Pertanian di Kabupaten Poso

Pembukaan lahan untuk membuat lahan tanam baru, 1905

Pertanian di Kabupaten Poso mulai berkembang sejak akhir abad ke-19. Mayoritas penduduk Kabupaten Poso bekerja sebagai petani, yang tersebar di semua kecamatan. Pembangunan di bidang ekonomi yang dilakukan pemerintah dalam tahapan pembangunan yang dilaksanakan, diarahkan pada sektor Industri dan didukung oleh sektor pertanian.

Sejarah

Sistem pertanian dan pemukiman pada masa awal di pedalaman yang jarang penduduk di wilayah Poso mengungkapkan pola menyimpang. Pertanian tanaman pangan, sama seperti di banyak daerah lain, didasarkan pada beras dan jagung, dan berlangsung secara eksklusif pada bidang ladang kering. Periode kekosongan pada tahun 1895, bisa mencapai tiga sampai delapan tahun, juga tidak dapat dihindari. Di Poso, bagaimanapun, rotasi ini dilaporkan tidak berkelanjutan, sehingga seluruh desa, dan bukan hanya rumah ladang terpencil mereka, secara berkala dipaksa untuk beralih ke lokasi baru.[a][2] Adriani menyimpulkan bahwa keberadaan sistem pertanian keliling di Poso dan daerah sekitarnya ada hubungannya dengan fakta bahwa petani di sini mencampurkan perladangan berpindah dengan luas peternakan dan perburuan.[3]

Pada tahun 1988, beberapa perusahaan mulai melakukan pembukaan lahan untuk pembibitan kelapa sawit seluas 30 hektar di areal perkebunan milik warga di dekat Sungai Lantolimbu, desa Emea.[b] Proses pembukaan awal ini diresmikan oleh Bupati Poso saat itu, Soegiono bersama para anggota Muspida Kabupaten Poso. Gelombang penyerahan lahan pertanian (padi ladang, sawah dan aneka tanaman palawija) atau cadangan lahan pertanian, dan tempat penggembalaan ternak terus-menerus terjadi oleh belasan kepala desa kepada perusahaan untuk dijadikan sebagai kebun plasma.

Perkembangan

Luas lahan padi Kabupaten Poso pada tahun 2015 sebesar 22.448 hektar padi sawah dan 418 hektar padi ladang. Lahan padi tersebar di setiap kecamatan kecuali kecamatan di wilayah ibu kota. Luas lahan padi terbesar dimiliki oleh kecamatan Pamona Selatan dengan total luas sebesar 4015 hektar, sedangkan luas lahan padi sawah terkecil dimiliki oleh kecamatan Poso Pesisir Selatan sebesar 216 hektar. Padi ladang hanya terdapat di tiga kecamatan yaitu kecamatan Pamona Tenggara, Pamona Utara dan Poso Pesisir Selatan. Luas lahan padi ladang terbesar dimiliki oleh Kecamatan Poso Pesisir Selatan dengan total luas 309 hektar. Pamona Tenggara dan Pamona Utara masing-masing memiliki padi ladang dengan luas lahan sebesar 20 hektar dan 176 hektar.[4]

Tanaman palawija terdiri dari jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu dan ubi jalar. Luas lahan terbesar untuk tanaman palawija di Kabupaten Poso didominasi oleh tanaman jagung dengan total luas sebesar 2.347 hektar, yang tersebar di setiap kecamatan. Pamona Tenggara memiliki luas lahan jagung terbesar dengan total luas sebesar 568 hektar. Luas lahan jagung terkecil berada di Pamona Barat dengan total luas hanya sebesar 6 hektar. Untuk kategori tanaman palawija kedelai, luas lahan terbesar didominasi oleh kecamatan Poso Pesisir Selatan dengan total luas sebesar 112 hektar. Beberapa kecamatan lain juga memiliki sebagian kecil luas lahan tanaman kedelai, dengan total luas lahan kedelai di Kabupaten Poso sebesar 280 hektar.[5]

Ladang kacang tanah di Kabupaten Poso tersebar merata di setiap daerah. Total luas lahan kacang tanah di Kabupaten Poso adalah 280 hektar. Kecamatan dengan luas lahan terbesar adalah kecamatan Lore Utara dengan total luas sebesar 25 hektar. Kemudian diikuti dengan Pamona Selatan dengan luas 17 hektar dan dan Poso Pesisir dengan luas 11 hektar, sisanya tersebar di kecamatan-kecamatan lain dengan luas lahan tidak lebih dari 10 hektar. Tanaman kacang hijau merupakan tanaman palawija yang diproduksi paling sedikit di Kabupaten Poso. Hanya ada empat kecamatan saja yang memiliki ladang kacang hijau. Total luas lahan kacang hijau sebesar 17 hektar dengan rincian 2 hektar di Pamona Puseleba, 8 hektar di Poso Pesisir, 6 hektar di Poso Kota dan 1 hektar di Poso Kota Selatan. Tanaman ubi kayu dan ubi jalar memiliki luas lahan yang hampir sama, yaitu 177 hektar dan 188 hektar. Kecamatan yang memproduksi jenis palawija ini paling luas berada pada kecamatan Lore Utara dengan luas 78 hektar, dengan luas lahan ubi kayu dan luas lahan ubi jalar sebesar 144 hektar.[6]

Sub-sektor

Perkebunan

Sesuai letak geografisnya, sebagian besar ladang perkebunan di Kabupaten Poso digunakan untuk menanam tanaman cokelat, dengan luas lahan mencapai 39.116 hektar. Namun, jenis tanaman yang memiliki produktivitas tertinggi adalah tanaman kopi dengan angka 927 kg/hektar.[7] Tanaman sayur-sayuran yang diproduksi di Kabupaten Poso meliputi bawang merah, cabai, kentang, kubis, petai dan beberapa sayuran lainnya. Pada tahun 2015, produksi sayuran terbesar yaitu kubis dengan produksi sebesar 73 kemudian diikuti dengan cabai dan petai dengan total produksi 34 dan 32,9. Produksi bawang merah di Kabupaten Poso sebesar 10,9.

Buah-buahan yang menjadi produksi utama di Kabupaten Poso adalah pisang dengan total produksi pada tahun 2015 sebesar 22.551 buah, kemudian diikuti dengan durian dengan total produksi sebesar 16.127 buah dan mangga dengan produksi sebesar 13.653 buah. Buah-buahan lainnya yang diproduksi di kabupaten Poso adalah jeruk, pepaya dan nanas dengan produksi masing-masing sebesar 694 buah, 7.770 buah dan 596 buah.[6]

Peternakan

Subsektor peternakan di Kabupaten Poso secara keseluruhan mengalami peningkatan, pada tahun 2015, untuk ternak sapi potong populasinya mencapai 17.861 ekor, kerbau sebanyak 2216 ekor, dan untuk kuda sebanyak 112 ekor. Pada tahun 2015, populasi kambing sebanyak 7.269 ekor, sedangkan populasi babi sebanyak 76.392 ekor. Populasi hewan ternak terbanyak berada di kecamatan Lage, dengan mayoritas ternak yang terdapat adalah babi. Sedangkan dari populasi unggas, jumlah ayam kampung masih mendominasi dengan jumlah sebanyak 352.235 ekor, disusul ayam pedaging dengan 137.828 ekor dan ayam petelur sebanyak 58.000 ekor, sedangkan populasi itik di Kabupaten Poso sebanyak 47.804 ekor.[8]

Catatan

  1. ^ Ketika areal lahan sebuah desa yang biasanya digunakan untuk menghidupi desa tersebut telah benar-benar gundul dan kekurangan, penduduk desa memilih lokasi untuk pemukiman baru di wilayah suku mereka dan mendirikan sebuah desa baru di sana. Desa sebelumnya ditinggalkan tanpa diurus; dan dengan cepat menjadi terlantar, tembok pelindung desa menjadi lapuk dan hanya pohon kelapa yang tetap berdiri untuk menandai bukit lokasi bekas desa. Wisatawan di negeri ini melihat setidaknya banyak desa yang ditinggalkan, sama seperti desa yang dihuni.[1]
  2. ^ Sekarang wilayah Kabupaten Morowali.

Referensi

  1. ^ Adriani 1919, hlm. 9-10.
  2. ^ Henley 2011, hlm. 542.
  3. ^ Henley 2005, hlm. 534-7.
  4. ^ BPS 2016b, hlm. 13.
  5. ^ BPS 2016b, hlm. 14.
  6. ^ a b BPS 2016b, hlm. 15.
  7. ^ BPS 2016a, hlm. 107.
  8. ^ BPS 2016b, hlm. 17.

Daftar pustaka

Henley, David (2005). Fertility, Food and Fever: Population, Economy and Environment in North and Central Sulawesi, 1600-1930. Leiden: KITLV Press. ISBN 906-7182-09-5. 
Henley, David (2011). Swidden Farming as an Agent of Environmental Change: Ecological Myth and Historical Reality in Indonesia (PDF). OXIS. KITLV. 

Bacaan lebih lanjut

Kembali kehalaman sebelumnya