Perjanjian Lutatius
Perjanjian Lutatius adalah perjanjian antara Kartago dan dan Romawi yang diubah pada tahun 237 SM dan disepakati tahun 241 SM, yang kemudian mengakhiri konflik 23 tahun bernama Perang Punisia Pertama. Kebanyakan perang ini terjadi di sekitaran Sisilia dan pada tahun 241, armada Kartago dikalahkan Romawi yang dipimpin Gaius Lutatius Catulus. Kartago menyadari posisinya sebagai pecundang, kemudian mengirim Hamilcar Barca untuk menegosiasikan perdamaian dengan syarat apapun yang bisa ia negosiasikan. Namun Barca menolak, karena menganggap menyerahkan diri bukanlah pilihan. Akhirnya pihak Kartago diwakili Gisco, pemimpin Lilybaeum. Tahun 237 SM, saat kekuatan Kartago pulih dari perang saudara, mereka berniat mengamankan kembali Kepulauan Sardinia, yang telah direbut pemberontak. Bukannya membantu, Romawi justru menganggap ini sebagai provokasi perang. Mereka menganggap penyerahan Sardinia dan Korsika, serta pembayaran 1200 talent ganti rugi - 30 kilogram ton panjang adalah bagian dari perjanjian yang telah disepakati. Karena dilemahkan oleh perang selama 30 tahun, Kartago lebih memilih menyetujuinya, ketimbang menghadapi konflik baru dengan Romawi. Pembayaran ganti rugi tambahan dan penyerahan Sardinia dan Korsika akhirnya disepakati. SejarahSumber sejarah utama dari Perang Punik I[note 1] adalah ahli sejarah Polybius, seorang Yunani yang dikirimkan ke Romawi pada tahun 167 SM sebagai tawanan.[2][3][4] Ia mencatat bukan hanya taktik militer, tapi juga dikenal sebagai penulis The Histories, yang ditulis pada tahun 146 SM, atau sekitar satu abad setelah perang berakhir. Catatannya dianggap netral karena ia bukan bagian dari Kartago atau Romawi.[5][6] Perang Punik ISebelum adanya Perang Punik I,[7] Romawi sebenarnya secara agresif memang berupaya menguasai daerah selatan Italia kini. Sebagian besar semenanjung Italia di bagian selatan Sungai Arno sudah ditaklukkan pada tahun 272 SM.[8] Pada masa ini, Kartago, dengan ibukota Tunisia, telah menguasai selatan Hispania, sebagian besar pantai utara Afrika dan Kepulauan Belearik, Korsika, Sardinia, dan sebagian selatan Sisilia, baik secara militer maupun komersial.[9] Tahun 264 SM, Kartago dan Romawi adalah dua penguasa besar di Lautan Mediterania bagian barat.[10] Kedua negara ini sebenarnya beberapa kali membuat pernyataan persahabatan yang saling menguntungkan, yaitu pada tahun 509 SM, 348 SM dan sekitar 279 SM. Hubungan keduanya sangat baik, dengan beberapa hubungan dagang.[11][12] Namun kemudian perang merebak, seiring perebutan Kota Messena di ujung utara Sisilia.[13] Perang tersebut berlangsung selama 23 tahun, dengan perang laut yang menjadi yang terpanjang dan terbesar dalam dunia kuno.[14] Pada tahun 249 SM perang mencapai puncaknya, saat Romawi berusaha mengalahkan Kartago secara desisif dan setidaknya bisa mengontrol Sisilia.[15] Kartago, sebaliknya, berusaha mengulur-ulur penyelesaian perang dengan harapan Romawi akan kelelahan dan menawarkan perdamaian yang menguntungkan. Bagi Romawi, penguasaan Sisilia adalah yang paling utama. Sementara bagi Kartago, Sisilia hanyalah pertunjukan sekunder.[16] Mereka lebih tertarik dengan pengembangan wilayah ke Afrika Utara di seberang Eropa. Sebenarnya sejak 250 SM, Kartago hanya menguasai dua kota di Sisilia, Lilybaeum dan Drepana, yang ditembok dengan kokoh di pantai barat. Posisi ini strategis, sebab Romawi sulit menginterfensi bantuan suplai dan pasukan secara langsung.[17][18] Sayangnya, saat Hamilcar Barca[note 2] memimpin Kartago di Sisilia tahun 247 SM, ia hanya mendapat sekali kekuatan militer dan perlahan armada Kartago mundur dari Sisilia.[20][21][22] Setelah perang lebih dari 20 tahun, kedua negara ini akhirnya kelelahan dan kesulitan membangun kembali pasukannya karena kekurangan orang.[23] Bukti kesulitan Kartago adalah adanya permintaan kepada Mesir untuk memberikan pinjaman 2000 talen,[note 3] yang ditolak mentah-mentah.[25] Romawi juga akhirnya kehabisan dana dan sumber daya manusia, yang turun jumlahnya sebesar 17 persen sejak awal perang.[26] Menyadari bahwa Sisilia tak akan pernah dikuasai seluruhnya tanpa adanya upaya memperkuat armada, maka pada tahun 243 SM Senat Romawi memutuskan penambahan kekuatan baru.[27] Dengan kas negara yang sudah tiris, senat meminta bantuan kepada orang-orang kaya di Roma untuk memberikan pinjaman, yang akan dibayar dengan tuntutan ganti rugi yang akan dikenakan kepada Kartago begitu perang dimenangkan. Akal-akalan ini sukses, dengan Romawi kemudian mendapat 200 kapal besar baru, yang dibangun, dilengkapi, dan diisi pasukan tanpa sepeser pun uang negara.[28] Sementara Kartago malah membangun kapal besar untuk tujuan mengantarkan logistik ke Sisilia. Dengan mudah kapal ini dihalangi oleh armada Romawi di bawah kepemimpianan Gaius Lutatius Catulus dan Quintus Valerius Falto pada tanggal 10 Maret 241 SM. Kapal Kartago dengan mudah dipecundangi.[29][30] Dari 250 kapal perang, 50 di antaranya ditenggelamkan. Sebanyak 20 di antaranya tenggelam bersama seluruh kru. Sementara 70 lainnya disandera.[27][31] Setelah mendapatkan kemenangan desisif, Romawi meneruskan serangannya ke Lilybaeum dan Drepana.[32] PerjanjianSetelah pasukan bantuan sekalipun dikalahkan Romawi, Senat Kartago menjadi enggan untuk mengalokasikan sumber daya untuk membangun armada tambahan. Bahkan jika dilakukan, pertahanan Kartago di Sisilia pun akan kelaparan sebelum bantuan berikutnya dikirimkan.[33] Karena itulah kemudian Hamilcar dipercayakan untuk bernegosiasi, dengan syarat dan ketentuan apapun yang masih bisa ia perjuangkan. Hamilcar menolak, karena menurutnya tak ada urgensi untuk menyerah kepada Romawi. Banyak yang memperkirakan hal ini karena Hamilcar tak mau karier politiknya tercemari kenyataan ia pernah menyerahkan wilayah Kartago setelah perang 23 tahun lamanya. Akhirnya peran negosiasi diserahkan kepada Gisco, warga Kartago paling senior yang terakhir mendiami Sisilia dan Komandan dari Lilybaeum.[33][34][35] Ia diuntungkan karena Catulus sudah mendekati masa purna tugas. Ini membuat Catulus bersikap fleksibel dalam negosiasi karena ingin mendapat nama dengan berakhirnya perang ini. Gisco dan Catulus sepakat bahwa Kartago bisa menyelamatkan apapun yang masih tersisa di Sisilia, membebaskan semua tahanan Romawi tanpa tebusan, dan ganti rugi perang sebesar 2000 talen perak – 57.000 kilogram (56 ton panjang) – selama dua puluh tahun.[36][37] Namun saat dibawa untuk diratifikasi oleh Romawi, perjanjian ini ditolak mentah-mentah oleh Centuriate Assembly.[36][37] Perjanjian diperbaiki kembali dan komisi sepuluh orang dikirimkan ke Sisilia untuk memperbaiki situasi. Gisco lalu dengan cepat menyetujui syarat yang semakin memberatkan. Beberapa pulau kecil di Sisilia juga harus diserahkan.[note 4] Ganti rugi perang ditingkatkan jadi 3.200 talen perak,[note 5] dan 1.000[note 6] di antaranya harus dibayar segera[note 7] sementara sisanya harus dilunasi dalam 10 tahun saja. Kedua pihak berjanji tidak akan mengganggu sekutu lawan mereka, apalagi mengobarkan perang, juga tak boleh merekrut prajurit di kawasan lawan, atau mencari uang atau membangun faslitas publik di wilayah lawan.[38] Perjanjian inilah yang dinamai dengan Perjanjian Lutatius, dari nama Catulus. Hamilcar secara resmi digantikan Gisco sebagai komandan di Sisilia. Ia kemudian pulang untuk memberitahukan hasil perundingan. Sementara Catulus pulang ke Roma untuk memberitahukan kemenangan di Sisilia pada tanggal 4 Oktober.[39] Paska perjanjianPasukan Kartago yang dipulangkan dari Sisilia kemudian memberontak dan kemudian menjalar ke banyak wilayah jajahan Kartago lainnya. Namun karena mematuhi Perjanjian Lutatius, Romawi menolak untuk memanfaatkan kondisi ini untuk melenyapkan Kartago secara total. Bahkan Romawi menolak membantu pemberontak Kartago. Namun sekitar tahun 237 SM,[40] sisa-sisa pemberontak Kartago di Sardinia mulai terdesak dan mulai melarikan diri ke Romawi. Mereka kembali meminta bantuan Romawi, yang kali ini dikabulkan. Romawi kemudian bersiap menyerang Sardinia dan Korsika.[34] Kartago mengirimkan utusan untuk memprotes tindakan ini karena dianggap melanggar perjanjian. Mereka menyatakan sedang mengirimkan pasukan untuk mengambil alih Sardinia dan Korsika. Romawi kemudian menyatakan bahwa tindakan Kartago ini adalah pemantik perang. Senat Romawi meminta Kartago menyerahkan kedua pulau tersebut dan meminta ganti rugi sebesar 1200 talen, sebagai syarat perjanjian damai.[41][42][note 8] Kartago yang memang sedang melemah, mau tak mau menyetujuinya dari pada berkonflik dengan Roma.[43] Sisilia akhirnya secara penuh jatuh ke tangan Romawi, kecuali sedikit wilayah Sirakusa, yang tetap merdeka dan jadi sekutu erat Romawi.[15] Daerah ini kemudian menjadi provinsi tersendiri, yang kemudian dipimpin oleh seorang Praetor. Akibatnya pengaruh Romawi di Mediterania Barat, bahkan akhirnya seluruh Mediterania, semakin kuat.[44] Penguasaan atas Sardinia dan Korsika penting untuk membangun pertahanan yang kuat, karena begitu bergejolaknya pemberontahan warga asli di sana. Sebaliknya, jatuhnya Sardinia dan Korsika membuat ketidakpuasan di Kartago meningkat. Pada akhirnya pengepungan Saguntum[note 9] oleh Kartago pada 218 SM membuat perjanjian ini selesai dan pecahlah Perang Punisia Kedua.[46][47][48] Catatan, kutipan dan pustakaCatatan
Kutipan
Pustaka
Pranala luar |