sanga Sanga dan juga bergerak melalui laut, dengan harapan bahwa mereka akan tiba di Samarinda pada bulan Februari.[15] Pergerakan Detasemen KumePada tanggal 29 Januari, Monteiro diberi tahu bahwa Detasemen Kume mulai menyeberangi Sungai Doendang. Dia segera menginstruksikan Schrander untuk melakukan penghancuran fasiitas yang masih berfungsi di Sanga Sanga, dan mengambil tindakan ofensif terhadap musuh. Tak lama setelah memberikan perintah ini, koneksi dengan Sanga Sanga terputus. Segera setelah pertempuran di Sanga Sanga dimulai, Schrander dengan cepat kehilangan kendali atas empat brigade-nya, karena para komandan brigade telah kehilangan kendali juga. Tidak lama kemudian, pasukan Schrander telah kalah dan mundur kacau balau ke Loa Djanan di arah barat. Monteiro segera menyadari, bahwa Detasemen Kume akan bergerak di sepanjang jalan yang baru selesai dibangun sebagian, yang membentang dari Balikpapan ke Loa Djanan. Pada 31 Januari, pasukannya membakar Samarinda dan Monteiro memindahkan markasnya ke Loa Djanan.[5][12] Tanggal 1 Februari, pasukan yang tersisa dari Detasemen Schrander mencapai Loa Djanan dan memberi tahu Monteiro bahwa Detasemen Kume telah memukul mundur mereka. Mereka juga memberi tahu bahwa sehari sbelumnya, Kume dan pasukannya telah menyeberangi Sungai Tiram dari selatan. Monteiro mengirim patroli ke Sanga Sanga untuk menemukan Schrander, tetapi tidak berhasil. Laporan warga sipil juga menunjukkan bahwa ada pertempuran sengit di Sanga Sanga. Karena itulah Monteiro menyadari bahwa mempertahankan baterai Belanda di Sungai Marian tidak akan membawa dampak apa-apa. Dia memerintahkan van Brussel, komandan dari baterai, untuk menghancurkan meriam-meriamnya dan mundur ke Loa Djanan.[12] Di 2 Februari, pasukan penjaga Belanda yang ditempatkan 12 km dari Loa Djanan bertempur dengan satu barisan pasukan Jepang yang telah bergerak dari Balikpapan ke Mentawir. Karena jumlah mereka lebih sedikit, para pasukan penjaga itu dipukuli mundur ke Loa Djanan saat malam tiba, memaksakan Monteiro untuk memindahkan markasnya ke Tenggarong di utara untuk melanjutkan penahanan Detasemen Kume di sepanjang Sungai Mahakam ke Samarinda II. Di Loa Koeloe, pasukan Belanda menghancurkan tambang batubara OBM, sebelum menerima informasi bahwa pasukan Kume telah menduduki Loa Djanan. Tanpa jeda, Kume menggerakan pasukannya ke timur dan merebut Samarinda di tanggal 3 Februari. Seiring pergerakan mereka, pasukan Jepang mencoba menembus sungai Mahakam melalui laut tetapi gagal, saat dua kapal perusak mereka kandas di salah satu sungai delta.[12]
Aksi Penahanan MonteiroUntuk melakukan tindakan penahanan di sungai, Belanda melengkapi Triton dengan sebuah meriam, sepasang senapan mesin, dan menambahkan lempengan baja buatan ke lambungnya. Kapal itu meninggalkan Tenggarong tanggal 3 Februari jam 04:00 pagi untuk mengintai daerah Loa Djanan. Lima jam kemudian,Triton kembali dengan informasi bahwa pasukan Jepang telah menduduki kota itu. Badan kapal itu berbekas banyak tembakan senapan mesin, namun aksinya menyebabkan banyak korban di pasukan Jepang, hanya dengan dua awak yang terluka setelah pertempuran berakhir.[2] Dari perspektifnya, karena Kume belum berniat untuk maju lebih jauh ke pedalaman setelah menduduki Samarinda, Monteiro berencana menggunakan pasukannya yang tersisa untuk melakukan serangan kejut ke Samarinda. Sekali lagi, AHK menolak rencananya karena dia bahkan tidak memiliki pasukan yang cukup untuk menunda kemajuan musuh, yang akhirnya terjadi tanggal 8 Februari, ketika Detasemen Kume mulai bergerak menuju Tenggarong. Sebelum kota itu diduduki pada sore dihari yang sama, Monteiro sudah memindahkan markasnya lagi 15 menit lebih jauh ke hulu.[16] Kapal Triton, sekarang di bawah komando Letnan Scheltens, berlayar ke Tenggarong pada tanggal 10 Februari dan segera bertempur lagi dengan pasukan Jepang. Selama pertempuran ini, banyak awak sipilnya melompat ke sungai, dan kapal mulai terhanyut tanpa arah. Scheltens mengambil kemudi dan mengendalikan haluan kapal kembali. Sepanjang baku tembak yang berlangsung selama 20 menit, ia berhasil mencegah panik diantara awak kapal yang tersisa dan memimpin arah tembakan mereka. Namun demikian, pertempuran ini menciptakan suasana gangguan mental di antara awak sipil yang tersisa. Ketika mereka mulai desersi dari pertempuran, moral di antara pasukan Belanda yang ada mulai tegang, terutama saat pasukan penduduk asli melakukan hal yang sama dan kembali ke keluarga mereka di Samarinda. Untuk menjaga agar aksi penahanan tetap berlangsung, AHK mengirim personil angkatan laut pengganti dari Jawa.[17] Saat15 Februari tiba, sisa dari Detasemen Samarinda telah berbasis di Kota Bangoen (Kota Bangun) dan mengirim 4 brigade di bawah Scheltens ke Benua Baroe (Benua Baru) di selatan untuk menutup rute dari Tenggarong ke Kota Bangoen. Namun, Monteiro hanya memiliki tiga kapal tempur bersenjata seadanya untuk menunda serangan Jepang dari sungai. Selain Triton, ada juga Mahakam, mantan kapal milik Binnenlands Bestuur (BB; Administrasi Interior). Pasukan Belanda mempersenjatai Mahakam dengan meriam 20 mm dan beberapa senapan mesin. Namun, struktur P-1 yang bercacat membuatnya tidak berfungsi saat ini. Monteiro juga telah mengevakuasi keluarga para tentara ke arah barat untuk mencegah desersi lebih lanjut.[18] Untuk mengambil kembali inisiatif, ia mengirim mata-mata ke Samarinda dan Tenggarong untuk mengumpulkan intelijen tentang kemungkinan serangan Jepang;[16] Scheltens bahkan menyamar sebagai Haji Arab dan mengumpulkan informasi dari mengunjungi banyak kampung. Sementara itu, komandan Lanud Samarinda II, Mayor Gerard du Rij van Beest Holle ditunjuk sebagai komandan penjabat semua pasukan militer Belanda di Kalimantan. Monteiro segera mendesaknya untuk menyampaikan kesia-siaan tindakan penundaan dan kebutuhan untuk menyerang Samarinda ke AHK, karena beberapa faktor:[18]
Meski begitu, van Beest Holle tetap bersikukuh untuk melanjutkan pertarungan di sepanjang sungai untuk memastikan keselamatan Samarinda II. Pada 1 Maret, bagaimanapun, AHK menyetujui rencana Monteiro, jika dia setuju untuk melanjutkan aksi di sungai jika rencananya gagal. Namun karena ia hanya memiliki sedikit pasukan yang tersisa, Monteiro tidak dapat memenuhi persyaratan ini; dia meminta untuk setidaknya dua kompi lagi didatangkan, tetapi tidak berhasil. Pada 5 Maret, mata-matanya mengirim laporan tentang serangan Jepang yang akan segera terjadi di Kota Bangoen melalui darat dan sungai.[16][18] Keesokan harinya, patroli Belanda dari Benua Baroe bertemu dengan patroli Jepang dan segera mundur kembali ke kota itu; pasukan Jepang membuat kemah hanya satu jam dari posisi Belanda. Saat fajar muncul di 7 Maret, Tenggarong diserang. Pertempuran berlanjut selama tiga jam hingga pukul 10:00, ketika tembakan senapan mesin dan mortir Jepang memaksa pasukan Belanda mundur secara panik dan kacau dari Kota Bangoen. Dari 80 tentara di Benua Baroe, 10 dari mereka, dan komandan mereka Letnan Van Mossel tidak mencapa kota itu pada pukul 02:00 pagi di hari berikutnya. Monteiro menginstruksikan Triton, sebuah kapal penarik milik OBM dan sebuah speedboat untuk menunggunya sampai pukul 06:00, sebelum mereka mundur kembali ke hulu.[16][19] Ketika pasukan Belanda dari Benua Baroe mencapai Kota Bangoen, mereka segera naik kapal yang ada bersama dengan pasukan dibawah komando Monteiro dan mundur ke Moeara Moentai (Muara Muntai) di bawah perlindungan ketiga kapal diatas. Setelah konvoi kapal ini merapat di Moeara Moentai, Monteiro mendirikan markasnya di kota itu pada pukul 05:00 di bawah suara tembakan dari jauh. Dua jam kemudian, beberapa tentara Belanda tiba dengan sang speedboat yang sudah rusak dan memberi tahu Monteiro bahwa kapal-kapal tempur di Kota Bangoen telah bertempur dengan kapal sloop lapis baja Jepang. Dengan Triton yang rusak berat dan kapal penarik OBM juga tidak bisa digunakan lagi karena pertempuran ini, kapal Mahakam, bersama dengan pasukan KNIL yang tidak terorganisir diatas kapal-kapal kayu adalah semua yang tersisa dari pasukan penahan Belanda di Sungai Mahakam.[20] Monteiro memutuskan untuk mengorganisir perlawanan terakhir di Lanud Samarinda II dan segera menuju kesana untuk menginformasikan kondisinya kepada van Beest Holle. Saat dalam perjalanan, ia menerima telegram tentang negosiasi yang sedang berlangsung antara komandan Belanda dan Jepang di Jawa pada pukul 09:00. Pada siang hari, radio mengumumkan penyerahan tanpa syarat semua pasukan Belanda di Hindia Belanda. Monteiro terpaksa harus menyerah kepada Jepang, dan dengan itu, mengakhiri perlawanan terorganisir terakhir di Kalimantan Timur.[16] Pasca-PertempuranLetnan Van Hossel bergerak secara sembunyi-sembunyi sampai tanggal 11 Maret, ketika pasukan Jepang berhasil menawannya di Moeara Moentai. Tanggal 19 Maret, pasukan Jepang telah mengumpulkan semua pasukan Belanda dan menahan mereka di Samarinda. Mayor van Beest Holle meninggal dalam tahanan di Tarakan tanggal 4 Juni 1944. Setelah perang, militer Belanda menganugerahi Kapten Monteiro dengan Medali Singa Perunggu dan Letnan Scheltens dengan Medali Salib Perunggu.[21] PembebasanSamarinda berada di bawah pendudukan Jepang hingga September 1945, ketika kota itu dibebaskan oleh Batalion ke-2 Divisi ke-7 Australia.
Catatan
Referensi
|