Perbedaan pelafalan bahasa Melayu dengan bahasa IndonesiaSeperti bahasa-bahasa lainnya, bahasa-bahasa Melayu ragam cakapan memiliki dialek (variasi ketatabahasaan) atau logat (variasi pelafalan) yang masing-masing berbeda. Setiap dialek dan logat memiliki cara pelafalan sendiri-sendiri dan bisa diucapkan dengan mudah oleh penutur aslinya. Bahasa Melayu baku berasal dari dialek Johor yang bertahan dari sejak zaman Kesultanan Johor, sedangkan bahasa Indonesia berasal dari dialek Riau Tinggi yang mendapat pengaruh besar dari bahasa-bahasa lain, terutama bahasa Jawa dan Sunda, mengalami pembakuan, serta mendapat identitas keindonesiaan dalam Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Perbedaan yang makin tampak mendorong para bahasawan dari Indonesia, Malaysia, dan Singapura pada tahun 50-an untuk memulai usaha menghasilkan satu bahasa standar. Hal ini melibatkan pengodifikasian bahasa dengan lebih tersusun bermula dengan ejaan diikuti dengan peristilahan, tata bahasa, perkamusan, dan akhirnya sebutan. Pada tahun 1988, Malaysia mengumumkan penggunaan pelafalan baku untuk digunakan di sekolah, penyiaran, dan di upacara resmi sebagai pengganti pelafalan Johor-Riau. Hal ini disusul oleh pengumuman serupa di Singapura pada tahun 1993. Akan tetapi, setelah 12 tahun menerapkan pelafalan baku, Malaysia kembali kepada pelafalan Johor-Riau pada tahun 2000, sedangkan Singapura tetap menggunakan pelafalan baku.[1][2] Artikel ini akan membahas perbedaan pelafalan antara bahasa Melayu dan bahasa Indonesia atas kata-kata yang memiliki pengejaan yang sama, meskipun mungkin masing-masing bahasa memiliki pengertian yang berbeda atas kata-kata tersebut. Perbedaan yang sangat terlihat antara bahasa Melayu baku di Semenanjung Malaysia dan bahasa Indonesia terletak pada pelafalan akhir kata dan penyebutan fonem /r/. PelafalanVokal a di akhir kataPada bahasa Melayu baku, huruf vokal a (/a/) pada akhir kata diubah menjadi "e pepet" ([ə]; seperti pada kata emas). Pengubahan pelafalan vokal /a/ ini dipengaruhi oleh logat Melayu Johor sebagai dialek baku yang digunakan oleh MABBIM. Sebelum adanya pembaruan ejaan pada tahun 1972, fenomena fonem [ə] pada bahasa Melayu baku dilambangkan dengan huruf ă. Pada bahasa Indonesia, vokal /a/ akhir tetap dilafalkan sebagai "a" ([a]).
Vokal u pada suku kata terakhirJika huruf vokal u (/u/ diapit oleh dua huruf konsonan pada suku kata terakhir, bahasa Melayu baku mengubah fonem tersebut menjadi "o" ([o]. Sebelum adanya pembaruan ejaan pada tahun 1972, fenomena fonem [ə] pada bahasa Melayu baku dilambangkan dengan huruf o. Pada Bahasa Indonesia, bunyinya tetap [u], atau menjadi bentuk alofon [ʊ].
Konsonan r di akhir kataBahasa Melayu baku umumnya menggugurkan huruf konsonan r (/r/) di akhir kata sehingga huruf vokal yang mendahuluinya sering kali menjadi vokal panjang, mirip seperti bahasa Inggris dialek Britania. Pada bahasa Indonesia, huruf r ini tetap dilafalkan penuh.
Konsonan r di akhir suku kataBahasa Melayu baku kadang kala menggugurkan huruf r di akhir setiap suku kata (kecuali pada akhir kata yang mengikuti aturan di atas). Pengguguran fonem tersebut sebenarnya tidak seharusnya dilakukan oleh para penuturnya. Namun, kadang kala fonem /r/ tidak terlalu jelas diucapkan ketika berbicara sehingga fonem tersebut seolah-olah digugurkan. Pada bahasa Indonesia, huruf r ini tetap dilafalkan penuh.
Vokal i pada suku kata terakhirJika vokal i (/i/) diapit oleh dua konsonan pada suku kata terakhir, bahasa Melayu baku sering kali mengubah fonem tersebut menjadi e taling ([e]; seperti pada kata ekonomi). Pada bahasa Indonesia, bunyinya tetap [i], atau menjadi bentuk alofon [ɪ].
Referensi
Lihat pula |