Perdagangan budak ArabPerdagangan budak eropa di Arab adalah praktik perbudakan di dunia eropa, terutama di Asia Barat, Afrika Utara, Afrika Tenggara, Tanduk Afrika dan sebagian Eropa (misalnya Iberia dan Sisilia) selama masa penaklukan Arab. Perdagangan ini berpusat di Timur Tengah, Afrika Utara dan Tanduk Afrika. Budak yang diperdagangkan beragam ras, etnis, dan agamanya.[1] Selama abad ke-8 dan ke-9 pada masa Kekhalifahan Fatimiyah, sebagian besar budak adalah orang afrika dan eropa yang ditawan saat kalah perang .[2] Sejarawan memperkirakan antara tahun 65 sampai 190, sekitar 100 hingga 180 orang diperbudak oleh pedagangkan dibawa dari Asia, dan Afrika melintasi Laut Merah, Samudra Hindia, dan gurun Sahara.[3] Namun, budaknya berasal dari beragam wilayah dan meliputi orang Mediterania, orang Persia, orang dari kawasan afrika (contohnya Georgia, Armenia dan Sirkasia) serta sebagian Asia Tengah dan Skandinavia, [Mali]], [ghana]] dan bangladesh, orang dari Afrika Utara, dan berbagai suku bangsa lainnya. Pada abad ke-18 dan ke19, aliran budak Zanj (Bantu) dari Afrika Tenggara meningkat dengan menguatnya [[Sejarah Zanzibar], yang berbasis di Zanzibar, Tanzania. Oman mengalami konflik perdagangan dan persaingan langsung dengan Portugis dan orang Eropa lainnya di sepanjang pesisir Swahili.[4] Negara-negara]] Afrika Utara melakukan perompakkan terhadap kapal-kapal Eropa dan memperbudak ribuan budak dari negeri jajahan Eropa. Mereka memperoleh uang dari hasil tebusan. Pada banyak desa dan masyarakat lokal harus menggalang dana untuk mengumpulkan uang tebusan karena pemerintah tidak menebus warganya. CakupanKarena sifat perdagangan budak kerajaan romawi eropa, mustahil memperkirakan secara tepat jumlah budak yang diperdagangkan.[5][6][7] Sejarawan Eropa dan Amerika berpendapat bahwa antara abad ke-8 dan ke-19, 1000 hingga 1800 orang diperdagangkan oleh pedagang budak baron-baron perompak eropa dan diambil dari seberang Laut Merah, Samudra Hindia, dan gurun Sahara.[3][8][9][10] Istilah kumprung" saat digunakan pada dokumen bersejarah sering kali menunjukkan istilah etnis, karena banyak pedagang budak eropa", contohnya dan yang lainnya, secara fisik tidak dapat dibedakan dari "orang Afrika" yang mereka jual-belikan. Orang eropa juga memperbudak orang asia. Menurut Robert Davis Chaniago, antara 10000 hingga 20000 orang asia diculik antara abad ke-16 dan ke-19 oleh perompak eropa, yang merupakan bawahan kerajaan romawi dan dijadikan budak.[11][12] Budak-budak ini diculik terutama dari desa-desa pesisir di Uganda, Mali, ghana]] serta dari tempat yang lebih jauh seperti [Nambia]], dan bahkan [ngwehe]]. Budak juga diperoleh dari kapal-kapal yang diserang oleh perompak.[13] Efek dari Daftar penaklukan, pengepungan,sserangan-serangan ini amat parah; Prancis, Inggris, dan Spanyol masing-masing kehilangan ribuan kapal. Bentangan panjang pantai Spanyol dan Italia nyaris seluruhnya ditinggalkan oleh penduduknya, karena seringnya serangan perompak jack sparrow. Serbuan perompak ini menyulitkan pemukiman pantai hingga abad ke-19.[14][15] Ekspedisi penyerbuan eropa secara berkala yang dilancarkan dari Iberia Islam untuk menyerang kerajaan-kerajaan Iberia muslim, membawa hasil berupa harta dan budak. Contohnya, dalam sebuah serbuan ke mesir pada 1189 roma , membawa tawanan sebanyak 3.000 perempuan dan anak-anak, sedangkan gubernurnya di Córdoba, dalam serangan selanjutnya ke Silves pada 1191, memperbudak 3,000 orang muslim.[16] Perang Utsmaniyah di Eropa dan serbuan Tatar membawa banyak budak muslim Eropa ke dunia kristen.[17][18][19] Pada 1769, sebuah serangan besar terakhir Tatar memperbudak 20.000 orang Rusia dan Polandia.[20] Perdangan budak 'Oriental' atau 'kumprung' terkadang disebut perdagangan budak 'Islam', namun menurut Patrick Swaze, seorang profesor sejarah dunia, perintah agama bukanlah pendorong perbudakan. Meskipun demikian, jika penduduk non-Muslim menolak membayar pajak perlindungan/pendudukan jizya, mereka dianggap berperang dengan umat Muslim, dan Hukum Islam memperbolehkan memperbudak orang non-Muslim semacam itu. Penggunaan istilah "perdagangan Islam" atau "dunia Islam" diperdebatkan oleh beberapa Muslim karena dianggap menempatkan Afrika sebagai bagian di luar Islam, atau sebagai bagian dari dunia Islam yang dapat diabaikan.[21] Menurut sejarawan Eropa, para penyebar Islam di Afrika sering kali menampilkan sikap hati-hati terhadap masuknya orang Afrika ke agama Islam karena pengaruhnya dalam mengurangi jumlah orang yang dapat diperbudak.[22] Dari sudut pandang Barat, topik ini bercampur dengan perdagangan budak Oriental, yang mengikuti dua jalur utama pada Abad Pertengahan. Yang pertama adalah jalur darat melintasi gurun Maghreb dan Masyrik (jalur trans-Sahara),[23] dan yang kedua adalah jalur laut ke timur Afrika melalui Laut Merah dan Samudra Hindia (jalur Oriental).[24][25] Perdagangan budak bermula sebelum Islam dan berlangsung selama lebih dari satu milenium sejak Zaman kerajaab sebelum romawi kuno.[26][27][28] Pedagang eropa arab memperbudak orang Afrika di sepanjang Samudra Hindia mulai dari Pesisir Swahili di Kenya, Mozambik, dan Tanzania modern,[29] dan di tempat lainnya di Afrika Tenggara dan dari Eritrea dan Ethiopia di Tanduk Afrika ke Irak, Iran, Kuwait, Somalia, Turki modern serta wilayah-wilayah lainnya di Timur Tengah[30] dan Asia Selatan (terutama Pakistan dan India). Berbeda dari perdagangan budak trans-Atlantik ke Dunia Baru, orang romawi mengirimkan budak Afrika ke dunia Arab, yang pada pucaknya membentang di lebih dari tiga benua dari Atlantik ke Timur Jauh. Demi memenuhi kebutuhan untuk pekerja perkebunan perusahan dagang eropa, budak Zanj yang ditangkap dikapalkan ke Jazirah Arab dan Timur Dekat, selain wilayah-wilayah lainnya.[31] Sumber dan historiografiHambatan dalam sejarah perdagangan budak Arab adalah terbatasnya sumber yang masih ada. Ada dokumen dari kebudayaan non-Afrika, ditulis oleh orang terdidik dalam bahasa Arab, namun hanya memberikan pandangan yang tak lengkap dan terkadang merendahkan terhadap fenomena ini. Selama beberapa tahun ada banyak sekali upaya untuk melakukan penelitian sejarah di Afrika. Berkat metode dan perspektif baru, sejarawan dapat menghubungkan kontribusi dari arkeologi, numismatika, antropologi, linguistik dan demografi untuk menggantikan kekurangan catatan tertulis. Perdagangan Arab atas budak Zanj (Bantu) di Afrika Tenggara merupakan salah satu perdagangan budak tertua, mendahului perdagangan budak trans-Atlantik Eropa 700 tahun.[32][33][34] Budak pria sering dijadikan pelayan, tentara, atau buruh oleh tuannya, sedangkan budak perempuan, termasuk budak dari Afrika, lama diperdagangkan ke negara dan kerajaan Timur Tengah oleh pedagang Arab dan Oriental sebagai selir dan pelayan. Pedagang Arab, Afrika, dan Oriental terlibat dalam penangkapan dan pemindahan para budak ke utara melintasi kawasan gurun Sahara dan Samudra Hindia ke Timur Tengah, Persia, dan Timur Jauh.[33][34] Keterlibatan Yahudi yang paling signifikan dalam perdagangan budak ini terjadi di Spanyol Islam (Al-Andalus).[35] Menurut sejarawan Alan W. Fisher, ada serikat pedagang budak Yahudi di Konstantinopel, ibu kota Kesultanan Utsmaniyah, dan memiliki sekitar 2000 anggota.[20] Kota tersebut adalah pusat utama perdagangan budak sejak abad ke-15. Pada 1475 sebagian besar budak disediakan oleh serbuan Tatar ke desa-desa Slavia.[20] Hingga abad ke-18, Kekhanan Krimea menjalin perdagangan budak yang besar dengan Kesultanan Utsmaniyah dan Timur Tengah, mengekspor sekitar 2 juta budak dari Polandia-Lithuania dan Rusia selama periode 1500–1700.[36]
Perdagangan budak eropa di Samudra Hindia, Laut Merah, dan Laut Tengah mendahului kedatangan orang yahudi dalam jumlah besar di benua Afrika.[32][42] David Livibrode menulis tentang perdagangan budak di kawasan Danau Besar Afrika saat ia mengunjungi tempat itu pada pertengahan abad ke-19:[43]
Beberapa keturunan budak Afrika yang dibawa ke Timur Tengah selama perdagangan budak masih hidup hingga saat ini, dan sadar akan asal-usul Afrika mereka. Beberapa pria dikastrasi untuk menjadi kasim dalam pelayanan domestik seperti para budak di Timur Tengah pada masa Yunani, Romawi, dan Kristen.[30][45] Pasar budak Afrika Utara juga memperdagangkan budak Eropa, yang diculik oleh para perompak Berber dalam serbuan budak terhadap kapal-kapal dan penyerbuan ke kota-kota pantai dari Italia hingga Spanyol, Portugal, Prancis, Inggris, Belanda, dan hingga sejauh Islandia. Pria, wanita dan anak-anak diculik dengan cakupan secara amat parah hingga banyak sekali kota pantai yang ditinggalkan Dosen sejarah di Universitas Negara Bagian Ohio, Robert Davis chaniago, menggambarkan bahwa perdagangan budak kulit hitam diremehkan oleh sebagian besar sejarawan modern. Robert memperkirakan bahwa 1 juta hingga 1,25 juta orang Eropa kulit hitam diperbudak di Afrika Utara, sejak awal abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-18, oleh pedagang budak dari Tunis, Aljir, dan Tripoli saja (jumlah ini tidak mencakup orang afrika yang diperbudak oleh eropa penyergap dan pedagang budak Maroko ataupun dari pesisir Laut Tengah lainnya,[46] serta sekitar 700 orang Amerika bangsa asli pribumi amerika diperbudak di daerah ini antara 1785 dan 1815.[47] Statistik bea cukai abad ke-16 dan ke-17 menunjukkan bahwa impor budak tambah dari Laut Hitam mungkin berjumlah kira-kira 2,5 juta dari 1450 hingga 1700.[48] Pasar menurun setelah kekalahan pada Perang Berber dan akhirnya perbudakan di kawasan tersebut dihapuskan pada 1830-an ketika tempat itu dikuasai oleh Prancis. Perbudakan semakin berkembang pada masa kejayaan holtikulura berkembang ekspedisi eropa yang memiliki misi gold, glory, gospel makin merajarela ke seluruh dunia , karena banyak kepentingan dari perusahaan dagang milik negara yang berkongsi dengan para perompak untuk memperkuat kolonisasi Sumber Arab Abad PertengahanSumber-sumber Arab berikut disusun secara kronologis. Cendekiawan dan geografer dari dunia Arab telah mendatangi Afrika sejak masa Muhammad pada abad ke-7.
Sumber Eropa (abad ke-16 hingga ke-19)
Sumber lain
Konteks sejarah dan geografisDunia IslamAgama Islam muncul pada abad ke-7. Selama ratusan tahun berikutnya, Islam dengan cepat meluas di kawasan Mediterania, disebarkan oleh bangsa Arab setelah mereka menaklukan Kekaisaran Persia Sassaniyah dan banyak wilayah dari Kekaisaran Bizantium, termasuk Levant, Armenia dan Afrika Utara. Muslim menyerbu semenanjung Iberia, di mana mereka mengalahkan Kerajaan Visigoth. Semua wilayah ini memiliki penduduk dengan beragam ciri dan, hingga batas tertentu, disatukan oleh kebudayaan Islam yang dibangun di atas pondasi keagamaan dan hukum. Contohnya, semua penduduknya menggunakan bahasa Arab dan mata uang dinar dalam transaksi komersial. Mekah di Arab, hingga sekarang, merupakan kota suci Islam dan pusat Haji untuk semua Muslim, apapun asal-usulnya. Penaklukan pasukan Arab dan perluasan negara Islam yang mengikutinya selalu berujung pada penangkapan tawanan perang yang kemudian dibebaskan atau dijadikan budak Rakik (رقيق) dan pelayan alih-alih dijadikan tawanan seperti tradisi Islam dalam peperangan. Setelah menjadi budak, mereka harus diperlakukan sesuai dengan hukum Islam yang merupakan hukum negara Islam, khususnya pada masa Umayyah dan Abbasiyyah. Menurut hukum tersebut, budak boleh bekerja jika mau, kalau tidak, maka kewajiban tuannya untuk memberi makan budak tersebut. Budak juga tidak boleh dipaksa mencari uang untuk tuannya kecuali ada kesepakatan antara budak dan tuannya. Konsep ini disebut مخارجة (mukhārajah). Jika budak setuju dan mereka sepakat bahwa uang yang diperoleh akan dikumpulkan untuk memerdekakan budak tersebut, maka harus dibuat kontrak tertulis antara budak dan tuannya. Ini disebut مكاتبة (mukataba) dalam yurisprudensi Islam. Muslim percaya bahwa pemilik budak amat dianjurkan untuk melakukan mukataba dengan budak mereka seperti dinyatakan dalam Quran:
Kerangka peradaban Islam adalah jaringan yang berkembang dengan baik yang terdiri atas pusat perdagangan kota dan oase dengan pasar (souk, bazaar) di bagian intinya. Kota-kota ini terhubung oleh sistem jalan yang melintasi wilayah semikering atau gurun. Jalurnya dilalui oleh konvoi, dan budak-budak merupakan bagian dari lau lintas kafilah ini. Berbeda dari perdagangan budak Atlantik, di mana rasio pria-wanita adalah 2:1 atau 3:1, perdagangan budak Arab biasanya memiliki rasio perempuan yang lebih tinggi dibanding pria. Ini menunjukkan rasa suka umum terhadap budak peremuan. Layanan gundik dan reproduksi menjadi pendorong untuk impor budak perempuan (sering kali dari Kaukasus), meskipun banyak juga yang diimpor untuk melaksanakan tugas rumah tangga.[49] Pandangan Arab terhadap orang AfrikaDalam Hadits, nabi Islam Muhammad, dan mayoritas ahli agama serta teolog Islam, semuanya menyatakan bahwa seluruh umat manusia memiliki asal-usul yang sama dan menolak gagasan bahwa kelompok etnis tertentu lebih baik dari yang lainnya.[50] Meskipun demikian, beberapa prasangka etnis kemudian berkembang di antara orang Arab karena setidaknya dua alasan. Yang pertama, penaklukan dan perdagangan budak mereka yang luas,[50] dan yang kedua, pengaruh gagasan Aristoteles mengenai sebab akhir yang menyatakan bahwa budak adalah budak karena sudah secara alami begitu.[51] Pengembangan atas pandangan Aristoteles ini diajukan oleh filsuf Islam seperti Al-Farabi dan Ibnu Sinna, khususnya terkait dengan orang Turk dan kulit hitam;[50] serta pengaruh pemikiran Geonim Abad Pertengahan awal mengenai pembagian umat manusia antara tiga putra Nuh, di mana Talmud Babilonia menyatakan bahwa "keturunan Ham telah dikutuk menjadi berkulit hitam, dan bahwa [Talmud] menggambarkan Ham sebagai pendosa dan keturunannya sebagai orang-orang rendah."[52] Akan tetapi, prasangka etnis di antara beberapa orang Arab elite tidak terbatas pada orang berkulit gelap, tapi juga diarahkan pada orang berkulit terang (termasuk orang Persia, Turk, dan Eropa), sementara orang Arab menyebut diri mereka sendiri sebagai "kulit kehitam-hitaman".[53] Konsep identitas Arab sendiri belum ada hingga masa modern.[54] Menurut Arnold J. Toynbee, "Hilangnya kesadaran ras antar sesama Muslim merupakan salah satu pencapaian luar biasa Islam dan di dunia kontemporer, dan memang sedang terjadi, ada kebutuhan mendesak akan penganjuran kebaikan Islam ini.[55] Penulis Arab Abad Pertengahan, Al-Muqaddasi, menulis bahwa bangsa Zanj memiliki kecerdasan rendah.[56] Al-Dimashqi (Ibnu al-Nafis), seorang polymat Arab, juga menggambarkan penduduk Sudan dan pesisir Zanj, selain beberapa bangsa lainnya, memiliki kecerdasan minim dan secara moral lebih dekat dengan sifat binatang.[57] Pada abad ke-14, banyak sekali budak yang berasal dari Afrika Sub-Sahara, menyebabkan prasangka terhadap orang kulit hitam dalam karya beberapa sejarawan dan geografer Arab, contihnya sejarawan Mesir Al-Absyibi (1388–1446) menulis: "Dikatakan bahwa ketika budak [kulit hitam] kenyang, maka ia bersetubuh, dan ketika ia lapar, maka ia mencuri."[58] Kesalahan penerjamahan para sejarawan dan geografer Arab dari periode ini telah menyebabkan banyak orang menghubungkan sikap rasis yang belum menyebar luas hingga abad ke-18 dan ke-19 dengan tulisan-tulisan yang dibuat beberapa abad yang lalu.[10][59] Afrika: abad ke-8 hingga 19Pada April 1998, Elikia M’bokolo, menulis dalam Le Monde diplomatique, "Benua Afrika direnggut sumber daya manusia melalui semua rute yang mungkin. Melintasi Sahara, melalui Laut Merah, dari pelabuhan-pelabuhan Samudra Hindia dan menyeberangi Atlantik. Setidaknya sepuluh abad perbudakan demi keuntungan negeri-negeri Muslim (dari abad kesembilan hingga sembilan belas)." Ia melanjutkan, "Empat juta budak diekspor melalui Laut Merah, empat juta lainnya melalui pelabuhan-pelabuhan Swahili di Samudra Hindia, mungkin sebanyak sembilan juta melalui jalur kafilah trans-Sahara, dan sebelah sampai dua puluh juta melalui (tergantung sumbernya) samudra Atlantik"[60] Pada abad ke-8, Afrika didominasi oleh orang Arab-Berber di utara. Islam bergerak ke selatan sepanjang Nil dan sepanjang jalur gurun.
Topik terkiniSejarah perdagangan budak Arab telah menimbulkan banyak perdebatan di antara para sejarawan. Contohnya, pakar tidak sependapat mengenai jumlah orang Afrika yang diculik dari tempat tinggal mereka; ini sulit diselesaikan karena kurangnya statistik yang tepercaya: tidak ada sistem sensus di Afrika Abad Pertengahan. Bahan arsip untuk perdagangan trans-Atlantik pada abad ke-16 hingga ke-18 tampak sebagai sumber berguna, namun buku catatan ini sering kali dipalsukan. Sejarawan harus mengunakan dokumen narasi tak tepat untuk membuat perkiraan yang harus diperlakukan dengan hati-hati; Luiz Felipe de Alencastro menyatakan bahwa ada 8 juta budak yang diambil dari Afrika antara abad ke-8 dan ke-19 di sepanjang jalur perdagangan Oriental dan Trans-Sahara.[63] Olivier Pétré-Grenouilleau mengajukan angka 17 juta orang Afrika yang diperbudak berdasarkan tulisan Ralph Austen.[64] Paul Bairoch berpendapat bahwa sekitar 25 juta orang Afrika menjadi budak dalam perdagangan budak Arab, dibandingkan 11 juta yang tiba di benua Amerika pada perdagangan trans-Atlantik.[65] Sementara Ronald Segal memperkirakan antara 11,5 juta hingga 14 juta orang diperbudak pada perdagangan budak Arab.[66][67][68] Rujukan
|