Pertempuran Kepulauan Lipara
Pertempuran Kepulauan Lipara atau Pertempuran Lipara adalah pertempuran maritim yang terjadi pada 260 SM dalam Perang Punik I. Satu skuadron maritim yang terdiri dari 20 kapal Kartago yang dipimpin oleh Boödes, berhadapan dengan 17 kapal Romawi dikomandani oleh konsul senior Romawi pada tahun tersebut, Gnaeus Cornelius Scipio, di Pelabuhan Lipara. Kurangnya pengalaman Romawi dalam pertempuran maritim, mengakibatkan seluruh armada kapal mereka ditangkap (bersama dengan pemimpinnya). Bangsa Romawi membangun armada maritimnya untuk melawan kekuatan maritim Kartago di bagian barat Mediterania dan Scipio dengan tergesa-gesa bergerak ke Lipara dengan skuadron maritimnya. Pertempuran tersebut bukan hanya sekadar konfrontasi kecil, tetapi tercatat sebagai konfrontasi maritim pertama dari Perang Punik dan pertama kalinya kapal perang Romawi terlibat dalam pertempuran. Setelah pertempuran usai, Scipio ditebus lalu ia dikenal sebagai bahasa Latin: Asina ("keledai betina"). Setelah kekalahan ini, kemudian Bangsa Romawi memenangkan dua pertempuran maritim yang lebih besar dan membangun paritas maritim. Sumber utamaSumber utama hampir setiap aspek tentang Perang Punik I adalah sejarawan Polibios (ca 200–ca 118 SM), seorang Yunani yang dikirim ke Roma pada tahun 167 SM sebagai sandera. [1][2][note 1] Karya-karyanya termasuk petunjuk tentang taktik militer yang sudah tidak ada lagi, tetapi ia terkenal karena karyanya The Histories, ditulis sekitar tahun 146 SM kira-kira satu abad setelah pertempuran. [1][4][5] Secara luas, karya Polibios dianggap objektif dan sebagian besar netral dari sudut pandang Kartago maupun Romawi.[6][7] Catatan tertulis Kartago dihancurkan bersamaan dengan kehancuran ibu kotanya yang bernama Kartago terjadi pada 146 SM, sehingga catatan Polibios tentang Perang Punik I berdasarkan beberapa sumber Yunani dan Latin (yang sekarang telah hilang).[8] Polibios adalah seorang sejarawan analitis, ia sedapat mungkin secara pribadi akan mewawancarai sendiri peserta yang terlibat dalam peristiwa yang akan ia tulis.[9][10] Dari 40 buku The Histories, hanya buku pertama yang membahas tentang Perang Punik I.[11] Keakuratan catatan Polibios telah banyak diperdebatkan selama 150 tahun terakhir, tetapi konsensus modern sebagian besar telah menerimanya secara nilai. Dalam sumber-sumber modern, rincian pertempuran, hampir seluruhnya didasarkan pada interpretasi dari catatan Polibios.[11][12][13] Sejarawan modern Andrew Curry menganggap bahwa "Ternyata Polibios cukup dapat diandalkan",[14] sementara Dexter Hoyos menggambarkannya sebagai "seorang sejarawan yang sangat rajin, berpengetahuan dan berwawasan luas".[15] Sejarah perang lainnya yang (kemudian) ada, tetapi dalam bentuk potongan catatan atau ringkasan[2][16] dan biasanya catatan-catatan tersebut mencatat operasi-operasi militer di darat secara lebih rinci daripada di laut.[17] Sejarawan modern biasanya juga memperhitungkan sejarah selanjutnya dari Diodorus Siculus dan Dio Cassius, meskipun ahli klasik Adrian Goldsworthy menyatakan bahwa "catatan Polibios biasanya lebih dipilih ketika terdapat perbedaan dengan catatan-catatan kita yang lain."[10][note 2] Sumber-sumber lain mencakup prasasti, bukti arkeologi dan bukti empiris dari rekonstruksi seperti trireme Olympias.[19] Sejak tahun 2010, sejumlah artefak telah ditemukan dari lokasi bekas Pertempuran Aegates. Pertempuran terakhir sebelum berakhirnya perang Aegates ini, terjadi sembilan belas tahun kemudian. Analisis dan pemulihan benda-benda lain selanjutnya, masih berlangsung.[20] Latar belakangOperasi di SisiliaKonfrontasi Romawi dengan Kartago dalam Perang Punik I, pecah pada 264 SM.[21] Kartago memiliki kekuatan maritim yang kuat di Mediterania Barat, sementara Romawi menyatukan daratan Italia di wilayah selatan sungai Arno di bawah kekuasaannya. Penyebab langsung dari perang tersebut karena kendali atas kota Messana (saat ini Messina) di Sisilia. Secara luas, kedua belah pihak ingin menguasai Sirakusa, kota yang paling kuat di Sisilia.[22] Sejak tahun 260 SM, pertempuran ini berlangsung hingga empat tahun lamanya dan Romawi bergerak maju ke Sisilia dengan sejumlah kemenangan, termasuk merebut sebuah pangkalan penting di Kartago, Agrigentum. Namun, armada maritim Kartago menyerang wilayah belakang Romawi secara bertubi-tubi bahkan hingga ke pesisir Italia. Kendali maritim Kartago atas wilayah tersebut membuat Romawi tidak mungkin memblokade kota-kota Kartago yang berada di pesisir. Bangsa Kartago kembali ke kebijakan lamanya dengan menunggu hingga lawan mereka lelah dengan harapan mereka akan mendapatkan kembali kemudian dari sebagian atau seluruh apa yang dimiliki dan merundingkan penjanjian perdamaian yang saling menguntungkan.[23] Kapal-kapalKapal-kapal standar yang digunakan selama perang ini adalah quinquereme yang berarti "berdayung lima".[17] quinquereme adalah sebuah galai, yakni kapal yang menggunakan dayung sebagai penggerak utama, memiliki panjang kira-kira 45 meter, lebar kira-kira 5 meter dengan tinggi dek 3 meter di atas permukaan laut dengan berat kira-kira 100 ton. Seorang pakar galai, John Coates menyatakan bahwa kecepatan galai tersebut berkisar 7 knot (13 kilometer per jam) dan melaju dalam waktu yang lama.[24] Replika modern galai Olympias mampu meraih kecepatan tertinggi 85 knot (157 kilometer per jam) dan melaju dengan kecepatan 4 knot (7,4 kilometer per jam) selama berjam-jam.[17] Kapal dibangun sebagai kapal katafrak atau "terlindungi" dengan lambung tertutup dan dek yang mampu membawa legiuner sebagai marinir dan ketapel.[25][26] Kapal-kapal tersebut memiliki "kabin dayung" secara terpisah yang melekat pada lambung utama. Kabin dayung ini berisi para pendayung yang memungkinkan lambung kapal dapat diperkuat, lalu dapat meningkatkan kapasitas muat dan kondisi yang lebih baik bagi para pendayung.[27] Pada 260 SM, Romawi mulai membangun armada maritimnya dengan memberdayakan quinquereme milik Kartago yang karam sebagai contoh (model) untuk kapal-kapalnya.[28] Sebagai pembuat kapal pemula, orang Romawi membuat kapal dengan bobot yang lebih berat daripada kapal-kapal Kartago, sehingga membuat pergerakan kapal menjadi lebih lambat dan tidak mudah bermanuver.[29] Quinquereme adalah ujung tombak armada maritim Romawi dan Kartago selama Perang Punik, sehingga secara umum, Polibios menyebut quinquereme kependekan "kapal perang".[30] Sebuah quinquereme dapat membawa 300 awak, 280 di antaranya adalah para pendayung dan 20 perwira dek.[31] Kapal tersebut biasanya juga membawa pelengkap 40 marinir,[32] dan akan ditingkatkan menjadi 120 bila dianggap telah mendekati pertempuran.[33][34] Untuk membuat para pendayung sebagai satu kesatuan, termasuk melakukan manuver yang kompleks dalam sebuah pertempuran, diperlukan pelatihan yang panjang dan sulit.[35] Apabila kapal ingin dikendalikan secara efektif, setidaknya setengah dari total jumlah pendayung harus memiliki pengalaman.[25] Sehingga orang-orang Romawi pada awalnya berada dalam posisi yang kurang menguntungkan dalam konfrontasi melawan Kartago yang lebih berpengalaman. Seluruh kapal perang dilengkapi dengan ram, suatu benda bilah perunggu rangkap tiga dengan panjang 60 cm (2,0 ft) dan berat hingga 270 kg (600 pon) diposisikan pada garis air pada haluan kapal dan dipaku dengan paku perunggu serta dibuat dengan menggunakan metode Cire perdue (lost-wax casting).[36][37] PertempuranSebuah prosedur yang telah berjalan lama di Romawi, terdapat pemilihan dua orang konsul setiap tahun untuk memimpin pasukan militernya masing-masing. Salah seorang konsul yang terpilih pada tahun tersebut adalah seorang konsul senior Patricus Gnaeus Cornelius Scipio, yang ditugaskan untuk memimpin armada maritim. Ia bergerak bersama 17 kapal yang diproduksi pertama. Sebagai kapal perang Romawi pertama, mereka menghabiskan beberapa waktu untuk berlatih di perairan terdekat sebelum berlayar menuju ke Messana, kemudian mereka bersiap untuk kedatangan armada utama dan mendukung logistik pasukan Romawi di laut untuk menyeberang ke Sisilia.[38][39] Scipio menerima informasi bahwa garnisun kota Lipari membelot ke pihak Romawi ketika ia berada di Selat Messina. Lipari adalah pelabuhan utama dari Kepulauan Lipari dan merupakan ancaman konstan bagi komunikasi Romawi di seberang Selat. Walaupun awak kapalnya masih belum berpengalaman dan kapal yang baru dibangun masih tahap menjalani uji coba, Scipio tidak mampu menahan gejolak ingin menaklukkan pelabuhan penting tanpa perlawanan dan bergerak menuju Lipari. Beberapa sumber kuno mencata bahwa tawaran unutk menyerahkan Lipari adalah tipu muslihat yang terinspirasi oleh Kartago untuk mendorong orang-orang Romawi agar menyerahkan kapal-kapalnya dan mereka dapat disergap, tetapi sumber tersebut tidak memberikan banyak detail dan biasanya pro-Romawi.[40][41] Bangsa Romawi memasuki pelabuhan di Lipari, Armada tempur Kartago dipimpin oleh Hannibal Gisco, jenderal yang memimpin garnisun di Agrigentum dan berpangkalan di Panormus (saat ini Palermo) sekitar 100 km (62 mi) dari Lipari. Ketika ia mendengar tentang pergerakan Romawi di Lipari, ia mengirim 20 kapal di bawah pimpinan Boödes, seorang bangsawan Kartago ke kota tersebut. Orang-orang Kartago tiba pada malam hari dan menjebak orang-orang Romawi dalam pelabuhan keesokan harinya. Pasukan Scipio memberikan sedikit perlawanan. Para awal kapal yang kurang berpengalaman bukanlah lawan yang sebanding dengan orang-orang Kartago yang terlatih dengan baik, dapat dikalahkan dengan cepat. Beberapa pasukan Romawi lari ke pedalaman dan Scipio sendiri ditangkap bersama perwira-perwira senior Romawi lainnya (beberapa catatan kuno menyebutkan bahwa Scipio dicurangi saat berunding lalu ditangkap, tetapi hal ini mungkin rekayasa Romawi). Semua kapal-kapal Romawi direbut, sebagian besar dengan kerusakan kecil.[41][42][43] Pertempuran tersebut lebih dari sekedar pertempuran kecil, tetapi terkenal sebagai konfrontasi maritim pertama Perang Punik dan pertama kalinya kapal perang Romawi terlibat dalam pertempuran.[40] AkibatKemudian, akhirnya Scipio dibebaskan, terdapat kemungkinan ia ditebus. Kekalahannya atas Kartago yang mudah, membuatnya memperoleh cognomen Asina yang berarti Keledai dalam bahasa Latin. Cognomen ini sebenarnya bentuk penghinaan, karena "Asina" adalah bentuk feminin dari kata keledai, berlawanan dengan bentuk maskulinnya adalah "Asinus". Walaupun demikian, kariernya berkembang pesat dan ia menjadi konsul untuk kedua kalinya pada 254 SM.[44][45] Tak lama setelah kemenangan Lipari, Hannibal Gisco yang tengah melakukan pengintaian bersama 50 kapal Kartago, bertemu dengan armada penuh Romawi. Ia melarikan diri, tetapi kehilangan sebagian besar armadanya.[45][46] Setelah pertempuran kecil inilah orang-orang Romawi memasang alat yang disebut denga corvus pada kapal-kapalnya.[47][48] Corvus adalah jembatan dengan panjang 11 m (36 ft) dan lebar 12 m (39 ft), yang dilengkapi dengan duri atau paku berat pada bagian bawah yang dirancang untuk menembus dan terkait dengan kapal musuh. Hal ini memungkinkan bagi para marinir untuk lebih mudah menaiki kapal musuh dan menangkapnya.[33] Kemudian pada tahun yang sama rekan konsul Scipio, Gaius Duilius, menempatkan unit tentara Romawi di bawah kepemimpinannya dan mengambil alih komando armada. Lalu ia segera berlayar dan mencari musuh. Akhirnya kedua armada maritim berkonfrontasi di lepas pantai Mylae dalam Pertempuran Mylae. Hannibal Gisco memiliki 130 kapal (sejarawan John Lazenby mencatat bahwa Duilius memiliki jumlah yang kurang lebih sama).[49] Dengan menggunakan corvus orang Romawi merebut 50 kapal Kartago[note 3] dan membuat Kartago kalah telak dalam pertempuran.[51] Perang tersebut berlangsung selama 19 tahun kemudian sebelum akhirnya Kartago dikalahkan dan perundingan perdamaian.[52][53] Setelahnya, Romawi merupakan kekuatan militer terkemuka di barat Mediterania dan memperluas wilayah Mediterania secara keseluruhan. Bangsa Romawi telah membangun lebih dari 1.000 galai selama perang dan pengalamannya dalam membangun, menjaga, melatih, memasok dan memelihara kapal-kapal sebagai dasar bagi dominasi maritim Roma selama 600 tahun.[54] Catatan, kutipan dan rujukanCatatan
Kutipan
Rujukan
Pustaka lanjutan
|