Persatuan Murid-Murid Diniyah SchoolPersatuan Murid-Murid Diniyah School atau Persatuan Murid-Murid Sekolah Diniyah (selanjutnya disingkat PMDS) adalah organisasi pelajar Islam yang didirikan oleh oleh Zainuddin Labay El Yunusy pada 18 Februari 1922 di Padang Panjang.[1][2] Perkumpulan ini terdiri dari bagian putra dan bagian putri.[3] PMDS semula bergerak dalam usaha untuk memajukan perkumpulan dan pelajaran agama Islam. Dalam perkembangannya, organisasi ini juga mengembangkan kegiatan di bidang kesenian, kepanduan, dan penerbitan surat kabar.[4] SejarahPeriode awalPMDS memiliki tujuan mempersatukan pelajar-pelajar Islam, memajukan pelajaran agama Islam, dan "tolong-menolong dalam masyarakat".[5] Organisasi ini terbentuk pada 18 Februari 1922 berkat dorongan dari pimpinan Sumatera Thawalib agar murid-murid Diniyah School dapat bersatu dalam perkumpulan. Dalam perjalanannya, PMDS tidak hanya menghimpun para pelajar Diniyah School, melainkan merangkul murid-murid sekolah agama pada umumnya serta pemuda non-pelajar.[1][6] Pada 1923, bagian khusus putri PMDS atau PMDS Putri didirikan oleh adik Zainuddin, Rahmah El Yunusiyah, sejalan dengan pendirian Diniyah Putri.[7] Pada awal kepengurusannya, PMDS dipimpin oleh Jured Luthan sebagai ketua, Muchtar Jahja sebagai wakil ketua, Tajuddin M.S. sebagai sekretaris, dan Ayun Sabiran sebagai wakil sekretaris.[1][2][5] Adapun bagian PMDS Putri dipimpin oleh Rahmah dengan anggota periode awal yang tercatat di antaranya Darwissah A.M., Jawana Basir, Kamsanah, dan Jamaliah Latif.[1] Pada 1924, PMDS menerbitkan sebuah majalah bulanan dengan nama Tunas Diniyah. Pada 1 Januari 1926, Tunas Diniyah berganti menjadi surat kabat dengan nama Soeara Moerid, dipimpin oleh Ayun Sabiran sebagai redaktur dan Muchtar Jahja sebagai pembantu.[4] Ketika meletus pemberontakan komunis di Silungkang pada 1927, banyak anggota PMDS yang dituduh pemerintah kolonial ikut berpolitik. Buntutnya, pemerintah melakukan penangkapan terhadap anggota PMDS yang mereka curigai, salah satunya Ayun Sabiran, yang ditangkap atas tuduhan menyelundupkan bahan-bahan kimia di Padang Panjang untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah.[8] Ayun akhirnya dibuang ke Digul sehingga berakibat pada terhentinya penerbitan Soeara Moerid. Sejumlah tokoh lain lolos dari penangkapan dengan menyingkir ke luar negeri, seperti Jured Luthan (bekas Ketua PMDS), Jamaluddin Ibrahim (kelak menjadi sekretaris Partai Rakyat Indonesia di Singapura), Amir Khan, Luthan Majid, dan Saleh Ja'far.[1] Pasca-1927Pasca-pemberontakan Silungkang, PMDS sempat vakum. Pada akhir Juli 1927, setelah ketegangan di Padang Panjang reda, organisasi ini kembali digerakkan oleh antara lain Muhammad Yoenoes Kocek, Leon Salim, dan Tinur Latif.[1] Setelah itu, dilakukan pertemuan dari seluruh cabang-cabang organisasi PMDS yang ada di seluruh Minangkabau, baik bagian putra maupun bagian putri. Pada masa ini, kepengurusan PMDS dipimpin oleh Munir Rahimi sebagai ketua, Dahniar Zainuddin sebagai wakil ketua, Baheramsyah Tamin sebagai sekretaris, dan Nurlela M.E. sebagai bendahara. Leon Salim memilih tidak masuk jajaran pengurus karena ingin fokus mendirikan organisasi kepanduan. Untuk menghindari kecurigaan pejabat pemerintah Hindia Belanda, PMDS menonjolkan kesenian dan olahraga dalam kegiatan pengumpulan massa mereka.[9] Pada 1928, PMDS mendirikan gerakan kepanduan yang dinamakan El-Hilaal.[9] Kepanduan tersebut dideklarasikan pada 31 Agustus 1928, bertepatan dengan perayaan Hari Ulang Tahun Ratu Wilhelmina. Saat itu, PMDS ikut ambil bagian dalam acara pawai perayaan di Padang Panjang yang disponsori pemerintah dengan menampilkan orkes seruling yang beranggotakan 31 orang.[10][11] Pada 1929, Chatib Sulaiman, seorang pemusik dari Padang, bergabung dengan PMDS.[6] Pada 1930, Leon kembali duduk di kepengurusan PMDS dan menjabat sebagai Ketua PMDS selama dua tahun berikutnya. Setelah itu, PMDS diketuai oleh Zamzami Kimin dari Juli 1932 hingga Juli 1934. Pada 1 Desember 1932, anggota PMDS menerbitkan sebuah majalah Kodrat Moeda[12] sebagai pengganti Soeara Moerid. Dari Juli 1934 hingga setahun berikutnya, PMDS diketuai oleh Abdul Muluk Naan.[4] Pada Agustus 1934, Zamzami ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda atas tuduhan membuat artikel yang berisi penghinaan terhadap penghulu-penghulu Nagari Paninjauan. Pada sekitar waktu tersebut, sejumlah anggota PMDS juga ditangkap atas tuduhan lain, seperti Danil Sulaiman, Abdul Muluk Naan, Halim C.I.I., Uzer Hayat, dan Rasyidin Umi.[4] PengaruhPMDS menandai masa kebangkitan kembali semangat pergerakan nasional di Sumatera Barat, khususnya Padang Panjang yang sempat vakum pasca-pemberontakan komunis di Silungkang pada 1927. Asisten Residen Belanda di Padang Panjang Van der Meulen menyebut PMDS sebagai pangkal "hampir semua gejala yang tidak baik di Sumatera Barat".[4] Selain itu, kehadiran PMDS telah menyemai semangat persatuan di kalangan pelajar Islam. Sejumlah anggota PMDS, khususnya bagian putra, terjun dalam arena pergerakan yang lebih luas untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.[1] Mereka umumnya terpengaruh dengan cita-cita politik PNI-Hatta. Para pemuda PMDS inilah nanti yang merupakan anggota-anggota pertama dari PNI-Hatta di Sumatera Barat.[3] Sementara itu, PMDS bagian putri tidak banyak melibatkan diri dalam bidang politik. Pemimpinnya, Rahmah El Yunusiah fokus pada dunia pendidikan dan baru menjelang akhir hayatnya terjun dalam politik.[3] Lihat pulaReferensi
Pranala luar |